Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyebut ada ancaman Jakarta tenggelam dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Pernyataan ini dilontarkan ketika berbicara soal perubahan iklim pada pidato sambutan di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, (27/7). Sebelumnya pada Mei lalu, National Aeronautics and Space Administration (NASA) merilis riset Jakarta bakal tenggelam. Jakarta sangat berisiko dan rentan tenggelam dampak perubahan iklim, jumlah penduduk yang bertambah, dan eksploitasi air berlebihan.(CNBC Indonesia.com, 30/7/2021). Prediksi ini didasari atas naiknya permukaan air laut sekitar 0,7 meter per tahun akibat pemanasan global.(Jawa pos.com, 5/8/2021).
Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, bahwa DKI Jakarta datarannya rendah. Namun demikian, tidak berarti bahwa wilayah Jakarta akan tenggelam 10 tahun lagi. Riza mengatakan, Pemprov DKI Jakarta tetap mengupayakan agar hal tersebut tidak terjadi. Diantaranya penyedotan air tanah, peningkatan pipanisasi PAM Jaya agar kebutuhan air bersih semua dari PAM.
Pemprov DKI Jakarta bersama Kementerian PUPR juga terus membuat program percepatan pipanisasi, peningkatan akses air bersih, dan air minum di DKI Jakarta. Hal ini dinilai bisa mengurangi penurunan muka air tanah di Jakarta.(kontan.co.id, 1/8/2021).Termasuk mengkaji proyek Giant Sea Wall.
Sementara yang dilansir CNN Indonesia.com, 10/8/2021, Gubernur DKI Jakarta mengatakan, Statemen Biden itu menyampaikan dua hal penting: Pertama, menunjukkan bahwa Indonesia menjadi perhatian masyarakat internasional dan dianggap penting sebagai salah satu tempat yang menunjukkan sehat tidaknya ekosistem bumi saat ini.
Kedua, Biden tengah mengajak untuk mengubah paradigma ekonomi atau istilah Anies "pertaubatan paradigmatik."
Dimana kebijakan Presiden Amerika sebelumnya Donald Trump yang meminggirkan pertimbangan ekologis karena menganggap regulasi lingkungan sebagai hambatan untuk pertumbuhan ekonomi.
Misal, Amerika era Trump yang keluar dari Paris Climate Agreement, menghapus, merelaksasi aturan soal lingkungan seperti polusi udara, menurunkan standar efisiensi penggunaan bahan bakar, menghapus perlindungan terhadap kawasan air, dan beberapa kebijakan lainnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai badan internasional yang mengawasi jalannya negosiasi iklim, mengakui keberadaan prinsip CBDR. Upaya PBB bisa dilihat terwujud pada konferensi iklim di Paris (COP24) yang menghasilkan Perjanjian Paris dengan komitmen yang spesifik dan terukur, terutama soal pendanaan antara negara maju dan berkembang, yaitu “100 miliar dolar” setahun.(the conversation.com,26/8/2021).
Dikutip dari laman resmi Kemlu.go.id, 7/4/2019, Paris Climate Agreement (Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim) PBB diselenggarakan di Paris, tanggal 30 November – 11 Desember 2015. Konferensi tersebut merupakan milestone pembangunan berkelanjutan untuk menyepakati Agreement 2015 yang legally binding, dan akan berlaku setelah tahun 2020. Agreement ini merupakan puncak upaya negosiasi satu dekade terakhir untuk pengaturan global upaya penurunan emisi dan pengendalian perubahan iklim.
Antara lain hasil keputusannya (COP decision) yang mencakup operasionalisasi dari Kesepakatan Paris dalam hal mitigasi, adaptasi, loss and damage, pendanaan, pengembangan dan transfer teknologi, capacity building, transparansi aksi dan dukungan, global stocktake, dan fasilitasi implementasi serta compliance. Dikutip pada poin pendanaan, transfer teknologi, dan capacity building bahwa negara maju harus menyediakan dukungan pendanaan kepada negara berkembang dan memimpin dalam mobilisasi pendanaan dari berbagai sumber. Negara berkembang dapat pula memberikan dukungan secara sukarela. Seluruh negara akan meningkatkan aksi kerjasama di bidang pengembangan dan transfer teknologi. Capacity building akan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan negara berkembang.
Perjanjian Paris ini merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020. Perjanjian Paris akan berlaku apabila diratifikasi oleh setidaknya 55 negara (Indonesia masuk didalamnya) yang menyumbangkan setidaknya 55% emisi gas rumah kaca.(Ditjenppi.menlhk.go.id).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan selain pandemi covid-19, saat ini dunia dihadapkan pada ancaman yang sama katastropik dampaknya yaitu perubahan iklim. Berbagai studi menunjukkan bahwa dampak dari perubahan iklim akan sangat dahsyat sama seperti covid. Setiap negara harus menyiapkan dan berkontribusi didalamnya tidak ada batasan wilayah yang terdampak dari perubahan iklim.
Salah satu studi yang sering dijadikan referensi saat ini bagi pertemuan-pertemuan climate change di dunia baik itu di tingkat kepala negara, di tingkat menteri, di tingkat policy maker lainnya, regulator bahkan private sector, university, akademisi, NGO semuanya saat ini merefer kepada laporan United Nations Environment Programme (UNEP) mengenai kesenjangan emisi.
Indonesia diharapkan ikut aktif dalam diplomasi dan politik luar negeri, termasuk meminta komitmen negara-negara terutama negara maju di dalam memenuhi konsekuensi sumber daya yang dibutuhkan untuk transformasi ekonomi dari high carbon menjadi low carbon atau bahkan zero carbon emission.(kemenkeu.go.id).
Kelompok negara yang tergabung dalam Green Climate Fund (GCF) mulai mewujudkan komitmennya terhadap isu perubahan iklim. Pada 2020, sekelompok negara maju bersepakat memobilisasi dana sebesar US$ 100 miliar per tahun untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Adapun GCF merupakan lembaga pendanaan yang dibentuk dalam kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai upaya membangun mekanisme keuangan untuk membantu negara-negara berkembang dalam praktik adaptasi dan mitigasi untuk melawan dampak perubahan iklim. Terdapat 10 negara kontributor terbesar dari 40 negara maju dan berkembang yang telah berkomitmen memberikan pendanaan sepanjang 2014 hingga 2020. Amerika Serikat (AS) menjadi kontributor terbesar dengan nilai US$ 3 miliar diikuti oleh Jepang dengan nilai US$ 1,5 miliar.(databokskatadata.com, 3/6/2021).
Maka, tak mengherankan jika Amerika Serikat sebagai negara superpower dunia dan mempunyai posisi penting dalam PBB langsung membidik dan mengeluarkan statement terkait Jakarta, dimana Jakarta adalah ibu kota Indonesia, jantung dan denyut nadi Jakarta menjadi wajah negeri ini. Indonesia memiliki posisi strategis baik geo- politik dan ekonomi, keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan diantara dua benua dan dua samudra serta kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah memiliki posisi menentukan di Asia Pasifik terlebih semakin memanasnya kawasan Laut Cina Selatan akhir-akhir ini, maka strategi AS kepada Indonesia dengan pendekatan soft power untuk tetap menjaga Indonesia sebagai sekutunya,adalah hal yang sangat penting.
Isu perubahan iklim menjadi entry point' AS untuk kembali menyetir kebijakan negeri ini, isu itu kemudian dikembangkan ke arah pemindahan ibu kota dan pembangunan ibu kota yang baru di Kalimantan.
Biden saat berpidato di Pusat Kontra-Terorisme Nasional AS pada Selasa (27/7) mengatakan, jika permukaan air laut 2,5 kaki atau 7,6 cm saja, akan ada jutaan orang yang harus pindah dari lokasi yang ditinggali saat ini dan berebut lahan subur. Menurutnya, jika hal itu benar terjadi seperti sesuai proyeksi bahwa Jakarta akan tenggelam pada 10 tahun mendatang. Maka, sangat mungkin Indonesia akan memindahkan ibukotanya.(CNNIndonesia.com, 30/7/2021).
Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar nomer 4 di dunia, masih menjadi pasar potensial bagi AS, termasuk jumlah penduduk muslim di Indonesia juga terbesar di dunia yang dikhawatirkan muncul kebangkitan Islam disini, maka proyek deradikalisasi dan Islam moderat tetap menjadi hal utama yang ditargetkan AS untuk Indonesia. Tujuannya agar Indonesia tetap menjadi sekutu dan mengamankan kepentingan dan aset AS di Indonesia khususnya dan di Asia Pasifik pada umumnya. Maka, satu hal yang sangat penting bagi AS untuk ikut andil dengan semua kebijakan negeri ini, termasuk terkait wacana pemindahan ibu kota.
Dalam buku Konsepsi Politik Internasional disebutkan Amerika Serikat adalah negara idieologis yang memiliki pemikiran(fikroh) dan metode kehidupan(thoriqoh) yang tetap tidak berubah meskipun berganti Presiden, maka secara pemikiran (fiqrah) yakni sebagai negara kapitalistik yang berasas kepada sekuleristik (pemisahan agama dari kehidupan), maka dia akan menyebarkan ideologinya ini ke seluruh dunia, adapun metodenya (thoriqoh) yakni dengan jalan imperialisme (penjajahan) dengan memaksakan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi kepada bangsa- bangsa yang dikuasainya untuk dieksploitasi. Sementara yang berubah adalah tata cara (uslub) dan sarana (washilah) pendekatannya, apakah dengan hard power(pendekatan militer) seperti di tindakan AS di beberapa negara Timur Tengah ataukah soft power (utang luar negeri, diplomasi, hubungan bilateral dengan berbagai isu salah satunya adalah perubahan iklim), contohnya di negara-negara di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia.
Walhasil, selama negeri ini memang mentahbiskan diri dengan sistem hidup demokrasi-sekuleristik, maka hegemoni negara besar seperti AS akan terus terjadi dan kemandirian negara Indonesia hanya sebatas angan.Wallahu a'lam Bi asshawwab.
Oleh Hanin Syahidah.
0 Komentar