Cabai Murah, Petani Marah, Di Mana Peran Negara?




Sebuah video viral di media sosial (medsos) yang menunjukkan seorang petani mengacak-acak lahan perkebunannya sendiri, Video viral tersebut sempat beredar di akun Instagram @andreli48 pada Rabu (4/8).Anggota Komisi IV DPR RI asal Fraksi PKS, Slamet mengatakan, fenomena tersebut seharusnya disadari pemerintah sebagai pertanda, bahwa kesejahteraan petani dalam negeri harus terus diperhatikan, jangan import terus.(RMOL.com, 30/8/2021)


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang Januari-Juni 2021 terjadi peningkatan impor cabai, jika dibandingkan dengan impor periode yang sama tahun lalu.


Berdasarkan data BPS, impor cabang sepanjang Semester I-2021 sebanyak 27.851,98 ton dengan nilai US$ 59,47 juta. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai US$ 34,38 juta.


Negara-negara pemasok import cabe diantaranya adalah India, Cina, Malaysia, Spanyol, Australia dan negara lainnya (CNBCIndonesia.com, 13/8/2021). Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pasokan aneka cabai untuk konsumsi di Indonesia berada pada posisi surplus. Indonesia juga mengimpor cabai untuk memenuhi kebutuhan industri.


Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementan Bambang Sugiharto menjelaskan impor cabai sebesar 27.851 ton sepanjang semester I/2021 dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai diimpor dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk dan bukan cabai segar konsumsi.(m.bisnis.com,25/8/2021).

Dilansir dari detikNews, Kamis 1/10/2021, Sejak 2015 nilai impor cabai selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya, dengan kenaikan tertinggi pada 2017 yaitu sebesar 42% dari tahun sebelumnya. Hal itu sangat disayangkan.


Menurut Food Agriculture Organization (FAO), Indonesia merupakan negara penghasil cabai terbesar keempat di dunia pada 2018 dengan total produksi sebesar 2.542.358 ton. Jika kita melihat sedikit lebih jauh, alasan Indonesia selama ini masih melakukan impor cabai karena permintaan konsumsi masyarakat yang tinggi di bandingkan dengan produksi dalam negeri, untuk menstabilkan harga, dan luasnya pertanaman cabai di Indonesia tidak diikuti oleh produktifitas yang tinggi.


Sementara untuk tahun ini kondisi ketersediaan cabai melimpah, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Bambang Sugiharto juga mengatakan kondisi produksi saat ini dalam kondisi baik dan surplus.(liputan6.com, 29/8/2021). Jadi, seharusnya tidak ada alasan kurang produktifitas, malah akhirnya petani yang jadi korban dengan anjloknya harga cabai, alih-alih kondisi melimpahnya panen cabai ini membuat kestabilan dalam negeri, ternyata kesejahteraan petani tetap tidak ada, hal ini disebabkan kran impor terus dibuka bahkan tahun ini mengalami peningkatan. Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid menjelaskan harga cabai merah keriting anjlok sampai menyentuh Rp7.000 per kilogram (kg). Sementara itu cabai rawit merah berkisar Rp8.000 per kg di tingkat petani. Pasar sangat lesu dan produksi tinggi.


Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) menunjukkan bahwa harga cabai merah keriting di pasar tradisional melanjutkan tren penurunan sejak awal Agustus, dari rata-rata Rp33.100 per kg pada 1 Agustus 2021 menjadi Rp28.200 per kg pada 31 Agustus 2021. Penurunan harga yang drastis juga terjadi pada cabai rawit merah yang bergerak turun dari Rp55.650 per kg pada 1 Agustus menjadi Rp38.450 per kg pada 31 Agustus 2021.(m.bisnis.com,31/8/2021).


 Padahal kebutuhan konsumsi cabai seharusnya sudah disesuaikan ukurannya sejak lama, sehingga ketika kondisi surplus cabai seperti sekarang, hal yang diupayakan adalah meningkatkan nilai ekspor. 


Beberapa cara dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia yang selama ini menurun setiap tahunnya, antara lain selalu menjaga ketersediaan bahan baku dengan mengembangkan teknologi tepat guna untuk mengawetkan hasil panen petani, dalam bentuk mesin pengering dan penumbuk cabe yang efektif untuk menciptakan cabai yang siap diekspor. 


Di samping itu, Pemerintah juga harus berusaha untuk mengendalikan nilai impor agar tidak naik terus-menerus, atau dihentikan sama sekali, swasembada pangan dalam negeri mutlak ditingkatkan untuk daya saing global. Namun faktanya, impor terus naik tiap tahun, ketika panen surplus akhirnya harga anjlok. Semua ini tergantung Political Will dari Pemerintah, apakah tetap mengambil opsi impor ataukah tidak dalam setiap pengadaan pangan yang vital di dalam negeri.


Ketergantungan negeri ini dengan impor menunjukkan keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi nafas kearifan lokal yang kaya akan sumber daya alam yang bisa dikembangkan. Dengan penguasaan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi dan perdagangan pangan. Harga pun mereka kendalikan. Sekadar menyebut contoh, kenaikan harga setiap jelang hari-hari besar menunjukkan struktur oligopoli telah bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru. Kian terbukanya pasar bebas, Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius dalam memperkuat kedaulatan pangan.(kontan.co.id, 15/8/2020).


Inilah sejatinya sistem kapitalisme yang diterapkan di dunia, termasuk di negeri ini, dalam kapitalisme Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna memperoleh keuntungan bersama, tetapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Pelaku kapitalisme disebut Kapital.(Wikipedia.org). Dalam hal ini adalah para pengusaha dan importir, sehingga surplus cabai seolah tidak berpengaruh terhadap banyaknya impor cabai. Import tetap berjalan meskipun surplus, hal ini yang mengakibatkan harga cabai dalam negeri anjlok dan petani merugi.


Kondisi ini sangat berbeda dengan Islam, dimana dalam Islam Pemerintah adalah pengurus dan pelayan bagi rakyat, Pemerintah dalam Islam memperhatikan kesejahteraan dan tercukupinya kebutuhan per-individu masyarakat termasuk didalamnya petani, bagaimana Islam terkait bidang pertanian sungguh telah menjadikan perhatian yang cukup serius sejak masa Rasulullah SAW, misalnya dengan adanya syariat menghidupkan tanah mati, sebagaimana tercantum dalam Buku Sistem Ekonomi Islam (Nidhom Al iqtishod Fil Islam), Umar bin Khaththab pernah berkata,”Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan.” Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma’ Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi saw) dalam masalah ini. Umar mendasari aktifitasnya dengan hadits Rasulullah:“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].


Tanah harus dikelola, agar produktif tidak boleh ditelantarkan. Bentuk-bentuk peningkatan produksi seperti ekstensifikasi (pembukaan lahan baru) dan intensifikasi(pengadaan bibit unggul, teknologi tepat guna, pengadaan pupuk) lahan diserahkan mutlak kepada petani dengan negara akan memfasilitasi seoptimal mungkin. Negara akan mencegah adanya kepemilikan dan dominasi lahan atas individu tertentu, atau kelompok apalagi tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik melalui industri-industri pertanian swasta maupun asing dengan perjanjian multilateral, seperti WTO, FAO, dan lain-lain, karena ini akan sangat membahayakan kedaulatan pangan negara.


Penataan distribusi kekayaan oleh negara pun tak luput menjadi perhatian negara mulai dari penentuan kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan juga pendistribusiannya bagi kemaslahatan warga negaranya, person per person diperhatikan kesejahteraannya. Demikianlah begitu jelasnya pengelolaan negara yang seharusnya dalam pertanian. Hanya saja ketika negeri ini masih terus bertahan dengan kapitalisme sebagai sistem hidup maka keterpurukan rakyat akan terus terpampang nyata di depan mata dan kesejahteraan mereka hanya sebatas angan. Wallahu a'lam Bi asshawwab. 


Oleh Hanin Syahidah

Posting Komentar

0 Komentar