Cukupkah Petisi Mencegah KRB Dari Komersialisasi?


Kebun Raya Bogor (KRB) merupakan kebun botani yang terletak di kota hujan Bogor dengan luas mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Selain menjadi pusat konservasi untuk tumbuhan, KRB juga memiliki sumber daya air yang memberi manfaat bagi masyarakat sekitar. Tak kalah pentingnya, KRB berperan utama dalam menyeimbangkan ekosistem suatu wilayah dan juga memiliki fungsi sebagai paru-paru kota untuk meminimalisir polusi dan pemanasan global.

KRB merupakan salah satu ikon bagi Kota Bogor yang banyak dikunjungi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Karena lingkungan yang hijau dan asri sering kali dijadikan sebagai destinasi wisata dan edukasi bagi masyarakat. Begitu besarnya manfaat KRB bagi masyarakat, seketika terusik dengan adanya rencana wisata malam di KRB yang bertajuk Glow. Glow adalah atraksi sinar lampu di waktu malam, yang dikhawatirkan berpotensi mengubah keheningan malam KRB. Glow akan mengganggu kehidupan hewan dan serangga penyerbuk tumbuhan tropika serta pada tumbuhan tertentu sehingga menyebabkan penurunan produksi buah sebanyak 13 persen. (CNN Indonesia, 27/09/2021)

Rencana ini menuai reaksi penolakan dari berbagai kalangan. Mulai dari para mantan kepala KRB hingga masyarakat umum. para mantan kepala KRB melayangkan rilis resmi terkait penyelewengan tugas pokok dan fungsi KRB yang dianggap sudah melenceng jauh dari marwahnya sebagai tempat edukasi dan konservasi. Muncul juga petisi online yang sudah ditandatangani oleh lebih dari 17.000 orang. Meminta Presiden Jokowi menyelamatkan kawasan konservasi dan cagar budaya di KRB.

Alasan yang dikemukakan para mantan kepala KRB Indonesia terkait komersialisasi yang sudah kelewat batas. Sehingga perlu meninjau kembali rencana Glow dan menghentikan pembangunan fisik. Termasuk pengecoran jalan gico yang akan mengurangi resapan air yang diperlukan oleh tumbuhan. Karena dikhawatirkan akan mempengaruhi debit 5 mata air alami di KRB serta usaha untuk mengurangi kontribusi air penyebab banjir di Jakarta. (Liputan6,27/07/2021)

Rencana komersialisasi KRB ini juga menuai sorotan dari ketua DPRD Kota Bogor, Atang Tristanto dan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto. Mereka meminta menghentikan operasional wisata malam Glow kepada pengelola KRB sampai ada hasil penelitian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan IPB University sebagai landasan untuk memutuskan apakah wisata malam itu bisa dioperasikan atau tidak. (detiknews, 29.09/2021)

Komersialisasi KRB ini tidak lepas dari berpindahnya pengelolaan empat kebun raya yakni Kebun Raya Bogor, Cibodas, Purwodadi dan Bali dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada pihak swasta sejak awal 2020. Hal ini disampaikan oleh Kepala LIPI Laksana Tri Handoko yang mengatakan bahwa alih kelola tersebut dilakukan karena LIPI tidak memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengeksplorasi potensi KRB di era kekinian.

Pengalihan pengelolaan KRB tentu sangat disayangkan, karena potensi KRB yang begitu besar bagi masyarakat Kota Bogor. Juga keberlangsungan ekosistem tumbuh-tumbuhan yang memiliki fungsi edukasi yang sangat dibutuhkan oleh generasi masa depan kelak. Apabila pengelolaan KRB yang merupakan aset negara diswastanisasi, maka prinsip ekonomi kapitalislah yang bermain. Demi mendapatkan keuntungan yang besar, tidak masalah walaupun harus mengorbankan lingkungan dan masyarakat.

Dampak pengalihan pengelolaan KRB ini, dikhawatirkan akan banyak terjadi kerusakan alam dan banjir dikarenakan berkurangnya tempat resapan air serta berkurangnya sumber air alami yang dimiliki Kota Bogor. Hal ini seharusnya tidak akan terjadi jika negara sebagai pihak yang memiliki kewenangan menjaga lingkungan dan masyarakat fokus terhadap amanahnya sebagai pelayan urusan rakyatnya.

Pengalihan KRB karena ketidakmampuan LIPI untuk mengeksplorasi KRB, membuktikan negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator untuk memuluskan kepentingan para korporasi. Karena para korporasilah yang menjadi pihak yang diuntungkan dari pengalihan pengelolaan KRB. Sehingga dampak kerusakan alam perlahan namun pasti akan menjadi kenyataan dan menjadi mimpi buruk bagi masyarakat dan negara ini.

Oleh karena itu adanya petisi tidaklah cukup untuk menghentikan komersialisasi KRB. Selama sistem kapitalisme masih menjadi rujukan lahirnya berbagai kebijakan di negeri ini. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan KRB dari komersialisasi adalah dengan mengubah sistem kehidupan yang berasaskan kapitalis menjadi kehidupan yang Islami di bawah naungan negara (khilafah) yang menerapkan Islam secara kaffah di seluruh lini kehidupan masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Ruum : 41 yang artinya, ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena  tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar”.

Ayat di atas menegaskan bahwa terjadi kerusakan alam baik di darat maupun di laut akibat  ulah manusia yang serakah dan mencampakkan aturan Allah dalam mengelola alam. Seringkali kita mendengar terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, erosi dan kerusakan alam lainnya dikarenakan penambangan liar, penggundulan hutan, pembangunan tempat wisata dan infrastruktur yang menghilangkan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia. Semuanya disebabkan oleh kerakusan kapitalis dan penguasa sebagai pengambil kebijakan pro korporasi.

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang datang dengan membawa rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan alam dan mengelola lingkungan tanpa mengabaikan pelestariannya. Menutup semua celah yang memungkinkan kekayaan alam diekplorasi untuk kepentingan segelintir orang. Adapun mekanisme Islam dalam  mengatur pemeliharaan hingga pengelolaannya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah: pertama, Islam mengatur kepemilikan harta yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Hutan dan keanekaragaman hayati merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh diambil alih oleh individu ataupun swasta. Negara yang mengelolanya hanya untuk memenuhi hajat hidup masyarakat, dan masyarakat boleh mengambil manfaatnya sebatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kedua, Islam mengajarkan mencintai alam dan lingkungan. Abu Bakar r.a. pernah berpesan ketika mengirim pasukan ke Syam, ”Dan janganlah kalian menenggelamkan pohon kurma atau membakarnya, janganlah kalian memotong binatang ternak atau menebang pohon yang berbuah” (HR. Ahmad). Hadis ini mengindikasikan jika dalam kondisi perang saja dilarang merusak tanaman, apalagi dalam keadaan damai. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan alam dan lingkungan serta negara mendisplinkan seluruh rakyatnya untuk turut serta menjaga lingkungan dengan membiasakan hidup bersih dan suci.

Ketiga, Islam mengenal konsep perlindungan lingkungan hidup dengan menetapkan sejumlah wilayah di sekitar Madinah sebagai hima, yang melarang manusia untuk berburu dan mengeksploitasi atau merusak tanaman. Mereka yang berhak memanfaatkan hima adalah orang-orang yang membutuhkan.

Keempat, Islam mendorong menghidupkan  tanah mati agar masyarakat dapat mengelolanya dengan menanaminya. Rasulullah Saw. bersabda, ”Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya dan orang yang memagarinya tidak memiliki hak setelah tiga tahun” (HR. Abu Yusuf)

Kelima, negara akan melakukan penghijauan dan reboisasi, agar fungsi hutan atau pohon tidak akan hilang. Negara juga memfasilitasi dan mendanai berbagai penelitian terkait tumbuh-tumbuhan dan hewan agar kelestariannya tetap terjaga.

Keenam, negara akan memetakan wilayah, mengkaji dan menyesuaikan pembangunan infrastruktur dengan topografi dan karakter alam di wilayah tersebut. Dan memetakan wilayah eksplorasi untuk pertambangan, pertanian, perkebunan tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan. Sebab, kekayaan alam yang hakikatnya adalah milik umum bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan untuk dikomersialisasi seperti layaknya dalam pandangan kapitalis.

Dengan mekanisme ini, kelestarian dan keseimbangan alam bisa terjaga. Bencana alam akibat ulah tangan manusia pun tidak akan  terjadi. Cagar alam seperti KRB akan dijaga keberadaan dan fungsinya semata-mata untuk kebutuhan masyarakat secara luas dan sebagai paru-paru dunia. Mekanisme di atas hanya bisa diwujudkan dalam sistem khilafah, dimana syariat Islam dijadikan satu-satunya aturan yang mengatur kehidupan, bukan yang lain. Penerapan Islam dalam bingkai khilafah akan mengantarkan kehidupan umat manusia yang penuh berkah dariNya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al A’raaf : 96 yang artinya “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Allah akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”. Wallahu a’lam. []


Oleh : Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)


Posting Komentar

0 Komentar