Demokrasi konon digambarkan sebagai sebuah sistem yang paling baik. Dianggap juga mampu membawa dunia keluar dari berbagai kesenjangan yang ada. Sebab ketika demokrasi memberikan kebebasan berekonomi dan memiliki sesuatu, diharapkan hal tersebut akan mengantarkan pada rasa keadilan. Siapa yang berusaha lebih keras, berhak mendapat bagian lebih banyak. Demikian sebaliknya.
Konsep ini senantiasa didengungkan dan diteorikan dalam ilmu ekonomi. Masyarakat dipaksa menerima teori dan konsep batil ini tanpa ada penjelasan tentang cara dan mekanisme mana saja yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Dengan kata lain demokrasi tidak membedakan mana aktivitas berekonomi yang haram (tidak boleh dilakukan) dan mana yang halal. Akibatnya kebebasan berekonomi dengan konsep seperti ini justru membawa pada kesenjangan dalam setiap penerapannya.
Kasus yang terjadi di Indonesia adalah gambaran yang sangat jelas bagi hal ini. Semua orang terbelalak saat Krisdayanti menyampaikan secara blak-blakan perolehan gajinya sebagai anggota DPR yang sangat besar. Ia membeberkan, setiap bulannya ia menerima gaji pokok sebesar Rp 16 juta dan uang tunjangan sebesar Rp 59 juta. Sangat kontras dengan kondisi rakyat yang tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi.
Ditambah lagi sebelumnya diberitakan bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) telah menyiapkan anggaran senilai Rp 6,5 miliar untuk renovasi ruang kerja Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim hingga ruang kerja stafsus menteri. Dan meskipun mendapat banyak kritik, toh renovasi itu tetap berjalan.
Memang benar jika dikatakan, gaji besar memang tak masalah jika kontribusi dan jerih payah yang diberikan juga besar. Namun, realita yang terjadi di negeri ini memberikan bukti yang yang berkebalikan. Lihat saja dalam bagaimana rakyat kecil berusaha keras membanting tulang demi bisa bertahan hidup. Bahkan tak jarang mereka harus berkorban, bertaruh nyawa, mempertaruhkan kesehatan dan sisa umurnya untuk terus mendapatkan kesejahteraan.
Viralnya surat dari seorang pengawas ujian PPPK kepada Nadiem Makarim yang menceritakan tentang kegagalan seorang kakek usia 57 tahun saat mengikuti ujian PPPK adalah realitas yang sangat kontras dengan kondisi Mendikbud sendiri. Pengabdian sekian lama yang sudah diberikan tetap tak cukup untuk meraih kesejahteraan. Rasanya memang tidak adil bukan? Dan problem ketidakadilan itu muncul karena sistem demokrasi tidak mengatur mekanisme halal haram dalam beraktivitas ekonomi.
Menjadi guru bukanlah aktivitas yang haram jika caranya benar, misal dengan mengikuti ujian masuk tanpa melakukan riswah (suap). Begitu pula menjadi mentri bukan aktivitas yang diharamkan selama cara-cara yang ditempuh bukan cara-cara yang haram.
Sayangnya demokrasi tidak memberikan batasan terkait cara atau mekanisme ini. Demokrasi membebaskan setiap orang melakukan aktivitas ekonomi apapun selama tidak ada gesekan dengan pihak lain. Akibatnya bagi mereka yang terbiasa main belakang atau bermain curang, hal ini bisa membuat mereka mudah mengalahkan pihak lain. Artinya sistem yang dibuat oleh demokrasi sendiri memang tidak adil sejak awalnya.
Dan hal itu tak hanya berlaku dalam bidang ekonomi saja. Bahkan di bidang sosial politik pun juga demikian, Tak heran jika ada yang mengatakan, demokrasi di Indonesia adalah demokrasi "winner take all", dimana pemenang pesta demokrasi mengambil semua dari yang kalah tanpa adanya akomodasi ke pihak yang kalah.
Dengan demikian demokrasi memang tidak mampu sebenarnya mengeluarkan dunia dari kesenjangan yang ada. Justru penerapan demokrasi akan mengantarkan pada gap yang kian lebar. Karena mekanisme yang dibuat secara awal memang tidak adil dan cenderung memihak pada pemilik modal.
Berbeda dengan Islam. Islam menjelaskan mana aktivitas ekonomi yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Hukum syariat yang diterapkan tidak boleh memihak. Misalnya pemberlakuan akad ijarah bagi setiap pegawai negara. Dalam pandangan Islam ketika dua belah pihak melakukan akad ijarah, maka posisi keduanya adalah setara. Bukan berarti pekerja berada di posisi yang lebih rendah daripada pihak yang mempekerjakan sehingga bisa menentukan upah sekehendak hatinya.
Mekanisme yang ada dalam sistem Islam inilah yang membuat setiap orang bisa menikmati kesejahteraan. Sebab selain ada hukum syariat, Islam juga memiliki mekanisme yang membuat kekayaan mengalir pada mereka yang papa melalui anjuran infak dan sedekah. Dan mekanisme itu hanya akan terwujud saat hukum Islam diterapkan secara keseluruhan dalam aspek kehidupan.
Dengan begitu sebenarnya penerapan sistem demokrasi pada hakikatnya takkan pernah mengantarkan pada kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya penerapan sistem demokrasi justru berpotensi menghasilkan kesenjangan abadi. Jadi masihkah berharap pada demokrasi?
Oleh Kamilia Mustadjab.
0 Komentar