Wakil Ketua DPD Sultan Najamudin menyoroti anggaran fantastis pemilu 2004. Menurut Sultan, biaya pemilu ke depannya pasti akan terus meningkat. Hal tersebut merupakan jebakan dari sistem demokrasi liberal. Pemilu langsung, menurut Sultan, hanya menjadi ajang adu kuat modal politik yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki. (beritasatu.com, 19/09/2021).
Sementara itu, isu presiden tiga periode belum sepenuhnya hilang dari tengah publik, meskipun presiden terus menyangkal hal tersebut. Bahkan, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI) Ali Rifan menilai, kondisi itu (tiga periode, red) bisa saja terjadi, meski akan banyak pertentangan dari publik. Ali menyinggung ucapan Presiden Jokowi yang enggan mencalonkan diri untuk kali ketiga sebagai presiden. "Awalnya, kan, Jokowi selalu menolak komentar soal capres, tetapi akhirnya malah nyapres," jelasnya (wartaekonomi.co.id/ 22/09/2021).
Kritik terhadap sistem demokrasi bukan kali ini terlontar dari banyak tokoh dan ahli. Baik dari segi perencanaan, pembiayaan, teknis pelaksaanaan, hingga pembangunan yang berhasil diraih paska pemilu. Namun, ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu, perhelatan akbar memilih pemimpin negeri yang notabene masih 3 tahun lagi ini bahkan sudah masif dibicarakan.
Mengapa kita butuh pemimpin? Sudah menjadi fitrahnya, bahwa manusia terlahir sebagai makluk individu juga sosial. Dalam perannya sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan interaksi dengan manusia yang lain. Bagaimana jadinya jika interaksi yang terus menerus tersebut berjalan tanpa pemimpin? Maka, ibarat anak ayam kehilangan induknya. Bagaikan sekawanan burung tanpa kepala kelompok. Akan tercerai berai tak tentu arah, saling bertikai, berselisih saling menjatuhkan, hingga konflik tak berkesudahan. Maka secara alamiah, manusia sebagai makluk sosial membutuhan pemimpin sekaligus dengan aturan yang akan diterapkan, agar kehidupan dapat terus berjalan sebagaimana mestinya.
Pemimpin ada untuk mengurusi dan menanggung semua kebutuhan yang dipimpinnya. Perhatikan bagaimana induk ayam begitu sibuk mencarikan makan untuk anak-anaknya, hingga memberikan kenyamanan, tidur penuh kehangatan dibalik dekapan sayapnya. Bagaimana seorang ayah banting tulang mencari nafkah untuk anak-anak dan istrinya. Memastikan seluruh anggota keluarga sehat, nyaman dan bahagia, tanpa berharap balasan apapun kecuali rasa cinta dan pahala. Seperti itulah sejatinya pemimpin.
Bagaimana dengan para pemimpin negeri hari ini? Yang terlihat publik, dari jauh-jauh hari mereka sibuk memasang baligho-baligho raksasa. Aktivitasnya mendadak padat dengan kegiatan sosial, terjun ke tengah masyarakat, blusukan, mendengar aspirasi rakyat, katanya. Jalan-jalan rusak diperbaiki, program-program pro rakyat disusun rapi, sosialisasi gencar tiada henti. Janji-janji diobral sungguh memikat hati. Klaimnya, inilah pesta demokrasi.
Bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk semua hingar bingar tadi. Inilah bukti, bahwa menjadi pemimpin di dalam sistem demokrasi tak cukup dengan modal niat sepenuh hati. Tapi butuh modal beratus-ratus jeti, bahkan lebih. Bagaimana jika modal jauh dari mencukupi? Maka disinilah celah transaksi politik itu terjadi. Masuklah para pemodal yang menawarkan jasanya mendukung si calon penguasa mencapai puncak kekuasaannya. Apakah dukungan ini cuma-cuma alias gratis? Jelas tidak. Ada konsekuensi yang harus di penuhi saat nanti berhasil mendapatkan kursi.
Inilah yang namanya transaksi politik berbiaya tinggi. Penguasa butuh modal dari para pemodal untuk medapatkan kekuasaannya. Pemodal butuh legitimasi dari penguasa untuk melancarkan dan mengembangkan usaha dan kekayaanya. Dan akan begitu seterusnya. Sebuah lingkaran setan kapitalisme yang saling menguntungkan dan menguatkan, bagi mereka para penguasa dan kaum kapital atau pemilik modal.
Maka selama memilih demokrasi, transaksi politik berbiaya tinggi adalah harga mati. Saat ada transaksi yang belum tuntas, menambah periode jabatan bisa menjadi salah satu jalan pintas. Termasuk jika harus mengambil jalan amandemen UUD 45.
Lucius Karius, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia-Formappi, dalam diskusi virtual bersama Pusat Kajian Analisis Data (PKAD) 30 Agustus 2021 memperhatikan, wacana amandemen UUD 45 isunya muncul-tenggelan namun terus dipelihara. Menurutnya, dampak pandemi banyak ambisi politik para politisi yang belum terwujud. Kemudian mereka seperti bergerilya mencari strategi untuk meloloskan misi.
Jika memang amandemen begitu mudahnya dibuat hanya atas dasar negosiasi politik, ini semakin menunjukkan wajah asli demokrasi. Yaitu Lemah dan penuh kecacatan. Bagaimana nasib rakyat yang katanya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi? Faktanya harus gigit jari. Semangat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya slogan pemikat hati yang jauh dari realisasi. Buktinya, selama pandemi covid-19 saja, 70% persen pejabat tambah kaya, sementara 70% rakyat sebaliknya, miskin dan menderita. Ini semua terjadi di bawah sistem demokrasi.
Mengapa bisa demikian? Karena demokrasi adalah hasil pikiran manusia. Manusia dengan sifatnya yang lemah dan terbatas mustahil mampu menghasilkan aturan yang sempurna. Ada banyak kepentingan dari banyak kepala haus dunia, yang semuanya sama-sama ingin diwujudkan. Dari sinilah konflik kepentingan terus terjadi. Siapa yang kuat dia yang memang, baik kuat secara jabatan, mapun dari segi modal.
Maka, tidak ada aturan yang sempurna kecuali itu datangnya dari Sang Maha Sempurna, Allah SWT. Bagaimana Islam mengatur dengan begitu sederhana namun detail dan paripurna dalam memilih pempimpin. Tak perlu biaya selangit maupun waktu dan proses yang lama dan berbelit-belit. Namun hasilnya, sejarah telah membuktikan kepemimpinan Islam mampu membawa peradaban yang gemilang selama lebih dari 13 abad.
Masihkah kita akan mempertahankan sistem hasil buatan manusia? Sementara ada jaminan keselamatan dan keberkahan dunia akhirat dari Allah SWT tatkala kita memilih syariat Islam sebagai satu-satunya aturan hidup?
Wallahu’alam bishawab.
Oleh Anita Rachman
(Muslimah Peduli Peradaban)
0 Komentar