Direktur Keuangan & Manajemen Risiko KAI Salustra Wijaya mengestimasikan pembengkakan biaya senilai US$1,4 miliar-US$1,9 miliar. Bila sebelumnya struktur pendanaan proyek senilai US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS), kini proyek diestimasikan membutuhkan pendanaan sekitar US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun, (cnnindonesia.com, 3/9/2021).
Menurut Salustra, penyebab utama terjadi pembengkakan ada pada komponen konstruksi (EPC), perkiraannya biaya konstruksi naik US$600 juta-US$1,2 miliar akibat kenaikan harga, relokasi jalur utilitas, fasilitas umum, dan sosial.
Tercatat pekerjaan tambahan. Ini tough (berat) karena jalur yang dilalui sangat banyak dan luas dan melewati daerah komersial, bahkan ada kawasan industri yang digeser dan cukup costly (mahal)," ujarnya saat rapat bersama Komisi VI DPR, Rabu (1/9).
Komponen kedua adalah pembebasan lahan. Pos ini menelan biaya tambahan US$300 juta karena total area lahan yang dibebaskan naik 31 persen menjadi 7,6 juta meter2, sementara total biaya naik 35 persen dari anggaran awal.
Efek domino dari keterlambatan tersebut, financing cost atau biaya bunga dari pinjaman proyek juga naik. Diperkirakan financing cost naik US$200 juta akibat keterlambatan proyek. Diketahui, 75 persen dari proyek KCIC dibiaya dari pinjaman China Development Bank (CDB). Sedangkan, 25 persen lainnya dibiayai dari ekuitas antara Indonesia dan China.
Lebih lanjut, Salustra menambahkan bahwa biaya head office dan pra-operasi juga naik US$200 juta. Anggaran ini dipakai untuk membayar konsultan keuangan, pajak, dan hukum. Sementara, anggaran biaya lain-lain terutama digunakan untuk membayar keperluan signaling sebesar US$50 juta.
Ia mengatakan setelah dihitung pada November 2020, biaya tersebut ternyata melar menjadi 8,6 miliar dolar AS (sekitar Rp122 triliun). Selanjutnya, berdasarkan kajian yang melibatkan konsultan, biaya proyek itu kembali naik. Salah satunya karena pembebasan lahan, (voi.id, 2/9/2021).
Seperti biasanya setiap investasi besar, semisal pembangunan kereta cepat (high speed train) yang nilainya mencapai Rp14,24 triliun menjadi berita yang kontroversial. Pasalnya, biaya pembangunan yang makin membengkak di tengah kesulitan ekonomi negeri ini.
Pertama, pemerintah memutuskan begitu cepat? Pengambilan keputusan strategis yang agile dan cepat dianggap terburu-buru dan tanpa memikirkan resiko jangka panjang bagi perekonomian Indonesia.
Bukankah proyek-proyek infrastruktur yang sudah disetujui saja bahkan dibiarkan mangkrak bertahun-tahun? Rencana tinggallah rencana. Ribut sedikit saja sudah membuat penguasa takut dan tidak bekerja. Proyek jalan Tol Cipularang yang bisa dituntaskan setahun saja, bahkan dulu sempat dibiarkan berlubang dan berdebu lebih dari 5 tahun.
Kedua, menjadi kontroversial karena keputusan pada level bisnis yang beresiko dan berbasis utang besar juga cepat sekali dan terus berkembang (adaptif). Karena tak melibatkan uang dan jaminan negara, maka Menteri Perhubungan pun menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri BUMN dengan skema business to business.
Ketiga, proses cepat ini ternyata ada cost-nya, yaitu publik kurang mengetahui, berapa nilai profit yang dapat diperoleh Indonesia. Dilema di era keterbukaan dan partisipasi publik ini memang dapat kita rasakan, antara hak untuk tahu publik dengan keputusan bisnis strategis yang cepat berubah.
Keempat, keterlibatan China dalam proyek ini telah menimbulkan polemik berkepanjangan, mengingat jumlah utang Indonesia kepada China telah mencapai Rp305,85 triliun dan mereka punya kepentingan untuk menjaga aset dan modalnya di Indonesia.
Skema ini logis bagi China yang dipimpin oleh China Railway Corporation (CRC) yang berkongsi dengan empat BUMN, yakni PT Wijaya Karya Tbk (pemimpin konsorsium), PT Kereta Api Indonesia, PT Jasa Marga Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII untuk menjamin keamanan dan memberi kepastian jika kepentingan China menjadi prioritas.
Konsorsium CRC itu bahkan sudah menyiapkan China Development Bank (CDB) sebagai penyandang dana. Dengan jangka waktu pengembaliannya sampai 40 tahun, ditambah dengan grace period 10 tahun.
Sekarang pertanyaannya, dimana letak peluang bisnisnya? Bagaimana hitung-hitungannya? Paling mudah, bisnis-bisnis turunan akan datang dari area seputar stasiun-stasiun kereta cepat tersebut. Ini mirip dengan konsep inti plasma, dengan stasiun menjadi intinya.
Kalau melihat proposalnya, ada delapan stasiun yang menjadi jalur lintasan kereta cepat tersebut, yakni Gambir, Manggarai, dan Halim yang berada di Provinsi DKI Jakarta. Lalu, lima stasiun lainnya, yakni Cikarang, Karawang, Walini, Kopo dan Gedebage berada di Provinsi Jawa Barat.
Menurut estimasi pemerintah, akan banyak peluang tercipta berkat kehadiran stasiun-stasiun tersebut. Semua itu akan mendatangkan mitra dan permodalan, bahkan capital gain yang besar bagi negeri ini. Khususnya Cikarang dan Karawang, pertanyaanya benarkah demikian?
Laporan yang ditulis Carmen Reinhard dari Universitas Harvard bersama Christoph Trebesch dan Sebastian Horn dari Kiel Institute. Secara keseluruhan, studi itu meneliti 2.000 pinjaman China kepada 152 negara pada tahun 1949-2017. Tercatat sejak tahun 2015 saja ada 50 negara berkembang yang terus menambah utang dari China, (Liputan6.com, 15/7/2019).
Negara yang lebih maju berutang ke China lewat surat utang negara (sovereign bonds). Sementara, negara berpenghasilan rendah biasa mendapat utang langsung dari BUMN China seperti China Development Bank dan Export-Import Bank of China.
"Gencarnya pinjaman utang internasional itu adalah hasil pertumbuhan ekonomi China yang cepat, tetapi juga karena kebijakan going global dari China," ujar Tresbech yang menjadi kepala peneliti keuangan internasional dan pemerintahan dunia.
Selama ini China dikritik karena menggelontorkan utang lewat program Jalur Sutera Baru mereka. Foreign Policy dan berbagai pengamat kerap menyebutnya sebagai Diplomasi Utang (debt diplomacy).
Namun masalah lain dari utang China adalah negara itu tidak transparan dalam pelaporan utang. Utang tersembunyi ini memberi dampak berat bagi negara seperti Venezuela, Iran, dan Zimbabwe.
Akibat dari kasus utang tersembunyi ini, ada negara yang utangnya tampak lebih kecil dari sebenarnya. Dan pada akhirnya, sulit menganalisis tingkat utang negara tersebut demi memberikan strategi dalam meringankan utang.
Sri Lanka misalnya, harus rela menyerahkan pelabuhannya karena masalah utang ke China. Akibatnya, Diplomasi Utang China juga mendapat julukan Diplomasi Jebakan Utang (debt-trap diplomacy).
Mengacu pada laporan diatas, maka bisa dipastikan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mengandung jebakan utang, apapun alasannya penambahan utang yang bernilai besar akan sangat menguntungkan bagi China namun tidak bagi Indonesia.
Sebagaimana rilis lembaga think thank Lowe Institute Sydney yang secara spesifik memantau kegiatan-kegiatan China di Pasifik, memperkirakan China telah menggelontorkan hampir 1,4 miliar poundsterling atau setara dengan Rp27 triliun sejak tahun 2006 ke negara-negara Pasifik. Dan China memiliki kebebasan untuk melakukan aktivitas apa saja, termasuk beroperasi di pangkalan militer, pelabuhan dan laut.
Bagaimana dengan pembangunan proyek kereta cepat? Menurut Greg Raymond, dosen Pusat Studi Strategis dan Pertahanan Australian National University mengatakan China mempercepat pembangunan infrastruktur untuk memperoleh keuntungan ganda.
Pertama, jaringan transportasi, memberikan akses ke negara-negara kawasan Asia Tenggara. Kedua, untuk mengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) sebagai simpul untuk mengontrol produksi, rantai permintaan dan konsumsi serta memperdalam pengaruh politik untuk menjadikan China sebagai pusat ekonomi dunia baru.
Jika demikian faktanya, utang Indonesia ke China semakin membesar tentu memiliki konsesi tertentu, Lantas apa yang menguntungkan bagi rakyat dengan pembangunan infrastruktur kereta cepat tersebut? Tentu saja, manfaat yang diperoleh minim karena konsekuensi logis dari diterapkannya sistem kapitalisme hanya untuk keuntungan rezim dan mitra korporasinya.
Sedangkan dalam sistem pemerintahan Islam, kebijakan khalifah dalam pembangunan infrastruktur menggunakan tiga strategi, yakni; memproteksi beberapa kepemilikan umum, misalnya kilang minyak, tambang, emas dan sejenisnya. Negara khilafah berhak membiayai dari sumber tersebut untuk jihad, fakir dan seluruh kemaslahatan rakyat.
Kedua, sumber pendapatan dari fai’ untuk membiayai kebutuhan negara, pasukan, fakir, miskin, anak yatim, dan janda sesuai dengan (QS. Al-Hasyr: 6-10). Ketiga, mengambil pajak secara temporal dengan syarat (Muslim dan mampu) untuk membiayai infrastruktur, ini dilakukan saat tidak ada kas di Baitul Mal, itupun untuk pembiayaan prasarana vital, jadi bukan menjerumuskan negara dalam bentuk diplomasi utang yang sudah pasti membawa mudharat dan melanggengkan penjajahan.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar