Gaji DPR Nan Fantastis, Bikin Rakyat Meringis


Demokrasi mahal. Biayanya sangat mahal. Mahal bagi rakyat, karena rakyat akan selalu menjadi sapi perah untuk mengenyangkan perut para pejabat. Gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendadak menjadi topik perbincangan setelah penyanyi yang juga anggota dewan, Krsidayanti, blak-blakan bicara soal pendapatan yang ia terima sebagai wakil rakyat.

Hal itu ia ungkapkan dalam video bertajuk "NEKAT! KRISDAYANTI BERANI BICARA POLITIK DISINI! | AF UNCENSORED" yang ditayangkan akun YouTube Akbar Faizal Uncensored.

"Setiap tanggal 1 (dapat) Rp 16 juta, tanggal 5 (dapat) Rp 59 juta, kalau enggak salah," kata Krisdayanti dalam video tersebut.

Uang sebesar Rp 16 juta itu merupakan gaji pokok yang diperoleh Krisdayanti, kemudian uang Rp 59 juta lainnya merupakan uang tunjangan yang diterima setiap bulan.

Krisdayanti kemudian menyebut sejumlah uang yang diperoleh sebagai dana aspirasi dan juga uang kunjungan dapil.

"Dana aspirasi, itu memang wajib untuk kita, namanya uang negara. Dana aspirasi kita itu Rp 450 juta, 5 kali dalam setahun," ujar wanita yang biasa disapa KD ini.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpandangan, jumlah gaji yang diterima oleh anggota dewan belum sebanding dengan kinerja yang mereka hasilkan.

"Terbongkarnya jumlah pendapatan anggota DPR ini tentu saja membuat kita serasa bermimpi. Bagaimana bisa dengan pendapatan sebesar itu kinerja DPR selalu buruk?"

(https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/09/16/07533881)

Pernyataan Lucius Karus tersebut tampaknya ada benarnya. Jika kita telaah, nominal gaji yang besar itu apakah berkorelasi atau sebanding dengan kinerja selama ini?

Demokrasi sistem yang tidak efektif karena butuh biaya yang mahal. Biaya mahal ini realitanya bukan untuk menyelesaikan problem-problem masyarakat dan berkorelasi meningkatkan taraf hidup masyarakat. Justru kebalikannya, kebijakan-kebijakan yang lahir dari DPR tersebut nyatanya banyak yang menyengsarakan rakyat. Bukan rahasia lagi, biaya mahal tersebut justru lebih banyak terserap untuk kepentingan pribadi.

Demokrasi berbiaya mahal wajar adanya, karena mereka memproduksi sistem sendiri, motifnya juga untuk asas kepentingan dan manfaat pribadi. Serta merupakan hal yang wajar dalam demokrasi, apabila para pejabat perlu diongkosi dengan gaji yang fantastis. Inilah salah satu dari sekian banyak yang menjadi problem demokrasi. Yakni meniscayakan akan lestarinya ketimpangan sosial dan ekonomi.

Belum lagi kita ketahui, biaya besar tersebut juga digunakan untuk iuran parpol. Maka tak dipungkiri, akhirnya ujungnya pun mereka ramai-ramai korupsi. Sungguh ini merupakan sebuah tragedi. Yang mana tragedi ini sudah menjadi kawan sehari-hari. Sudahlah rakyat diperas untuk menggaji mereka, korupsi pun juga tak kunjung berhenti. Betapa sistem demokrasi ini melahirkan para pejabat yang serakah.

Hal yang kian mencengangkan, setelah selesai masa jabatan, ternyata rakyat tak selesai membiayai para pejabat. Uang pensiun pun masih mengalir ke kantong mereka. Begitulah demokrasi, seperti yang diungkapkan pada pengantar tulisan,  biayanya sangat mahal. Mahal bagi rakyat, karena rakyat akan selalu menjadi sapi perah untuk mengenyangkan perut para pejabat.

Dalam Islam, produk hukum bersumber dari Alquran dan Sunah. Jadi, tidak memerlukan biaya besar untuk membuat hukum sendiri (Riset, studi banding, biaya menggarap RUU, dll) seperti yang ada dalam demokrasi. Hukum Islam sangat efektif dan sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Tidak memunculkan gap sosial dan ekonomi di antara pejabat struktur pemerintahan dengan masyarakat.

Motif para pejabat struktur pemerintahan dalam Islam, semata-mata untuk meriayah urusan umat. Dan ini akan selalu mengedepankan pengurusan dengan kualitas yang terbaik. Hal ini pun didasari oleh penanaman akidah yang menancap kuat dalam diri para pejabat dalam struktur pemerintahan Islam. Mereka akan memandang jabatan ini adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt kelak.

Oleh karena itu, demokrasi akan selamanya menyesakkan rakyat. Membuat rakyat lapar di tengah kentangnya para pejabat. Sudahlah demikian, segala kebijakan yang lahir dari sistem demokrasi ini tidaklah berpihak pada rakyat dari semua aspek, segala sudut pandang apapun. Walaupun konon katanya, demokrasi ini dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi kok realitanya, dari rakyat untuk pejabat. []

Wallahu a'lam biashshawab.


Oleh Novita Sari Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar