Gak Bosan Dengan RUU PKS?

 


Santernya kabar mengenai tim ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR RI akan menghapus lima jenis kekerasan seksual yang terdapat dalam draf Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang rencananya akan berganti judul menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dilansir dari (CNNIndonesia.com, 07/09/2021) Anggota Tim Ahli Baleg DPR, Sabari Barus, berkata bahwa lima jenis kekerasan seksual yang dihapus dalam perubahan RUU PKS menjadi RUU TPKS sudah diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan rancangan RKUHP.

“Jadi substansinya hanya empat. Jika dalam RUU yang lama ada sembilan jenis, setelah kami menyisir dengan melihatnya dalam KUHP dan RKUHP kami telah menyortir sehingga menjadi empat,” kata Sabari dalam rapat Baleg DPR.

Mengenai berubahnya judul tersebut Sabari mengatakan supaya aparat penegak hukum lebih mudah dalam menegakkan aturan. “Kata penghapusan terkesan abstrak dan mutlak, karena penghapusan berarti hilang sama sekali, ini yang mustahil tercapai di dunia. Kami menggunakan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” Ia menambahkan, pihaknya juga mengusulkan TPKS masuk dalam tindak pidana khusus. “RUU ini nantinya menggunakan perspektif korban dalam penindakan hukum.” (CNN Indonesia.com, 31/08/2021).

Seperti yang telah diketahui bahwa RUU PKS telah melalui jalan panjang. Awalnya, aturan ini diinisiasi Komnas Perempuan sejak tahun 2012, dikarenakan kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Hingga sekitar empat tahun lamanya Komnas Perempuan membujuk  DPR agar membuat payung hukum soal kekerasan seksual.

Dari awalnya RUU PKS ini dilontarkan sudah menjadi kontroversi, pro dan kontra pun terjadi. Tentu saja bagi yang kontra terhadap RUU ini bukan tanpa alasan, Sebut saja Masyarakat Peduli Aliansi Keluarga (MPK) dan Aliansi Cinta Keluarga (Aila) yang ikut menolak untuk disahkannya RUU tersebut. Dikatakan oleh Koordinator MPK Nur Widiana bahwa ada 11 poin yang perlu untuk dikritisi, terutama adalah RUU PKS bertentangan dengan karakter religius bangsa, sebagaimana termaktub dalam sila pertama dasar negara Pancasila, karena tidak mencantumkan asas agama dalam penyusunannya.

Ditambah lagi RUU tersebut juga mengandung semangat asing. Salah satu landasan teorinya adalah Teori Hukum Feminis (feminist legal theory), bahwa ketidaksetaraan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, RUU itu tidak menghormati ajaran agama, karena di dalam naskah akademiknya dicantumkan kontrol seksual sebagai salah satu praktik kekerasan seksual di Indonesia. “Yang dimaksud dengan kontrol seksual adalah aturan agama yang khas untuk perempuan,” Katanya.

Dengan yakin dia menegaskan, RUU PKS sebenarnya tidak diperlukan, sebab materi muatannya sudah ada di Undang-undang lain, misalnya di UU PKDRT dan KUHP. Widiana menyebut RUU PKS memberi ruang legitimasi dan berkembangnya perilaku seksual menyimpang. Sebab, melarang ataupun mengkritik hasrat seksual menyimpang seseorang termasuk sebagai tindak pidana sebagaimana pasal 1, definisi Kekerasan Seksual (jawapos.com, 06/02/2019).

Meningkatnya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak dari tahun ke tahun terlebih di masa pandemik ini membuat mereka (aktivis gender) kembali  lantang bersuara.  Agar segera disahkannya RUU tersebut menjadi sebuah Undang-undang baru. Tapi apakah betul masalah yang ada akan selesai? masalah kekerasan seksual akan berkurang? Atau malah akan terjadi adalah sebuah kekacauan hukum, dimana para pengusung kebebasan akan semakin liar menghantam sendi-sendi norma kehidupan karena perilaku mereka mendapatkan legitimasi dan payung hukum.

Menciptakan dan melahirkan sebuah Undang-undang baru untuk bisa mengatasi semua persoalan kejahatan seksual bukanlah sebuah solusi mendasar. Tapi hanya sebuah solusi tambal sulam, yang pastinya tidak akan pernah bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Alih-alih ingin menyelamatkan, yang ada justru semakin mempersulit dan merusak tatanan kehidupan yang sudah sesuai dengan agama, dalam hal ini adalah agama Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk di negeri ini.

Di dalam Islam semua jelas pada posisinya, semua ada aturan mainnya. Tidak main tabrak sana sini hanya untuk memuaskan nafsu syahwatnya semata. Perbuatan seksual hanya boleh dilakukan bagi pasangan yang sudah menikah, sehingga tercipta sebuah kehidupan yang lestari dan nasab yang jelas.

Tentu saja apapun bentuk pelecehan dan penyimpangan seksual di dalam Islam tentunya adalah sebuah kejahatan dan sanksinya pun berat. Bahkan perbuatan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka diluar sebuah pernikahan yang sah termasuk dalam sebuah kejahatan yang harus dijatuhi hukuman berat. Tegasnya hukum Islam dalam menindak berbagai macam bentuk kejahatan seksual tentunya tidak terlepas hubungannya dengan sebuah sistem pergaulan di dalam Islam. Tidak akan serta merta ada hukuman bagi pelaku tanpa adanya sebuah lingkungan sosial yang mendukung.

Pergaulan di dalam Islam begitu diatur, tentunya demi kebaikan besama. Adanya pembatasan interaksi antara laki-laki dan perempuan ajnabi atau asing, tidak ada khalwat dan ikhtilat, wajibnya perempuan yang keluar ke kehidupan umum untuk menutup auratnya dengan sempurna. Sehingga hal tersebut bisa meminimalisir bahkan menghilangkan segala macam bentuk pelecehan dan kejahatan seksual. Jadi, apa yakin masih mau bertahan dengan segala macam solusi tambal sulam? Padahal sudah sangat gamblang Allah sediakan hukum yang sempurna untuk umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Wallahu a’lam bish shawab.


Oleh Anjar Ummu Nouman



Posting Komentar

0 Komentar