Hijab Mahkota Kemuliaan


Peringatan International Hijab Solidarity Day yang diperingati setiap 4 September diawali dari peristiwa diskriminasi yang diterima Muslimah khususnya yang berada di negara-negara Barat yang melarang rakyatnya menggunakan simbol agama termasuk hijab. Beberapa bentuk diskriminasi yang ada pada saat itu antara lain: mahasiswi London dilarang mengenakan sesuatu berhubungan dengan simbol agama; Prancis melarang anak perempuan menggunakan hijab di sekolah dan kampus; Muslimah Turki yang menggunakan hijab tidak mendapat perawatan medis; berhijab di Tunisia dapat di penjara dan disiksa.

Karena diskriminasi yang diterima oleh Muslimah Barat mengakibatkan terjadinya berbagai aksi protes. Akhirnya pemerintah menyelenggarakan konferensi London pada 4 September 2004. Hasil dari konferensi tersebut menghasilkan dukungan kepada para Muslimah untuk bebas berhijab di tempat publik yang kita peringati sebagai Hari Solidaritas Hijab Internasional.

Meskipun Hari Solidaritas Hijab Internasional sudah diperingati selama lebih dari satu dekade, berbagai bentuk diskriminasi yang diterima oleh Muslimah di beberapa belahan dunia masih ditemukan. Salah satu yang terbaru adalah Pengadilan Tinggi Uni Eropa memperbolehkan perusahaan untuk melarang karyawan Muslimah mengenakan hijab dalam kondisi tertentu, seperti menjaga citra netralitas terhadap pelanggan. Keputusan ini diberikan setelah Pengadilan Uni Eropa menolak gugatan 2 muslimah Jerman yang mereka diskors karena menggunakan jilbab. (CNN Indonesia 16/07/2021)

Selain diskriminasi pada hijab itu sendiri, terjadi pula diskriminasi pada syariat Islam mengenai kewajiban jilbab bagi setiap Muslimah. Ditandai dengan ditandatanganinya Surat Kepentingan Bersama (SKB) oleh 3 menteri Indonesia yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Pada SKB tersebut mengizinkan setiap siswi atau guru perempuan untuk memilih apa yang akan dikenakan di sekolah. Keputusan tersebut akhirnya memerintahkan pihak sekolah untuk tidak mewajibkan penggunaan jilbab. 

Hal ini dikarenakan beberapa sekolah negeri yang mewajibkan siswi dan guru perempuan untuk berjilbab dinilai melakukan diskriminasi, intimidasi dan menekan siswi sekolah. Selain itu, peraturan ini juga dianggap telah melanggar jaminan hak kebebasan seseorang untuk menjalankan keyakinan agamanya dan hak atas kebebasan berekspresi.

Kebebasan yang diagungkan oleh kaum liberalis faktanya memiliki standar ganda. Tidak sedikit kasus diskriminasi yang ditujukan kepada syariat Islam. Labeling terhadap syariat Islam maupun kaum Muslimin terus dilakukan seperti menganggap Islam adalah agama intoleran, jilbab adalah bentuk radikalisme dan terorisme, atau syariat kewajiban jilbab adalah bentuk pengekangan terhadap anak dan perempuan. 

Menurut seorang aktivis Muslimah asal Inggris, Dr. Nazreen Nawaz, apa yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Uni Eropa merupakan bentuk legitimasi islamofobia dan melegalkan diskriminasi terhadap Muslimah di Eropa. Isu islamophobia di Barat memang bukan hal baru. Menjamurnya islamophobia di Barat salah satunya diakibatkan karena sakit hati berkepanjangan mereka terhadap Islam.

Namun, patut disayangkan jika islamophobia ini juga menjamur di diri kaum Muslimin. Kaum Muslim yang seharusnya paling dekat dengan agamanya malah menjadi salah satu aktor pembenci Islam. Semakin jauhnya pemahaman Islam dari kaum Muslim mengakibatkan semakin suburnya islamophobia pada diri kaum Muslim.

Pandangan hidup sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan membuat terpisahnya aktivitas kehidupan sehari-hari manusia dengan aturan agamanya, khususnya aktivitas kaum Muslim dari syariat Islam. Pandangan hidup yang demikian akhirnya menghasilkan gaya hidup serba bebas atau yang dikenal sebagai liberalisme. Kebebasan ini berusaha diatur di atas landasan HAM (Hak Asasi Manusia).

Keterbatasan akal manusia digunakan untuk mewujudkan kehidupan yang adil didasarkan kepada hak asasi tersebut. Berdasarkan konsep pada pandangan sekularisme ini, kehidupan dikatakan melanggar keadilan ketika telah melanggar hak kebebasan tersebut. 

Fakta yang terjadi pada dunia Barat maupun negeri kaum Muslimin itu sendiri terjadi semata-mata karena diterapkannya sistem sekularisme. Sehingga kehidupan masyarakat yang ada adalah kehidupan yang serba bebas. Kaum Muslim tidak memperhatikan kembali mana yang diwajibkan oleh syariat Islam dan mana yang diharamkan. 

Sejatinya manusia tidak bisa diberikan kebebasan secara penuh, karena manusia memiliki keterbatasan untuk menentukan benar dan salah. Oleh karena itu, alaminya manusia membutuhkan suatu aturan yang akan mengatur kehidupannya secara menyeluruh.

Satu hal yang harus dipahami oleh kaum Muslimin yaitu segala bentuk perintah maupun larangan yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai Sang Pencipta bukanlah pilihan kebebasan yang bisa ditentukan oleh diri sendiri. Melainkan, ketaatan kita kepada syariat Islam adalah bentuk konsekuensi keimanan atas syahadat yang telah kita tanamkan di dalam hati. 
Kewajiban menutup aurat adalah hukum yang pasti tidak ada perbedaan pendapat atas kewajiban tersebut. Upaya mendiskreditkan jilbab dan syariat jilbab ini semata-mata usaha kaum sekuler-liberal untuk menjauhkan perempuan dari agamanya.

Berdasarkan bukti sejarah, Islam hadir menghapuskan segala bentuk diskriminasi. Sebelum kedatangan Islam, perempuan bangsa Arab dinilai sebagai makhluk rendah dan hina. Perempuan pada saat itu menerima berbagai perlakuan diskriminatif dan penghinaan seperti dianggap sebagai harta benda yang bisa diwarisi, bayi perempuan dianggap aib, dirampasnya hak-hak sipil perempuan dan sebagainya.

Setelah kedatangan Islam, perlakuan diskriminasi tersebut dihapuskan dan mengembalikan hak-hak sipil perempuan. Dengan Islam perempuan diangkat derajatnya menjadi hamba Allah SWT yang mulia, bermartabat dan dijaga kehormatannya. Syariat Islam tidak memandang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya perempuan itu adalah saudaranya para laki-laki” (HR Ahmad).

Selain itu, Islam juga menjaga perempuan secara menyeluruh. Dengan syariat kewajiban menutup aurat, Islam menutup peluang segala bentuk kejahatan yang dapat diterima perempuan. Maka, anggapan bahwa kewajiban menutup aurat adalah bentuk pengekangan adalah anggapan keliru dan fitnah terhadap syariat Islam.

Tanpa diterapkannya syariat Islam secara menyeluruh segala bentuk diskriminasi perempuan Muslim di berbagai belahan dunia akan terus terjadi. Perempuan Muslim tidak bisa lagi berharap pada demokrasi yang mengagungkan kebebasan. Karena kebebasan yang ada saat ini memiliki syarat dan ketentuan tertentu. Muslim yang berusaha menjalankan ajaran agamanya akan berusaha dihalang-halangi.

Akhirnya identitas sebagai Muslimah pun terkikis. Saat ini, perempuan Muslim yang membuka auratnya harus didukung karena bagian dari hak kebebasan. Sementara itu, jika ada institusi yang mewajibkan penggunaan pakaian muslimah dianggap melanggar hak asasi manusia dan intoleran.

Oleh karena itu, penerapan syariat Islam adalah urgensi kaum Muslim seluruh dunia. Lewat peringatan Hari Solidaritas Hijab Internasional, kaum Muslim harus memahami hanya dengan Islam diskriminasi terhadap Muslimah akan berhenti. Selain itu, diskriminasi terhadap ajaran Islam maupun ajaran agama yang lain juga akan berhenti. Hanya Islamlah yang akan menjaga dan memuliakan perempuan di seluruh dunia. 

Hal tersebut membutuhkan kontribusi besar mulai dari individu, masyarakat, hingga negara. Setiap individu Muslim harus memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Wajib bagi setiap Muslim untuk terus mengkaji Islam karena Islam tidak hanya mengatur urusan manusia dengan tuhannya maupun manusia dengan dirinya namun juga mengatur urusan antara manusia dengan manusia yang lain. 

Setelah mengkaji tentu ilmu tersebut tidak bisa berhenti pada dirinya saja. Ilmu Islam harus disebarkan lewat dakwah kepada individu yang lain dan masyarakat. Masyarakat yang baik akan berperan sebagai pengontrol. Mengingatkan sekitarnya apabila terjadi penyimpangan dari syariat Islam. Bukan menjadi masyarakat yang abai dengan sekitarnya.

Tidak berhenti sampai di sini, dibutuhkan tangan yang lebih besar dan mampu menggapai lebih banyak lapisan yaitu negara. Seperti yang dikatakan Imam al-Ghazali bahwa agama dan kekuasaan seperti saudara kembar.  “Agama dan kekuasaan adalah seperti dua saudara kembar, keduanya tidak boleh dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka yang lain tidak akan berdiri secara sempurna. Agama adalah asas sementara kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya asas akan rusak dan jika tidak dijaga, ia akan hilang” (Ilhya’ ‘Ulumuddin, 1/17).

Tanpa negara yang mengadopsi syariat Islam, kemaslahatan Islam hanya berhenti pada individu dan masyarakat tertentu semata. Padahal, ada aturan-aturan yang hanya bisa diterapkan secara menyeluruh oleh negara seperti penegakan sistem pergaulan Islam (Ijtima’i) meliputi kewajiban menutup aurat; kewajiban menjaga kemaluan bagi laki-laki dan perempuan; larangan khalwat, tabarruj, dan ikhtilath; larangan berzina dan sebagainya. Wallahu’alam []


Oleh:Fatimah Azzahrah Hanifah, Mahasiswi

Posting Komentar

0 Komentar