Sebuah video yang viral di media sosial memperlihatkan tiga anak laki-laki berseragam sekolah dasar (SD) menggunakan styrofoam untuk menyeberang sungai. Dalam video itu, tampak ketiga anak tersebut berada dalam masing-masing kotak styrofoam warna putih berukuran kecil.
Video tersebut disertai penjelasan bahwa lokasinya berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan.
Ketiga anak itu mengayuh styrofoam untuk menuju ke seberang, yaitu tempat mereka bersekolah dI SDN 1 Kuala 12, Kecamatan Tulung Selapan.
Warganet yang menyaksikan video itu merasa khawatir, karena tindakan yang dilakukan ketiga bocah tersebut berbahaya. Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Kepala Urusan Perencanaan dan Keuangan Desa Kuala 12 Adi Perdana mengatakan, apa yang dilakukan ketiga murid SD itu adalah hal yang biasa. Menurut Adi, anak-anak di desa mereka memang sudah biasa memanfaatkan kotak styrofoam sebagai pengganti perahu saat pergi ke sekolah.
Walaupun klarifikasi tersebut digulirkan, tampaknya kita jangan terburu-buru menganggap biasa pada hal ini. Karena aktivitas biasa yang sejatinya apabila menggunakan nalar ialah aktivitas yang dapat membahayakan nyawa mereka, tidak patut jika dianggap biasa, sekalipun mereka menikmatinya sebagai permainan.
Problem utama sebenarnya justru pemaksaan logika terhadap masyarakat untuk menganggapnya biasa. Padahal, apabila tata kelola antara pemerintahan pusat dan daerah ini bisa diperbaiki maka "hal biasa" ini tentu tak lagi perlu terjadi apalagi kita digadang-gadang tengah menghadapi kemajuan era revolusi industri 4.0.
Kita ketahui untuk problem ini, pemerintah telah melakukan upaya melalui Kementerian Desa Pembangunan daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Namun, fakta menunjukkan kondisi ekonomi pedesaan di berbagai pelosok Indonesia masih tertinggal jauh. Salah satunya karena pembangunan lebih tersentral di daerah perkotaan.
Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana menjadi salah satu penyebab situasi pilu di pelosok desa-desa. Akibatnya peluang kerja di desa pun sangat kecil. Mereka pun berbondong-bondong hijrah ke pusat-pusat kota hanya untuk mencari sesuap nasi. Akibatnya, timbul problem baru yakni padatnya penduduk ibukota. Sehingga melahirkan dampak-dampak lainnya.
Kementerian Desa PDTT melakukan inventarisasi kebutuhan dan prasarana desa yang diolah berdasarkan data potensi Desa (Podes) dari seluruh Indonesia. Dari data itu diperoleh fakta bahwa jumlah desa yang membutuhkan sarana dan prasarana masih sangat tinggi di republik ini. Seperti kebutuhan infrastruktur seperti jembatan, jalan, akses internet yang belum menjangkau dengan baik, air bersih, listrik dan teknologi pertanian.
Masalahnya adalah bagaimana cara desa-desa se Indonesia yang sebagian besar adalah desa tertinggal itu bisa menjalankan swakelola untuk mengatasi kebutuhan desanya? Sedangkan pembangunan sarana dan prasarana membutuhkan daya dukung memadai terutama pengetahuan dan penguasaan teknis operasional. Dan ini sangat membutuhkan fokus dan peran dari pemerintah pusat yang lebih terhadap daerah pedalaman ini. Bukan hanya tugas para perangkat desa serta pegiat pembangunan desa saja.
Mirisnya, minimnya pembangunan desa ini bukan karena negara tidak mampu dan tidak adanya alokasi anggaran. Namun yang terjadi justru akibat ketidakmerataan anggaran yang ada. Pembangunan infrastruktur di kota-kota besar sedang giat berlomba-lomba untuk unjuk diri menjadi Smart City, kota termegah. Dan sejatinya kita ketahui bahwa kota besar nan megah hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki modal.
Pada akhirnya, program pembangunan infrastruktur komersial yang dibanggakan oleh rezim saat ini ternyata tidak bermanfaat secara langsung bagi masyarakat. Terutama kelompok masyarakat miskin dan termarginal di desa. Akibatnya, kemiskinan masih tetap menjadi hantu gentayangan di desa, di tengah hiruk-pikuk megahnya infrastruktur ibukota.
Mantan staf khusus Kementerian ESDM Said Didu mengkritik model pembangunan infrastruktur yang dilakukan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Ia menilai, selama memerintah, Jokowi lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur komersial daripada membangun infrastruktur dasar untuk rakyat.
Infrastruktur yang dikebut seperti membangun tol, LRT, MRT ialah kepentingan komersial bagi segelintir orang. Sementara infrastruktur dasar untuk rakyat seperti rumah murah, gedung sekolah, puskesmas di tengah kota tak begitu tersentuh. Apalagi jauh lebih ke dalam pelosok-pelosok desa?
Bahkan sudah hal lumrah dan menjadi opini umum yang berkembang di masyarakat bahwa pembangunan infrastruktur selama ini terkesan ugal-ugalan dan demi pencitraan politik. Karenanya infrastruktur dibangun tanpa perencanaan yang baik dan seringkali mengabaikan uji kelayakan. Ketika motifnya untuk pencitraan, maka rakyat bukanlah menjadi prioritas yang sesungguhnya.
Dengan tarif tiket pelayanan transportasi publik yang terlalu mahal, Lalu siapa nanti yang menggunakan moda transportasi ini? Sopir-sopir dan pengusaha logistik sudah teriak karena tarif tol mahal. Maka di mana manfaat untuk rakyat yang sesungguhnya?
Kerugian bagi rakyat selanjutnya, pada akhirnya beban pembangunan infrastruktur komersial yang bahkan mengabaikan uji kelayakan tadi berada di pundak sejumlah BUMN. Maka utang sejumlah BUMN bidang konstruksi membengkak lantaran proyek ambisius ini, sementara rakyat tidak merasakan dampak positif dari pembangunan. Namun rakyat kecil jualah yang harus menanggung beban biayanya.
Pemerataan pembangunan infrastruktur serta motif pembangunan untuk rakyat yang tulus tanpa adanya ambisi pencitraan oleh penguasa hanya menjadi mimpi di siang bolong dalam sistem demokrasi. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tersebut pun hanya omong kosong. Karena pada faktanya, rakyat kecil justru harus gigit jari, karena segala pelayanan yang diupayakan oleh pemerintah lagi-lagi akan bermuara untuk kapitalis.
Oleh karena itu, agar tak perlu lagi anak-anak di Kabupaten Ogan Komering Ilir tersebut serta anak-anak di pelosok desa-desa lainnya yang terpaksa menyeberangi sungai dengan membahayakan nyawanya serta terancam hanyut terbawa arus sungai. Maka selayaknya kita hanyutkan sistem demokrasi ini. Rakyat kecil pun sejatinya tak hanya butuh bangunan jembatan secara fisik. Melainkan juga butuh jembatan untuk mengantarkan perubahan kehidupan dari keterbelakangan yang selama ini terpaksa untuk biasa mereka terima dengan lapang dada, beralih menjadi kehidupan yang lebih layak. Dimana ini ialah hak asasi rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. []
Wallahu a'lam biashshawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar