Sebanyak 33 anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengajukan hak interpelasi terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait dana Formula E. Publik lalu mengapresiasi langkah interpelasi yang digaungkan PDI-P dan PSI sebagai bentuk penggunaan hak yang secara konstitusional diakui dalam iklim demokrasi.
Sebagai pemimpin tertinggi di DKI Jakarta, Anies mengklaim punya tiga tujuan, mengapa menjadikan Jakarta sebagai penyelenggara balap mobil listrik Formula E. Menurut Anies, tujuan pertama yakni berkaitan dengan lingkungan hidup. Penyelenggaraan Formula E bertujuan untuk mendorong masyarakat menggunakan kendaraan listrik, (KOMPAS.com, 20/9/2019).
Tujuan yang kedua yakni tujuan ekonomi. Anies menyebut, gelaran Formula E bisa menggerakkan perekonomian Jakarta. Berdasarkan feasibility studies-nya, maka perhitungan konservatif diperkirakan nilai perekonomian yang bergerak di Jakarta sekitar 78 juta euro atau Rp 1,2 triliun.
Balapan Formula E bukan sekedar kegiatan olahraga. Balapan itu sekaligus menjadi destinasi wisata yang berdampat multi sektoral bagi warga Jakarta. Dan tujuan ketiga adalah menempatkan Jakarta di dalam percaturan Kota dunia yang mampu menyelenggarakan event sekelas formula E ini.
Namun bagi Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi atau Pras sebagai salah satu pengusul interpelasi nyatakan bahwa sebaiknya Anies fokus menangani pandemi Covid-19. Di sisi lain, perhelatan Formula E juga bakal menimbulkan kerumunan yang pada akhirnya bisa membuat lonjakan kasus Covid-19, (republika.co.id, 26/8/2021).
Pernyataan Pras, justru ditangapi sebaliknya oleh Rocky Gerung. Menurutnya, interpelasi tersebut diajukan oleh kekuasaan oligarki, sebetulnya dipesan oleh oligarki,” ujarnya melalui kanal Youtube Rocky Gerung Official Ahad, (29/8).
Sedangkan menurut pengamat kebijakan publik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW), Amir Hamzah “Kalau melihat motifnya, dapat diduga ini ada kaitannya dengan 2024. Artinya, ada dugaan Anies sedang coba dijegal agar tidak nyapres di 2024," seperti yang dilansir Kantor Berita RMOL Jakarta, Rabu (18/8).
Meski menuai kritik, nyatanya keputusan Pemprov DKI Jakarta yang sebelumnya telah disetujui legislatif, demikian juga dengan presiden Joko Widodo yang merasa optimistis industri otomotif Indonesia segera bangkit meski pandemi Covid-19, Jokowi menaruh harapan besar dengan adanya perhelatan akbar Formula E Jakarta dan MotoGP Mandalika, (cnnindonesia.com, 15/4/2021).
Olehnya pemerintah pusat makin gencar mengundang investor untuk melakukan eksplorasi dan membangun pabrik material baterai. Bahkan, di Morowali Sulawesi Tengah pada Januari 2019 telah dibangun pabrik pembuatan baterei dengan besaran investasi berkisar US$ 3,2 miliar atau setara Rp 44,8 triliun. Beberapa produsen mobil listrik ternama dunia yang berinvestasi yaitu Volkswagen (VW), Audi dan Mercedes-Benz, (duniatambang.co.id, 19/11/2019).
Sementara itu, untuk kendaraan berbasis baterai, pihak kementrian ESDM berharap ada investor yang bersedia untuk membangun pabrik di Indonesia dengan kapasitas produksi 60.000 unit per tahun karena Indonesia memiliki sumberdaya nikel mencapai 3,57 miliar ton, kobalt 480 juta ton.
Bahkan, presiden Jokowi segera menggandeng Tesla sebagai perusahaan otomotif terbesar dari Amerika Serikat dengan menghubungi langsung sang boss Tesla Martin Eberhard, untuk berinvestasi dengan privelese berupa tax holiday atau pembebasan pajak sampai dengan 20 tahun, (cnbcindonesia.com, 30/12/2020).
Bagi Indonesia, Tesla sebagai perusahaan otomotif terdepan yang paling berharga karena telah menjual mobil listrik model 3 sebanyak 243.753 unit. Tesla ditawari kerjasama Energy Storage System atau ESS dan baterei lithium. ESS yang dikembangkan Tesla adalah semacam baterai isi ulang dengan kapasitas besar mencapai puluhan hingga seratusan megawatt.
Deretan fakta dan alasan dibalik perhelatan Formula E serta sikap reaktif para anggota parlemen di DKI Jakarta hanya merupakan sinyalemen buruknya praktik demokrasi. Meski menggunankan dalih hak melekat sebagai anggota dewan untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan eksekutif namun terlihat nyata bahwa itu hanyalah bentuk praktik jegal-menjegal dalam demokrasi yang lumrah dipertontonkan.
Bukankah, presiden Jokowi sendiri menyatakan bangga menjadi penyelenggara perhelatan balap mobil listrik Formula E di Jakarta? Jokowi pun bersyukur kini sudah ada pameran otomotif yang terselenggara, meski di tengah pandemi (Covid-19) yakni Indonesia Internasional Motor Show (IIMS) 2021 di Jakarta.
Menurut Jokowi hal itu bisa menunjukkan reputasi Indonesia sekaligus menunjukkan kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah berbagai olahraga otomotif, diantaranya MotoGP di Mandalika, hingga Formula E Jakarta, (cnnindonesia.com, 15/04/2021).
Dengan pernyataaan presiden Jokowi maka telah terungkap, jika perhelatan Formula E Jakarta merupakan rangkaian ajang promosi kendaraan listrik di Indonesia. Disamping itu, sebagaimana kita ketahui, jika Indonesia menjadi surga bagi produsen mobil listrik untuk memproduksi baterei, karena Indonesia memiliki bahan baku nikel, kobalt dan mangan yang merupakan komponen utama pembuat baterei.
Undangan investor asing dan pembangunan pabrik lithium merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam mengembangkan industri kendaraan listrik di Indonesia. Maka telah terbukti jika penggunaan hak interpelasi oleh legislatif lebih terlihat sebagai “panggung politik untuk pemilu 2024” dan hanya sebuah gimmick untuk menarik simpati rakyat bukan bertujuan untuk mengontrol kinerja eksekutif apalagi membela kepentingan rakyat.
Karena selama memimpin, Anies sebagai gubernur lebih dinilai humanis-demokratis dan mengutamakan kerja-kerja kolaborasi dalam merealisasikan janji dan program kampanyenya. Oleh sebab itu, Anies sering dijegal lawan politiknya Bahkan menurut pengamat politik Ray Rangkuti, ini adalah hal biasa dalam demokrasi bahkan potensi jegal-menjegal akan menjadi trend di masa depan dengan rezim yang semakin hipokrit.
Inilah realitas pembusukan demokrasi yang terjadi dan dilakukan oleh para elite politik. Realitas politik hari ini merujuk pada pernyataan Ilmuwan Politik Amerika Serikat Samuel Phillips Huntington.
Huntington mengatakan bahwa demokratisasi gelombang ketiga itu jangan-jangan akan dihancurkan bukan oleh aktor-aktor sistemik negara, ekstra sistemik seperti militer, tetapi akan dihancurkan oleh aktor-aktor politik yang sesungguhnya dipilih secara demokratis.
Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menjelaskan, secara garis besar masalah kemunduran demokrasi bisa dibagi dalam empat aspek. Yaitu aspek struktural, institusional, kultural dan agensi atau faktor kepemimpinan.
Hasil riset menunjukkan, demokrasi Indonesia tengah mengalami tidak hanya stagnasi namun juga kemunduran bahkan putar balik ke arah otoritarianisme. Kondisi ini perlu disikapi oleh semua elemen dan bukan diabaikan.
Inilah alasan mengapa interpelasi begitu menggema di ruang parlemen DKI Jakarta, bukankah sesungguhnya mengkritik dan meminta penjelasan kepada eksekutif yang memang menjadi hak legislatif, namun muara dari interpelasi hanyalah mengundang perhatian publik.
Karena mengoreksi kesalahan kebijakan pemimpin dan meminta penjelasan lebih detail mengenai mengapa sebuah kebijakan adalah wajib, namun membutuhkan alasan yang jelas dan untuk kepentingan rakyat. Tetapi faktanya, sistem demokrasi memberi ruang untuk koreksi atau istilah interpelasi hanya untuk kepentingan elite politik.
Tentu saja berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan dan adopsi hukum dan perundangan, Khalifah terikat dengan dalil Syara. Setiap individu warga daulah baik secara individu maupun melalui perwakilan Majelis Umat, berhak dan wajib mengoreksi Khalifah ketika Khalifah keluar dari hukum syara' bukan karena alasan lain.
Fungsi dan wewenang Majelis Umat di negara Khilafah dengan DPRD dalam sistem demokrasi jelas berbeda signifikan, daulah Islam memilik banyak mekanisme kontrol yang dapat dilakukan rakyat atas Khalifah, baik secara langsung atau melalui perwakilannya di Majelis Umat. Dan rujakan ketika mengoreksi khalifah adalah apakah melanggar hukum syara’ atau tidak tapi sebaliknya dalam sistem demokrasi untuk mengoreksi pemimpin dikenal dengan istilah interpelasi dan dilakukan, bisa karena kepentingan rezim, pesanan oligarki atau untuk menjegal lawan politik dan itu legal dalam demokrasi.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar