Ironi Gedung Ramah Lingkungan di Lahan Kritis



Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria berharap Jakarta International Stadium (JIS) selesai tepat waktu. Dia juga menginginkan JIS sudah dapat digunakan pada tahun 2022. Dia merasa optimistis karena progress pembangunan JIS sejauh ini sangat pesat (merdeka.com, 3/9/2021).

Apalagi, JIS yang terletak di Jakarta Utara telah mengantongi greenship platinum level untuk design and build dari lembaga sertifikasi Green Building Council Indonesia (GBCI) dengan skor 91 (rmoldkijakarta.id, 16/7/2021).

Dalam penilaian greenship platinum level untuk design recognition disandarkan pada enam parameter, yaitu appropriate site development (ASD) yang memperoleh poin reverifikasi sebesar 12. Energy efficiency and conservation (EEC) mendapatkan poin 24, water conservation (WAC) memperoleh poin 18, material resources and cycle (MRC) meraih 2 poin, indoor health and comfort (IHC) mendapatkan 4 poin, dan building environment management (BEM) memperoleh 3 poin (kompas.com, 16/7/2021).

Sebagai gedung ramah lingkungan, salah satu indikator yang mesti terpenuhi adalah water conservation atau konservasi air. Yakni, dengan konsep penghematan penggunaan air. International and Government Relations Director of Green Building, Tiyo Prasetyoadi, mengharapkan semaksimal mungkin air hujan dan air limbah tidak keluar dari JIS. Wastafel, kran tembok maupun shower akan dilengkapi dengan fitur auto stop. Artinya, setiap fitur dibuat sesuai standar bangunan green building (rmoldkijakarta.id, 16/7/2021).

Namun, berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika rata-rata jumlah
Curah Hujan di Jakarta Utara adalah 1.545,00mm3 hingga 2.481,50mm3. Artinya, wilayah tempat JIS berdiri masuk kategori wilayah dengan curah hujan menengah. Apakah mungkin persediaan air untuk gedung semegah JIS hanya akan mengandalkan air hujan dan air limbah?

Faktanya, Menurut data pajak DKI Jakarta, Sumur air tanah di gedung-gedung tinggi ibukota selalu jadi sorotan. Hal ini bukan tanpa sebab, menurutnya ada indikasi penghindaran pajak dan pencurian air oleh para pengelola gedung pencakar langit. Pasalnya, banyak bangunan dengan kategori spesifik tidak menaati aturan terkait pengelolaan air dan limbah (medcom.id, 12/3/2018).

Selain itu, Peneliti Badan Konservasi Air Tanah (BKAT), Firman maliki Abdullah mengatakan bahwa akibat ekstraksi air tanah sebagian besar titik pantau menunjukkan penurunan muka tanah. Titik lokasi yang cukup tinggi adalah Muara Angke, Penjaringan dan Cilincing, Jakarta Utara (esdm.go.id, 2016).

Padahal, Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memastikan tidak lagi mengambil air tanah (pompa). Hal tersebut sebagai upaya untuk memperlambat penurunan muka tanah di Jakarta. Ia mengatakan bahwa 40 persen wilayah DKI Jakarta dari pusat ke utara berada di bawah permukaan air laut. Salah satu penyebabnya adalah penyedotan air tanah yang tidak terkendali mulai dari tingkat rumah tangga, gedung perkantoran/perhotelan/pembelanjaan, sampai kawasan industri (merdeka.com, 3/9/2021).

Ditambah lagi, dalam pembuatan gedung bertingkat tidak lepas dari proses dewatering pada bagian basement. Teknik ini untuk menghindari dan mengurangi debit air yang tergenang di area itu. Pembuatan dewatering dapat dilakukan dengan berbagai macam metode yaitu Open Pumping, Predrainage, Cut Off dan Compressed Air.

Oleh karena itu, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Wiryatmoko berusaha melakukan pembatasan dewatering atau pembuangan air tanah secara berlebihan pada pembangunan basement gedung. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penurunan permukaan tanah secara drastis (tribunnews.com, 1/10/2010).

Selain konservasi air, salah satu kaidah lainnya adalah tepat guna lahan atau appropriate site development (ASD). Menurut Assesor yang juga Co founder dari GBCI, Ning Purnomohadi, Hal ini terkait cara membangun suatu gedung yang sesuai, baik dari segi fungsi dan penggunaan lahan yang akan digunakan. Apa sudah sesuai dengan rencana tata guna lahan yang telah diterapkan (okezone.com, 25/8/2012).

Namun, Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Robert M. Delinom mengatakan bahwa kondisi tanah pesisir Jakarta (Jakarta Utara) mudah ambles dan lebih rendah, sehingga tidak cocok untuk pendirian bangunan tinggi karena tanahnya rapuh. Apalagi, Wilayah Jakarta pusat ke Utara berada di bawah ketinggian permukaan air laut (Lipi.go.id, 27/3/2013).

Oleh karena itu, bagaimana mungkin bangunan semegah JIS yang berada di Pesisir Jakarta dikatakan gedung ramah lingkungan. Sementara, dibangun di atas lahan yang tidak diperkenankan untuk bangunan tinggi. Dari fakta-fakta di atas, menurut para ahli jelas bangunan besar dan tinggi selevel JIS bisa mempercepat penurunan muka tanah. Selain itu, nantinya pemakaian air tanah juga akan sangat merugikan warga sekitar dan lingkungan.

Lebih parah lagi, penurunan muka tanah akan meningkatkan risiko banjir, retakan serta merusak bangunan dan infrastruktur. Yang harus diingat, kerusakan demi kerusakan yang terjadi bukan sekadar karena musibah atau takdir, tetapi lebih kepada persoalan sistemik yang lahir dari pembangunan kapitalistik. Selain itu, ada andil besar manusia dalam melahirkan kebijakan yang mengabaikan peringatan Tuhan dan kelestarian alam.

Apalagi, saat ini penguasa yang mengadopsi sistem kapitalisme bersama para korporat bekerja sama menggapai hasrat mereka. Fakta membuktikan, Kapitalisme memiliki sifat bawaan merusak, mencetak pemimpin rakus, menimbulkan ketimpangan ekologi dan kesengsaraan bagi alam, manusia dan kehidupan.

Berbeda dengan Islam dalam mengelola alam. Aturan Islam akan tunduk pada Al Quran dan assunnah serta tidak akan mengabaikan keseimbangan lingkungan. Walaupun, tidak menutup kemungkinan kekayaan alam dieksplorasi untuk memenuhi hajat hidup rakyat.

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik, berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan" (TQS. Al-araf: 56).

Selain itu, pembangunan Infrastruktur dalam Islam dibuat demi kemaslahatan umat. Sehingga, pembangunannya tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi merata untuk setiap permukiman warga. Maka, pembangunan tidak akan timpang seperti kondisi JIS dan warga Kampung Bayam misalnya.

Sekretaris Kelompok Urban Farming Kampung Bayam, Husni Mubarok mengatakan bahwa rumah warga kerap didatangi orang tidak dikenal yang meminta mereka segera pindah. Namun, mereka menolak karena sesuai kesepakatan dengan Jakpro, mereka akan membangun Kampung Deret. Faktanya, belum ada kejelasan tentang hal itu (tempo.co, 13/2/2021).

Kemudian, Sistem ekonomi Islam menjadikan Baitulmaal yang dikelola negara sebagai pihak sentral yang mengatur pembangunan demi tercapainya keadilan dan pemerataan. Pembiayaan infrastruktur yang besar itu bukan berasal dari investasi asing atau utang, tapi dari Baitulmaal.

Tidak seperti sistem saat ini yang menjadikan utang sebagai sumber pendanaan infrastruktur. Berdasarkan berita dari laman tempo.co, 6/10/2021, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 27/7/2020 telah menandatangani pengajuan pinjaman uang kepada PT Sarana Multi Infrastruktur di kantor Kementerian Keuangan. DKI mengajukan pinjaman sebesar Rp12,5 triliun. Dari dana tersebut Rp4,4 triliun akan digunakan untuk proyek Jakarta Internasional Stadium.

Oleh sebab itu, jangan pernah berharap pembangunan infrastruktur semata untuk kemaslahatan umat selama sistem ekonomi kapitalisme masih diadopsi para penguasa. Karena sejatinya, hanya dalam sistem ekonomi Islam, pembangunan infrastruktur ditujukan untuk kemaslahatan umat tanpa merusak alam sekitar, wallahualam bishawab.


Oleh Anggun Permatasari

Posting Komentar

0 Komentar