Ironi Penistaan Islam di Negeri Muslim



Baru-baru ini, terjadi penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Muhammad Kece, seorang YouTuber yang murtad dari agama Islam. Kece menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai pengikut jin. Dia bahkan menyebut Nabi Muhammad SAW tak dekat dengan Allah. Dia juga menyelewengkan ucapan salam dan beberapa kalimat dalam ajaran Islam dengan mengubah kata 'Allah' menjadi 'Yesus'. (news.detik.com)

Sebelum kasus Kece, sudah banyak juga kasus penistaan terhadap agama Islam. Berdasarkan data, sepanjang 2011  2021, Agama Islam merupakan agama yang paling sering dihina. Dari 60 kasus penistaan agama, terdapat 51 kasus penistaan agama Islam. (kumparan.com)

Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan mayoritas pemerintah Indonesia juga pemeluk Islam. Namun semua itu seolah tidak berarti apa-apa. Sungguh, berulangnya penistaan agama Islam di Indonesia sebagai negeri muslim, merupakan sebuah ironi.

Adapun, penistaan agama merupakan perbuatan tercela. Penistaan agama Islam dapat menimbulkan kemarahan umat Islam, dan bahkan jika dibiarkan dapat merusak ajaran agama Islam. Dalam tataran makro, berulangnya kasus penistaan agama Islam di Indonesia menunjukkan bahwa Negara telah gagal dalam melindungi agama.

Perlindungan terhadap agama merupakan tanggung jawab Negara. Sebab, sila pertama dasar Negara Indonesia, Pancasila, adalah  Ketuhanan yang Maha Esa. Oleh karena itu Negara ini tidak boleh membiarkan perilaku-perilaku penistaan agama terus merebak, sebab hal itu melanggar amanah konstitusi. Dengan adannya fakta penistaan agama di Indonesia, berarti Negara harus mencari solusi untuk menyelesaikan dan mencegah terjadinya lagi kasus tersebut.

Untuk menyelesaikan kasus penistaan agama, maka diperlukan penegakan hukum. Adapun untuk mencegah terulangnya kasus penistaan agama, maka tidak dapat sekadar bertumpu pada keberadaan hukum atau undang-undang, namun perlu dibangun kesadaran di tengah-tengah masyarakat, untuk tidak melakukan penistaan agama karena dorongan keimanan. Dengan kata lain, untuk mencegah kasus penistaan agama, Negara harus berkontribusi dalam menjaga dan meningkatkan keimanan warga Negara.

Maka dari itu seharusnya agama tidak dipisahkan dari Negara. Dalam kasus penistaan agama ini, terlihat bahwa sebagai solusi, justru dibutuhkan penyatuan antara agama dan Negara. Sebaliknya, konsep pemisahan antara agama dengan Negara (sekular) justru bukan menjadi solusi, melainkan sumber masalah.

Selama ini, Indonesia bukanlah Negara agama melainkan Negara sekular. Indonesia membolehkan masyarakat memeluk agama, namun aturan-aturan dalam masyarakat tidak bersumber dari agama, melainkan aturan buatan manusia. Karena itulah Negara kesulitan dalam meningkatkan keimanan warga Negara. Sebagai akibatnya, tidak heran terjadi banyak kasus penistaan agama.

Adapun Islam, selain sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, merupakan satu-satunya agama yang memiliki aturan lengkap dan menyeluruh yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengatur warganya. Islam bukan saja mengurusi masalah ruhiyah (spiritual), namun juga mengurusi masalah siyasiyah (politik). Dengan kata lain, Islam adalah akidah spiritual dan politik. Akidah spiritual adalah akidah atau ajaran yang mengatur urusan keakhiratan, seperti surga, neraka, pahala, siksa, dan dosa. Termasuk masalah ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan jihad. Sedangkan akidah politik adalah akidah atau ajaran yang mengatur urusan keduniaan, seperti politik, ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, sanksi hukum, dan sebagainya. Kedua akidah atau ajaran tersebut, sama-sama dibangun berdasarkan akidah yang sama, yaitu akidah Islam.

Dengan lengkapnya ajaran Islam tersebut, apabila diterapkan maka akan memberikan kemaslahatan dunia dan akhirat, yang apabila diringkas meliputi: perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa, perlindungan terhadap akal, perlindungan terhadap harta, dan perlindungan terhadap keturunan.

Adapun penerapan Islam dalam tatanan Negara bukanlah sekadar konsep, namun sudah pernah dilakukan. Pemerintahan Islam pertama adalah di Madinah, terbentuk setelah Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Kemudian setelah Rasulullah wafat, pemerintahan Islam terus berlanjut sampai kemudian pemerintahan Islam Khilafah Ustmani terakhir runtuh di tahun 1924.

Dalam buku Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam karya Dr. Kamal Said Habib disebutkan: Sejarah mencatat, sepanjang sejarah umat manusia, Islam-lah yang mengakui pertama kali hak-hak masyarakat (minoritas) yang berada di bawah pemerintahan Negara Islam dalam hal pemeliharaan kepercayaan, tradisi, dan gaya hidup. Dalam pemerintahan Islam, Negara tidak pernah mengingkari hak-hak warga negaranya yang Non Muslim untuk bisa hidup aman di dalam wilayah Negara Islam. mereka yang non muslim mendapatkan hak-haknya (sebagai warga Negara) seperti yang didapatkan umat Islam, dan atas mereka dibebankan kewajiban (sebagai warga Negara) seperti yang dibebankan atas umat Islam.

Keberagaman adalah bagian dari komposisi sosial Negara Islam.
Maka dari itu untuk mencegah berulangnya penistaan agama, Negara ini perlu menempatkan Islam sebagai sumber konstitusi dan perundangan. Mengingat Islam menjamin perlindungan terhadap agama, Islam memiliki ajaran lengkap meliputi spiritual dan politik, Islam pernah diterapkan dalam tatanan Negara, dan Islam mengakui keberagaman suku, ras, dan agama. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Ummu Taqizaki. 

Posting Komentar

0 Komentar