Hari ini, fenomena hijrah sedang menjadi tren di kalangan masyarakat. Secara bahasa hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar’i dari para fuqaha’ mendefinisikan hijrah yakni keluar dari Darul Kufur menuju Darul Islam. Konteks hijrah di kehidupan sekarang adalah hijrahnya seorang Muslim dari kehidupan sekuler menuju ke sistem Islam. Sebab jika tidak, maka yang terjadi hanyalah perpindahan tahun saja tanpa diikuti perpindahan kehidupan. Kehidupan yang baik tentu diatur oleh sistem yang baik yaitu, sistem yang bersumber dari Dzat Yang Maha Baik yaitu, Allah SWT.
Hijrah yang benar semata-mata untuk mendapat ridha Allah bukan yang lain, apalagi karena alasan duniawi. Jika berhijrah karena alasan duniawi atau untuk mendapatkan sesuatu niscaya hijrah susah istiqamah, apalagi jika yang ingin dikejar tidak tercapai, kemungkinan dapat kembali ke diri yang sebelumnya akan lebih besar. Banyak dari kaum Muslim yang ingin sekali berubah dan bertaubat menjadi lebih baik, sudah banyak berdoa kepada Allah, tetapi maksiatnya tetap jalan. Apakah benar hijrah sukses cukup dengan berdoa? Allah SWT berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS ar-Rad [13]: 11).
Artinya berdoa saja tidak cukup, tetapi harus mengambil pilihan untuk menjalankan hidup sesuai syariat Islam. Sangat wajar apabila kita mempunyai banyak keinginan-keinginan karena Allah membekali manusia dengan kebutuhan jasmani dan naluri yang senantiasa membuat manusia terdorong untuk melakukan sesuatu. Namun, tidak semua dorongan harus dipenuhi.
Jika dorongan tersebut berasal dari kebutuhan jasmani, maka harus dipenuhi, jika tidak akan mengganggu jalannya kehidupan. Misalnya, kebutuhan makan dan minum harus dipenuhi, jika tidak makan kita akan mati. Tetapi jika dorongan itu berasal dari naluri, maka tidak harus dipenuhi seperti, naluri berkasih sayang atau ingin eksis. Kita mempunyai pilihan ingin memenuhi dorongan-dorongan itu atau tidak, memenuhinya sesuai aturan Allah atau tidak. Kalau itu di dalam kemampuan kita untuk memilih, maka akan dimintai pertanggungjawaban, kita taat atau maksiat, itu adalah pilihan.
Sayangnya taat di kehidupan sekarang pada sistem kapitalisme, memandang hidup untuk meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya dengan asas sekulernya (memisahkan agama dari kehidupan) dan menjadikan standar kehidupannya untung atau rugi. Dari sini terbentuklah individu-individu yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan versinya.
Kita bisa berubah menjadi taat, tapi harus mencabut jiwa-jiwa kapitalis yang sudah tertanam sejak kecil dan butuh usaha yang serius. Apalagi masyarakat kapitalis tidak bisa diandalkan untuk mengondisikan ketaatan kita, karena terlalu banyak yang tidak benar, orang-orang yang benar malah dianggap tidak benar, karena mereka minoritas misalnya, rajin kajian Islam malah dibilang kurang kerjaan, semangat berdakwah malah dibilang suka ikut campur urusan orang. Aktivitas amar makruf nahi mungkar ditinggalkan dengan dalih hak asasi manusia. Tidak adanya kontrol masyarakat sama sekali, masyarakat pun berlomba-lomba dalam mengejar materi, makin jauhlah semangat individu-individu di dalamnya untuk memikirkan ketaatannya kepada Allah.
Sebenarnya negara punya andil besar untuk membentuk individu dan masyarakat yang bertakwa dan benar pemikiran Islamnya. Sayangnya negara yang menerapkan sistem kapitalis melepaskan tanggung jawab itu demi keuntungan materi. Sistem pendidikan yang diterapkan berbasis sekuler. Output generasi yang dihasilkan adalah generasi yang semangat mengejar dunia dan nantinya sukses jadi budak korporat, soal Islam mereka tidak paham bahkan gagal paham. Ditambah diracuni dengan media-media yang menyebarkan pemikiran rusak ala Barat. Maka makin jauhlah umat Islam dengan pemikiran yang benar.
Jadi, jika kita serius ingin hijrah, kita harus mencabut pemikiran kapitalis kita dari akarnya. Caranya dengan mengkaji Islam secara kaffah (menyeluruh) hingga membentuk pemahaman yang terkerangka dan mampu membangun kepribadian Islam. Hal itu tidak dapat dilakukan sendirian tetapi, harus dibina oleh guru yang ikhlas. Kita mencari kelompok dakwah ideologis yang ciri-cirinya sama seperti jamaah dakwah Rasulullah SAW.
Tidak hanya itu saja, supaya kita dan semua kaum Muslim bisa istiqamah, kita juga harus berdakwah. Kita harus mengubah masyarakat ini menjadi masyarakat yang islami. Masyarakat yang islami tentu memiliki pemahaman Islam yang benar. Di tengah-tengah mereka akan ada semangat amar makruf nahi mungkar dan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Namun, masyarakat yang islami ini tidak mungkin terbentuk, jika kebijakan-kebijakan negara masih menganut sistem kapitalis-sekuler. Jadi, negara harus menerapkan kebijakan sesuai syariat Islam dalam semua aspek. Negara seperti ini yang dalam fiqih Islam disebut dengan khilafah. Khilafah akan memberikan pendidikan berbasis akidah Islam dengan tujuan untuk membentuk pola pikir dan pola sikap islami. Selain itu, media juga akan dikondisikan supaya menyebarkan konten yang mengedukasi dan menguatkan ketakwaan saja. Oleh karena itu, hijrah memang tidak cukup hanya individu saja tetapi, harus skala sistem.[]
Oleh: Dian Septiani
0 Komentar