Jalan Amblas, Dimana Peran Negara?

 


Kota Bogor merupakan salah satu kota penyangga ibukota negara. Pembangunan jalan tol, rel kereta api dan infrastruktur lainnya saat ini massif dilakukan oleh pemda Kota Bogor. Namun di sisi lain masih banyak ditemukan jalan-jalan di Kota Bogor yang mengalami kerusakan parah dan masih digunakan oleh masyarakat. Hal ini tentu sangat membahayakan jiwa para pengendara. Dilansir dari Beritasatu.com pada 31 Agustus 2021, terjadi penurunan permukaan jalan (amblas) setinggi 60 sentimeter di ruas Jalan Soleh Iskandar, tepatnya di atas underpass menuju Cilebut atau Kebon Pedes, Kota Bogor. 

Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) DKI Jakarta-Jawa Barat meninjau langsung Jalan Underpass Soleh Iskandar yang amblas. Rencana BBPJN akan memasang plat baja untuk penanganan sementara jalan yang amblas tersebut untuk membantu mengurangi beban dinding penahan tanah yang sudah tidak kuat menahan beban kendaraan yang melintas. BBPJN DKI Jakarta-Jawa Barat mengajukan anggaran perbaikan jalan yang ditargetkan dilakukan pada tahun 2022.

Jalan Soleh Iskandar ini adalah salah satu jalan utama di Kota Bogor yang banyak dilalui oleh kendaraan antar kota antar provinsi. Amblasnya jalan ini tentu menuai permasalahan baru yaitu kemacetan lalu lintas dan akan membahayakan jiwa para pengguna jalan tersebut apabila digunakan terus-menerus sedangkan perbaikan jalan tidak segera dilakukan. Lambatnya penanganan ini juga disebabkan jalur birokrasi untuk pengajuan perbaikan infrastruktur kepada pemerintah pusat yang harus menunggu bisa terealisasi di tahun depan. Karena anggaran yang dikeluarkan harus sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat.

Padahal jalan merupakan infrastruktur yang penting bagi masyarakat dan juga menjadi fasilitas umum yang sangat dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Apabila infrastruktur ini rusak atau kurang memadai untuk digunakan, maka akan menyulitkan pendistribusian barang, urusan pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Urgensitas jalan ini harusnya menjadi fokus perhatian pemerintah untuk segera menanganinya, apalagi ketika terjadi kerusakan hingga jalan tersebut tidak bisa lagi digunakan oleh masyarakat.

Terjadinya jalan yang amblas dan retak bukan semata-mata faktor dari beban kendaraan yang melintas, tetapi juga karena kualitas jalan yang dibangun belum memenuhi persyaratan jalan yang layak. Sehingga tak heran jika hanya dalam beberapa tahun jalan tersebut digunakan, ternyata sudah mengalami keretakan, berlubang dan amblas. Tidak dipungkiri, ini terjadi karena negara tidak berperan penuh dalam mengawasi pembangunan jalan. Pemerintah justru memberikan kewenangan kepada swasta dengan mengadakan tender untuk proyek pembangunan jalan. Sehingga swasta, dalam hal ini para pengusaha mengambil keuntungan dari proyek ini dengan mengurangi kualitas bahan dan akhirnya jalan yang dihasilkan adalah jalan yang mudah rusak, retak berlubang dan amblas.

Buruknya fasilitas infrastruktur di negeri ini bukan hanya terjadi di perkotaan saja, bahkan di wilayah pelosok pedesaan dan wilayah terpencil lainnya, jauh dari kata layak. Jalan yang berbatu, jalan yang berlubang, jalan yang becek hingga jembatan yang hampir putus pun masih mereka gunakan untuk melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Terbayang bagaimana keselamatan jiwa yang terancam apabila mereka menggunakan fasilitas jalan dengan kondisi yang demikian parah. Pemerintah giat melakukan pembangunan infrastruktur pun bukan dilakukan demi rakyat, tetapi demi kerjasama yang menguntungkan dengan para pengusaha. Sedangkan keluhan dan protes rakyat malah diabaikan. Rakyat dibiarkan dengan akses jalan yang tak layak pakai. Kalaupun masyarakat mau mengakses jalan yang layak, nyatanya jalan itu tidaklah gratis alias jalan berbayar seperti jalan tol. Ini menunjukkan bahwa akses jalan yang layak hanya diperuntukkan untuk segelintir orang yang mampu membayarnya.

Inilah potret pengurusan (riayah) oleh penguasa dalam sistem kapitalisme. Penguasa tidak hadir secara langsung untuk mengurusi dan menangani permasalahan yang dihadapi oleh rakyatnya. Kehadirannya hanya menjembatani keinginan para korporasi yang menjadi ‘teman setianya’. Sehingga penguasa seringkali abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pelayan umat. Penguasa hanya membutuhkan umat di kala pesta demokrasi berlangsung, setelah itu rakyat hanya menjadi ‘tumbal’ atas berbagai kezaliman yang dilakukan oleh penguasa kapitalis.

Perlakuan ini sangat jauh berbeda dengan pemimpin Islam, sebagaimana yang tertulis dalam sejarah kegemilangan Islam, yang menjadikan infrastuktur sebagai sarana yang sangat penting bagi negara. Majunya infrastruktur sebagai bukti majunya taraf ekonomi, kesejahteraan dan juga peradaban masyarakatnya. Karena penyediaan layanan kepada masyarakat, kegiatan ekonomi, dan upaya mewujudkan kesejahteraan ditopang dengan infrastruktur yang ada. Sejak masa Khulafaur Rasyidin, Kekhilafahan Bani Umayyah, Bani Abbasiah hingga Utsmaniah begitu banyak peninggalan dan catatan sejarah yang menggambarkan begitu majunya infrastruktur di era kekhilafahan Islam.

Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi, yakni jalan umum. Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M. Yang paling mengagumkan lagi pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai ketika Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M. Sedangkan negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Itu artinya 10 abad setelah pembangunan jalan beraspal di dunia Islam.

Kisah khalifah Umar bin Khattab ra, pemimpin yang terkenal dengan ketegasan, keberaniannya, sekaligus kelembutan hatinya. Di antara bukti kelembutan hati Umar bin Khtattab dapat dilihat saat khawatir dan takut jika kelak di hari kiamat akan ditanyai dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt.  Maka seluruh hidupnya dibaktikan untuk mengurusi kepentingan umatnya.  Suatu hari Khalifah Umar melihat kondisi jalan yang rusak, lalu ia berkata, ”Aku akan segera memperbaiki jalan itu, sebab aku takut diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah hanya karena ada seekor unta yang terjungkal.” Ia khawatir jika kondisi jalan yang akan menyebabkan korban jiwa. Karena itu Umar memutuskan memperbaiki jalan tersebut yaitu jalan di pegunungan Irak yang sebenarnya jauh dari pusat pemerintahan khalifah yang terletak di Madinah.

Islam memposisikan penguasa sebagai penanggung jawab atas segala urusan rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda, ”Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari) Sistem Islam menjadikan jalan sebagai milik umum yang harus dipelihara dan difasilitasi oleh penguasa (khalifah). Oleh karenanya khalifah wajib membangun infrastruktur jalan untuk memudahkan aktivitas rakyat sehari-hari. Dan pembangunan ini dilakukan secara merata di semua wilayah negeri, bukan hanya di wilayah perkotaan atau wilayah industri seperti halnya sistem kapitalisme saat ini. Rakyat pun bebas menggunakan jalan tanpa ada pungutan sedikit pun dari negara. Karena penyediaan fasilitas umum menjadi tugas negara yang pembiayaannya diambil dari kas negara (baitul mal). Sehingga dalam rentang sejarah kegemilangan Islam yang sangat panjang, tidak pernah ditemukan jalan yang rusak, berlubang, ataupun wilayah yang tidak memiliki akses jalan sebagaimana yang dirasakan oleh rakyat saat ini.

Inilah gambaran pengurusan (riayah) penguasa dalam Islam terhadap rakyatnya, yang memfokuskan hidupnya untuk mengurusi semua urusan rakyatnya. Abainya penguasa terhadap urusan rakyatnya menjadi hal yang paling ditakutkan oleh para khalifah. Karena Allah Swt. akan meminta petanggungjawaban atas apa yang telah dilakukannya terhadap rakyatnya. Sosok pemimpin bervisi akhirat, yang peduli dan peka terhadap urusan rakyat inilah yang sangat dirindukan dan ditunggu kehadirannya di tengah umat. Namun, sosok pemimpin seperti ini tidak akan mungkin lahir dari sistem kapitalisme yang rusak dan batil ini. Hanya sistem Islam yaitu Khilafah yang mampu melahirkan dan mewujudkan pemimpin yang amanah dan menjadikan kekuasaannya sebagai bentuk keimanan dan ketaatannya kepada Rabb-Nya. []


Oleh Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)

Posting Komentar

0 Komentar