Jalan Hijrahnya Sang Raja


 Situasi di Makkah sangat tidak kondusif dalam penyebarkan dakwah Islam saat itu. Rasul telah diperintahkan oleh Allah swt untuk berdakwah menyampaikan wahyu kepada manusia secara terbuka. Namun masyarakat Makkah yang notabene kaum Quraisy, menolak mentah-mentah ajakan beliau. Bukan hanya itu, mereka juga menyiksa dengan siksaan yang pedih seperti yang terjadi pada Bilal bin Rabbah dan keluarga Yasir.

Pada tahun ke-lima kenabian, kaum muslimin hijrah kedua kalinya menuju Habasyah yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib. Saat itu kaum Quraisy geram, mengetahui bahwa ummat Muhammad mendapatkan keamanan dan kedamaian di sana. Mereka memutuskan untuk mengirim orang dengan berniat mengusir rombongan hijrah yang berjumlah kurang lebih 80 orang itu dari Habasyah.

Maka berangkatlah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Robiah ke Habasyah sebagai utusan Quraisy. Mereka berkata pada sang raja, “Wahai tuan raja, sesungguhnya ada beberapa orang bodoh telah menyusup ke negeri tuan. Mereka ini telah memeceh belah agama kaumnya, juga tak mau masuk ke agama tuan sambil membawa agama baru yang mereka ciptakan sendiri. Kami diutus dari pembesar mereka, dari bapak-bapak, paman dan keluarga mereka untuk menemui tuan agar tan berkenan mengembalikan orang-orang ini pada mereka”, ujar

“Benar apa yang dikatakan mereka berdua wahai baginda raja. Maka serahkanlah rombongan itu pada mereka berdua agar keduanya mengembalikan mereka ke kaum dan negerinya”, ujar para uskup yang sebelumnya telah diberikan hadiah oleh utusan Quraisy ini.

Namun raja Najasy merasa perlu untuk meneliti secara detil masalah ini dan mendengarkan dari masing-masing pihak. Najasyi memanggil dan bertanya pada Ja’far yang menjadi juru bicara kaum Muslimin, “Macam apakah agama kalian yang karenanya dapat memecah belah kaum kalian dan kalian juga tidak mau masuk agama kami (Nasrani) serta tidak satu pun agama-agama ini?”

“Wahai Tua Raja, dulu kami adalah pemeluk agama Jahililiyah. Kami meyembah berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, memutuskan tali persaudaraan, menyakiti tetangga dan yang kuat diantara kami memakan yang lemah. Hingga Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami sendiri yang kami ketahui nasab, kejujuran, amanah dan kesucian dirinya” ujar Ja’far.

“Beliau menyeru kami kepada Allah untuk mengesakan dan menyembah Nya, serta meninggalkan penyembahan terhadap batu dan patung. Beliau juga memerintah kami untuk berkata jujur, melaksanakan amanat, menjalin hubungan kekerabatan, berbuat baik kepada tetangga, menghormati hal yang disucikan dan darah” lanjut Ja’far menjelasakan.

“Lalu kaum kami justru menyiksa kami dan menimbulkan cobaan bagi agama kami dengan tujuan untuk mengembalikan kami kepada penyembahan terhadap patung tanpa diperbolehkan menyembah Allah. Setelah mereka menekan, berbuat semena-mena dan mempersempit ruang gerak kami, maka kami pun pergi ke negeri tuan dan memilih tuan daripada orang lain”, jelas Ja’far panjang lebar.

“Apakah engkau bisa membacakan sedikit ajaran dari Allah yang dibawanya (Rasulullah)?” , tanya Sang Raja. “Ya”, jawab Ja’far sambil membacakan surat Maryam dari awal surat. Yang diantara isinya adalah kerinduan Nabi Zakaria akan lahirnya seorang anak, pengangkatan Yahya sebagai Nabi. Berikutnya kehamilan Maryam dan yang terakhir adalah kelahiran Isa as dan reaksi yang muncul di tengah masyarakat.    

Mendengarnya, Najasy menangis hingga membasahi jenggotnya, begitupun para pendeta yang mendengarnya dan berada di sekilingnya juga ikut menangis. Kemudian Najasy berkata,”Sesungguhnya ini dan yang dibawa Isa benar-benar keluar dari satu misykat”.

Kemudian Najasy bekata,”Pergilah, kalian aman di negeriku, siapa yang mencaci kalian adalah orang tidak waras. Sekalipun aku mempunyai gunung emas, namun aku tidak suka menyakiti salah seorang diantara kalian”.

Para uskup yang tidak puas terhadap keputusan tersebut menyebut bahwa Najasyi telah meninggalkan agamanya yang lama dan mengikuti agama baru. Mereka juga menghasut rakyat agar menggulingkan rajanya. Beberapa lama, Habasyah digoyang dengan isu ini, bahkan beberapa dari rakyat Habasyah ingin mencabut baiat mereka (membangkang) pada raja.

Melihat hal tersebut, Najasyi memanggil Ja’far bin Abi Tholib dan menyerahkan dua buah kapal. Ia katakan,”Naiklah ke kapal itu, lihatlah perkembangannya. Bila aku kalah, pergilah ke mana kalian suka. Tetapi bila aku menang, kalian boleh dalam perlindunganku seperti semula”.

Selanjutnya Najasyi mengambil sehelai kulit kijang dan menuliskan di atasnya dengan tulisan,”Aku bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Nya yang terakhir. Aku juga bersaksi bahwa Isa as adalah hamba Nya dan utusan Nya, ruh Nya dan kalimat Nya yang ditiupkan pada Maryam”. Selanjutnya dipakaikan tulisan itu di dadanya kemudian ia memakai pakaian perangnya dan pergi bersama prajuritnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa saat itu Najasyi telah muslim. Tapi ulama lain berbeda pendapat. Yang lain berpendapat bahwa ke Islaman Najasyi adalah lima belas tahun kemudian, pada tahun ke 7 Hijriyah, saat Rasulullah saw menjadi kepala negara dan mengirimkan enam utusan kepada penguasa di sekitar Madinah.

Sampailah Amru bin Umayah Adh Dhamari (utusan dari Rasulullah) dihadapan Najasyi. Amru memberi salam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah dan menyambutnya dengan baik. Setelah dipersilahkan duduk, Amru memberikan surat dari Rasulullah kepada sang raja dan lansung dibaca oleh Najasyi.

Isi dari surat tersebut adalah,”Bismillahirrahmaanniraahiim, dari Muhammad sang Nabi kepada Najasyi, Al-Ashomah pemipin Habasyah. Kesejahteraan kepada siapa saja yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan Rasul Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Illah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi Nya yang tidak ada rekan pendamping dan anak dan Muhammad adalah hamba dan Rasul Nya. Aku menyeru tuan dengan seruan Islam bahwa aku adalah Rasul Nya. Maka masukah Islam niscaya tuan akan selamat. Jika tuan menolak, maka tuan akan menanggung dosa orang-orang Nasrani dari kaum tuan”

Setelah membaca surat tersebut, Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan dan matanya dengan penuh hormat. Kemudian ia turun dari singgasananya dan menyatakan ke Islamanya pada hadirin. Setelah selesai mengucapkan syahadat ia berkata,”Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad, niscaya aku akan duduk dan membasuh kakinya”.

Kemudian Najasyi membuat surat jawaban pendek kepada Rasulullah saw yang berisi pernyataan menerima dakwah beliau dan keimanan atas kenabian baliau. Dua tahun berikutnya pada tahun 9 Hijriyah, Najasyi wafat, kabar duka itu sampai pada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah keluar dengan para sahabat dan melakukan sholat ghoib.

Begitulah, saat cahaya Islam didakwahkan dengan kekuatan negara, penyebarannya akan efektif dan terencana. Strategi yang dilakukan didasari oleh ideologi yang dilandasi oleh syariat Nya. Manusia yang menjalankannya pun merupakan manusia pilihan yang terpercaya. Subyek dakwahnya bukan hanya rakyat biasa, namun juga pucuk pimpinan tertiggi sebuah negara.


Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar