Muralis-muralis kini mulai unjuk gigi. Berkreasi sembari curhat di dinding tentang kondisi hari ini. Masyarakat pun membaca mural-mural tersebut memantik berpikir kritis. Seperti Membaca mural "Tuhan, aku lapar" di tengah kondisi pandemi yang berdampak pada ekonomi rakyat, urusan perut menjadi persoalan.
Begitu pula dengan mural ‘404 not found’ viral di media sosial. demam mural dengan cepat menjadi trending untuk menyampaikan opini publik yang terasa membeku. Mural ini terkesan radikal untuk pihak-pihak tertentu. Tapi itulah mural, khas dengan "street art" yang menggambarkan seni jalanan tanpa mengenal rasa takut dari pihak manapun.
Kini, para muralis barangkali memang lebih sensitif terhadap hal-hal sederhana semacam itu, suara-suara rakyat sederhana yang lugas namun tak tahu mau digaungkan kemana?. Contohnya: ‘Tuhan, saya lapar’ Mural ini hanya berupa tulisan sederhana seperti itu, tapi mungkin bagi sebagian orang adalah teriakan yang lantang menggaung bersifat tendensius dan mengganggu ketenangan terlebih memantik daya kritis masyarakat.
Demam mural itu rupanya segera diikuti oleh demam antikritik. Para muralis rupanya telah membangkitkan kesadaran sebagian pihak bahwa tulisan atau gambar di dinding-dinding menganggur di kolong jembatan atau di bangunan rusak itu ternyata patut diwaspadai. Tak boleh dianggap sepele ataupun sederhana, walaupun ungkapannya sederhana. Namun akan mengganggu pihak tertentu dengan dalil ajakan bersifat tendensius.
Dilansir dari Suara.com , kamis -- 2 September 2021, Sebuah mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menghiasi sebuah tembok di kawasan Jalan Kebagusan Raya Jakarta Selatan, Selasa (31/8/2021). Hal itu diketahui dari sebuah video yang diunggah oleh akun Instagram @merekamjakarta.
Dalam video tersebut, gambar yang diduga mirip Presiden Jokowi tampak sedang tersenyum dan mengenakan baju berwarna hitam. Dalam baju tersebut tertera tulisan 11 T.
Tak jauh dari kepala gambar tersebut, terdapat pula tulisan "Okelah 3 Priode HEHEHE..." Selain itu, di sisi bawah leher gambar Jokowi juga terdapat tulisan #IndonesiaWajibOK, nggak Oke...? BORGOL".
Selain itu di sisi kiri gambar Jokowi terdapat tulisan "AKU NYERAH PAKDEH". Tak hanya itu terdapat pula tulisan "MIKIRIN RAKYAT SAMPAI KURRUS". Tak lama berselang, pada unggahan @merekamjakarta pada Rabu (1/9/2021), mural tersebut sudah dihapus. Mural itu dihapus menggunakan cat berwarna hitam
Tulisan yang sebelumnya menghiasi gambar-gambar di dekat wajah Jokowi pun kini sudah tidak ada. Bahkan, kini ada tulisan baru yakni "Jos Asik Asik Ok" dan "Hidup Merdeka". Belum diketahui siapa sosok yang membikin mural maupun yang menghapus mural tersebut.
Begitu pula, lansiran SuaraJakarta.id - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria angkat bicara soal mural mirip Presiden Joko Widodo di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Coretan gambar di tembok itu kini telah dihapus pada Selasa (2/9/2021) malam. Menurut Riza pembuatan mural di tembok tidak ada salahnya. Masyarakat diizinkan untuk berkreasi dan berinovasi termasuk membuat mural atau sejenisnya.
Kini pemerintah mencermati dengan seksama terhadap lukisan bergaya bebas itu, padahal pesannya sederhana, bukan seperti corat-coret para mahasiswa yang demo mengkritik kebijakan pemerintah dengan poster protes mereka yang lantang di depan gedung DPR. Misalnya: Turunkan harga BBM! Coretan mahasiswa di kertas ini terkesan menuntut, bandingkan misalnya dengan tulisan di mural tadi. Misalnya mural di Bogor dengan tulisan "butuh sesuap nasi". Pesannya sederhana dan itu pengingat buat kita semua, sehingga mestinya tak perlu ada yang merasa harus bersikap reaktif terhadap mural-mural di berbagai daerah.
Apabila mural-mural itu dianggap sebagai kritik sosial yang bersifat tendensius atau menyinggung perasaan. Mestinya DPR ikut bereaksi selaku wakil rakyat namun minim rasa peka. Mengapa? Karena pesan mural itu menandakan bahwa rakyat tidak tahu lagi bagaimana dan di mana menyampaikan pikiran, perasaan, pendapat, hingga aspirasi, karena DPR bersikap dan bertingkah laku bagaikan bukan wakil rakyat. Sayangnya, DPR tidak sensitif dan sadar bahwa mereka semestinya ikut tersinggung, sebab fungsi kritik itu diambil alih oleh mural-mural di dinding itu.
Rakyat memilih caranya sendiri untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan lewat mural: lapar, ‘404 not found, hingga #IndonesiaWajibOK, nggak Oke...? BORGOL". Muralis-muralis itu curhat di dinding agar sesama rakyat tahu. Rakyat membaca mural-mural itu sambil tersenyum merintih juga ada yang tertawa ironi. Bagaikan menertawakan nasib sendiri. Seperti membaca mural ‘Tuhan, aku lapar’, secara tak sadar memegang perut kosongnya yang keroncongan.
Jadi, kalaupun mural-mural itu dianggap kritik, tak perlu ditanggapi berlebihan. Cukup direspons dengan tanggung jawab pemerintah mengurusi rakyatnya. Mengevaluasi hasil kebijakan yang berlaku selama ini sembari tersenyum. Sebagaimana para pemural juga tersenyum tatkala mural-mural karya mereka berganti dengan cat hitam nan ngeblok. Contoh, kalau ada mural bertuliskan "Aku bangga rumahku bebas asap rokok", maka perusahaan produsen rokok tidak perlu merasa tersinggung lalu ikut-ikutan mencat hitam. Namun akhirnya tetap saja yang merokok masih juga banyak. Pun pemilik pabriknya bertambah kaya. Begitu pula jika terpampang mural yang berbunyi: "Urus saja moralmu, jangan urus muralku" tak perlu menanggapinya serius lalu mengerahkan pengecat-pengecat hitam. Anggaplah kaum muralis itu telah mengingatkan kita semua pada kebaikan.
Inilah karakter asli dari demokrasi, seolah mendengungkan aspirasi rakyat sebebas-bebasnya namun antikritik. Kekuasaan demokrasi yang antikritik memang tak perlu diherankan. Kenapa? Karena bagaimana pun, demokrasi tak mungkin membiarkan kekuasaannya terganggu dengan membiarkan ruang kritik dibuka lebar.
Kondisi anti kritik Pemerintah dalam kekuasaan demokrasi yang berjalan di seluruh dunia bisa kita temukan hari ini. Demokrasi yang berasas paham kebebasan mengampanyekan kebebasan berpendapat, berbicara, dan berperilaku hanya isapan jempol belaka. Menjanjikan kebebasan namun akhirnya. Dibungkam. Seharusnya bisa membuka mata kita untuk mencampakkan demokrasi dan beralih ke sistem Islam yang benar-benar memberikan solusi.
Oleh karenanya, sudah saatnya umat mencampakkan sistem ilusi demokrasi dan menegakkan sistem yang nyata menuju keberkahan. Tak lain hanya sistem Islam yang memberi jaminan keadilan dan kesejahteraan, serta memberi kebebasan berpendapat sepanjang ada dalam koridor syariat yang menjamin kebaikan-kebaikan manusia.
Itulah mengapa dalam Islam, nasihat, amar ma'ruf nahi mungkar dan kritik terhadap seorang pemimpin merupakan perkara urgen dalam kepemimpinan. Wajib harus berjalan bahkan menjadi hak penguasa dan kewajiban rakyat. Kedua belah pihak sama-sama membutuhkannya. Pemimpin menjalankan kekuasaan diiringi rasa khawatir tidak mampu menunaikan amanahnya bila tidak dikritik seperti apa yang sudah dicontohkan Rasulullah Saw beserta Khalifah setelahnya.
Sebaliknya, rakyat akan sukarela tanpa terpaksa apalagi takut untuk menyampaikan nasihat, amar ma'ruf nahi mungkar dan kritik pada pemimpinnya. Bukan semata karena kemaslahatan dirinya agar kepemimpinan bisa memenuhi seluruh harapannya, namun juga karena berharap kemuliaan yang tak kalah besar dengan jihad fisabilillah.
افضلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Wallaahu a’lam.
Oleh Alin FM
Praktisi multimedia dan Penulis
0 Komentar