Partai Amanat Nasional (PAN) akhirnya menyatakan berkoalisi dengan partai politik pendukung Presiden Joko Widodo. Sikap PAN tersebut ditandai dengan hadirnya partai tersebut dalam rapat pimpinan partai koalisi bersama Jokowi pada Rabu, 25 Agustus 2021 lalu. Benarkah pilihan PAN tersebut bisa membawa keuntungan bagi kedua belah pihak? Lantas bagaimana tanggapan dari tokoh terkait sikap PAN tersebut? Kali ini tim redaksi Muslimah Jakarta telah mewawancarai seorang aktivis muslimah sekaligus praktisi pendidikan Lulu Rizqi, S.Sos., M.Si., berikut hasil wawancara yang berhasil kami himpun.
Tanya: Apa tanggapan ibu terkait bergabungnya PAN menjadi partai koalisi?
Jawab: Sangat disayangkan Pan bergabung dengan Koalisi karena selama ini seperti kita ketahui PAN suaranya cukup kritis dalam mengkritisi pemerintah. PAN sebagai partai cukup baik dalam menjalankan fungsi kritiknya terhadap pemerintah saat ini.
Tanya: Menurut ibu apakah hal tersebut tepat mengingat PAN adalah salah satu partai yang kritis terhadap pemerintah?
Jawab: Ke dalam koalisi pemerintah saat ini merupakan langkah yang tidak tepat karena partai koalisi pemerintah saat ini sebelum PAN masuk menguasai lebih dari setengah suara parlementer dan ketika akan masuk ke dalam koalisi pemerintahan saat ini maka partai koalisi pemerintah sudah memenuhi 85% dari suara parlementer. Maka bisa dikatakan bahwa koalisi pemerintahan saat ini adalah koalisi yang sangat gendut layaknya manusia ketika sangat gendut maka dia akan sulit bergerak maka koalisi saat ini juga menjadi koalisi yang tidak sehat dia susah bergerak gitu ya susah menerima aspirasi bahkan seperti kita belajar dari sejarah ketika koalisi ini atau kakuasaan ini sangat dominan maka kekuasaan ini bisa bertindak sewenang-wenang.
Tanya: Apa pendapat ibu melihat fakta sekarang dmn partai koalisi lebih "gendut" dibanding partai oposisi (yang hanya menyisakan PKS dan Demokrat) , apakah hal itu akan berpengaruh pada aktivitas koreksi/kritik penguasa?
Jawab: Koalisi yang gendut ini pastinya akan sangat berpengaruh pada aktivitas koreksi atau kritik terhadap penguasa yang ada karena mayoritas partai politik saat ini menjadi partai yang mendukung pemerintah selayaknya partai yang mendukung pemerintah mereka akan mendukung setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan memiliki kemungkinan yang besar untuk jarang mengeluarkan kritik karena akan dianggap membuat kegaduhan di dalam koalisi. Pasti ada kesepakatan-kesepakatan yang yang dibuat antar anggota koalisi untuk selalu mendukung keputusan pemerintah maka hal ini akan sangat berpengaruh pada kuantitas partai politik yang menjalankan aktivitas koreksi atau kritik. Ketika ada yang menyatakan tidak tertutup kemungkinan partai anggota koalisi juga melakukan kritik namun akan sangat dipertanyakan sedalam apa kritik yang akan disampaikan dan sejauh mana karena tadi pastinya partai anggota koalisi akan sungkan atau khawatir jika kritikan yang diberikan akan membuat kegaduhan di dalam koalisi tersebut. Dalam pandangan demokrasi hal ini sebenarnya adalah sebuah kemunduran karena demokrasi sendiri itu muncul untuk menghilangkan kekuasaan yang otoriter. Namun ketika keadaannya seperti saat ini di mana mayoritas partai politik menjadi anggota koalisi maka akan sangat mudah menghasilkan kebijakan yang menguntungkan kualisi tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat. Hal ini sangat mungkin saja terjadi karena sifat dasar kekuasaan itukan rakus. Maka ketika tidak ada yang mencegah, mengkritisi atau mengoreksi akan sangat mungkin muncul kesewenang-wenangan.
Tanya: Apakah hal ini ada kaitannya dengan wacana mempertahankan masa jabatan (3periode)? Bagaimana menurut ibu?
Jawab: Hal ini sangat masuk akal. Wacana mempertahankan masa jabatan atau memperpanjang masa jabatan menjadi 3 periode jika ingin direalisasikan maka harus melakukan perubahan atau amandemen undang-undang dasar dan untuk melakukan amandemen UUD ini membutuhkan kekuatan politik yang sangat besar maka tidak aneh jika koalisi kemudian menarik atau berusaha menggaet yang tadinya partai oposisi menjadi partai koalisi.
Tanya: Dari kasus ini pasti ada kepentingan yang ingin diraih oleh kelompok partai yng memutuskan menjadi koalisi, apakah dlm sistem demokrasi apakah hal ini wajar terjadi? Mengapa demikian?
Jawab: Seperti yang saya sudah sampaikan sebelumnya munculnya Demokrasi adalah untuk menghilangkan kekuasaan yang otoriter jadi cita-cita pendiri Demokrasi adalah untuk menghilangkan kekuasaan yang sewenang-wenang namun pada realitanya demokrasi itu sendiri memiliki prosedur menghasilkan kekuasaan yang otoriter atau dominan seperti saat ini. Mungkin bisa dikatakan Ini adalah sebuah kontradiksi dalam demokrasi demokrasi menginginkan kekuasaan yang aspiratif yang mewakili rakyat namun di sisi lain demokrasi memiliki prosedur yang bisa menciptakan kekuasaan yang otoriter juga sehingga bisa menimbulkan perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif untuk mencapai sebuah keinginan demi keuntungan mereka bukan untuk keuntungan rakyat.
Rep. WID.
0 Komentar