Kontestasi yang Dinaungi Oligarki, Membuat Rakyat Sejahtera?

 



Komisi Pemilihan Umum secara tegas menyatakan bahwa pada tahun 2024 akan digelar Pilpres dan Pilkada secara serentak. Pada rapat yang digelar oleh Komisi II DPR dan penyelenggara Pemilu dihasilkan bahwa Pilpres akan terselenggara pada tanggal 28 Februari 2024 dan Pilkada pada 27 November 2024 mendatang.

Namun tidak berhenti di situ, wacana ‘Jokowi tiga periode’ kembali muncul. Dilansir dari Kontan.co.id dinyatakan bahwa Komunitas Jokowi-Prabowo 2024 alias Jokpro 2024 terus mendorong agar Presiden Joko Widodo dapat kembali maju di Pilpres 2024 berpasangan dengan Prabowo Subianto (14/8/2021).

Agar target tiga periode dapat lolos, maka perlu ada amandemen UUD, karena negara mengatur masa jabatan Presiden hanya dua periode saja. Sementara itu penasihat Jokpro 2024, M. Qodari optimis Amandemen UUD 1945 mengenai masa jabatan presiden menjadi 3 periode sangat mungkin dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam UUD RI 1945 terpenuhi.

Qodari beralasan bahwa pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 amandemen UUD 1945 pun pernah dilakukan. Ia juga menyatakan bahwa besarnya koalisi pemerintahan di parlemen, sudah memenuhi syarat untuk mengadakan amandemen UUD 1945.

Terkait dengan besarnya koalisi pemerintah, bahwa belum lama ini PAN bergabung dengan partai koalisi. Dengan bergabungnya PAN, Wasekjen DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon menyatakan bahwa koalisi pemerintah menjadi sangat gemuk dan hanya menyisakan Demokrat dan PKS di luar lingkaran kekuasaan.

Jansen juga mengatakan bahwa hal itu berarti 82 persen suara di DPR dikuasai oleh partai koalisi yang jika dikonversi sama dengan 471 kursi DPR. Sehingga untuk bisa mengubah konstitusi, pemerintah hanya butuh 3 kursi DPD RI.

Selain itu, ada dugaan bahwa dalam pertemuan antara Jokowi dan ketua umum partai koalisi 25 Agustus lalu tak hanya membahas pandemi Covid-19. Namun juga membahas amendemen UUD 1945, mengembalikan GBHN, bahkan terkait jabatan presiden tiga periode.

Walapun Jokowi sendiri tak berniat memperpanjang masa jabatannya, namun Peneliti Center of Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Unair, Herlambang P. Wiratraman mempunyai pandangan berbeda. Ia katakan bahwa amandemen dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi bola liar dan sangat terbuka.

Terbuka karena memang mayoritas politiknya dikuasai relasi kuasa eksekutif terutama Jokowi dalam sistem kartel. Liar karena tidak ada yang bisa mengontrol. Walaupun rakyat bersuara keras, parlemen tidak mendengarkan apa yang diprotes atau apa yang dikritikkan oleh rakyat.

Tak berbeda jauh dengan Herlambang, ekonom Faisal Basri juga merasa curiga bahwa ada pengusaha nakal yang tak ikut program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid I yang mencoba mendorong Jokowi menjadi presiden untuk ketiga kalinya. Ini mereka lakukan demi mendapat perlindungan dari kejaran pajak.

Faisal menjelaskan upaya itu dilakukan karena pengusaha bandel itu takut kena denda 300 persen karena tak mengikuti program tax amnesty pada 2016-2017 lalu. Pasalnya, kalau sampai denda 300 persen dikenakan, pengusaha bisa langsung jatuh miskin.

Para pengusaha khususnya anggota Kadin mendorong pemerintah untuk melakukan tax amnesty jilid II. Pengampunan pajak ini memang sedang digodog oleh pemerintah melalui revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Revisi UU ini bukanlah usulan Kementerian Keuangan tapi diusulkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Melihat terjadinya transaksi kekuasaan ini, Rocky Gerung di dalam chanel youtube nya menyatakan bahwa bagi oligarki tentunya menginginkan Jokowi bukan hanya tiga namun tujuh periode bila hal tersebut mungkin dilaksanakan. Karena ini terkait dengan ijin investasi yang juga memerlukan tiga periode. Sehingga menurutnya isu tiga periode adalah persembunyian legal dari oligarki untuk melahirkan politisi baru yang mempunyai kepentingan yang sama dengan mereka.

Ia melanjutkan bahwa secara teknis untuk melakukan amandemen UUD merupakan hal yang mudah apalagi partai koalisi sudah mempunyai suara dominan. Pada abad 15, kata konstitusi adalah untuk memperpendek kekuasaan bukan sebaliknya. Sehingga ia katakan bahwa seseorang yang konstitusional itu justru akan memperpendek masa jabatan kekuasaannya.

Demi kepentingan dan keuntungan kedua belah pihak, maka transaksi kekuasaan selalu akan dijalankan. Oligarki demi bisnisnya dan pemerintah demi kekuasaan yang sebetulnya telah terbeli juga oleh para pedagang. Sehingga lahirlah kekuasaan transaksional yang pastinya bukan berlandaskan kesejahteraan rakyat banyak. 

Kontestasi menuju 2024 memang sudah sangat terasa gegap gempitanya beberapa bulan belakangan. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk mengurai persoalan pandemi covid-19 yang masih di depan mata dan entah di mana ujung pangkalnya.

Dari awal virus ini datang hingga banyak yang terjangkiti dan dinyatakan ratusan yang wafat saja keseriusan penanganannya tidak terlihat. Sehingga yang menjadi pertanyaan besar saat ini adalah apakah pengurusan urusan rakyat terlintas di kepala penguasa ataukah hanya normatif demi mengambil hati rakyat saja?

Watak asli kapitalis memang mengedepankan ‘cuan’. Bila mengurus rakyat tidak ada keuntungan yang didapat, mengapa harus didahulukan. Sehingga tidak heran bila apapun kaputusannya memang akan selalu berat ke arah yang bayar.

Maka, apakah sistem pemeritahan seperti ini yang patut dipertahankan? Jokowi dua ataupun tiga periode tak banyak perbedaan bila oligarki terus membayangi pemerintahan. Kekuasaan transaksional juga tak akan pernah menengok pada rakyat dalam memenuhi kebutuhan, kecuali hanya satu kali yaitu dalam pemilihan.

Oleh karena itu harus ada revolusi total pada tingkat kekuasaan yang tak lagi mengandalkan akal-akalan. Itulah sistem pemerintahan Islam yang berawal dari Rasulullah hijrah ke Madinah hingga seribu tahun kemudian.

Wallahu’alam.


Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar