Krisis Multidimensi Dunia di Balik Penanganan Pandemi Covid-19


Hari ini kita dihadapkan dengan penanganan pandemi yang karut marut. Indonesia mengalami berbagai kekacauan di hampir seluruh aspek akibat pandemi Covid-19 ini. Indonesia terakhir menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 yang sudah diperpanjang beberapa kali. Kebijakan PPKM yang diambil pemerintah Indonesia menuai kritik berbagai pihak.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan strategi pembatasan akan menjadi 'lingkaran setan' atau jebakan yang terus berulang jika tidak diiringi perbaikan strategi elementer dalam menangani penyebaran virus corona. Tentu saja pemerintah lebih memilih mengecat ulang pesawat kepresidenan yang menghabiskan dana 100-150 ribu dollar AS atau sekitar Rp1,4 miliar-Rp2,1 miliar, ketimbang memperbaiki penanganan pandemi covid-19 dengan lockdown syar’i yang menjadi satu-satunya solusi.

Tentu jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat menjadi salah satu yang mendukung keberjalanan lockdown syar’i. Akan tetapi apa yang ditempuh penguasa beserta keabsurdan pengaliran dana belanja negaranya sungguh jauh dari kesungguhan menyelesaikan problem umat.

Pemerintah Indonesia yang sedang sibuk memoles citra ketimbang serius mencari solusi krisis di tengah pandemi semakin menunjukkan kepada masyarakat betapa tidak becusnya penguasa hari ini. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah ditunjukkan dengan data tren penurunan terhadap kinerja Presiden Jokowi dan wakilnya Ma’ruf Amin. Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) Nyarwi Ahmad merilis hasil survei kepuasan kinerja keduanya yang berada di bawah angka 50 persen, yaitu 47,1 persen. Angka tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan survei yang dilakukan September 2020, yaitu 49,9 persen.

Krisis Multidimensi Pengaruh Kegagalan Dunia Menangani Pandemi

Pandemi memperlihatkan kepada dunia bagaimana sistem ini hanya berpihak kepada orang kaya saja dan menimbulkan permasalahan domino yang berujung pada krisis multidimensi di tengah masyarakat dunia hari ini. Di antara krisis multidimensi yang melanda dunia kapitalis ialah:

Pertama, krisis politik. Politik ala demokrasi yang digunakan pada sistem kapitalisme ini memang diawali dari eksperimen dua ribu tahun lalu di Athena yang kemudian menyebar ke berbagai benua dan daratan bumi. Kemudian eksperimen ini ikut diadopsi oleh ideologi kapitalisme sebagai bentuk pemerintahan dan corak politiknya melalui Presiden AS Abraham Lincoln Gettysburg yang berpidato pada 1863 tentang “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” dan mengklaim tidak ada yang lebih unggul sistem AS ini.

Pada praktiknya konsep politik demokrasi ini sulit direalisasikan dan justru mereka hanya tenggelam pada pondasi teoritis praktis dan pragmatisme semata. Pemimpin yang katanya mereka pilih sendiri sebagai perwakilan mereka pada realisasinya hanya peduli pada popularitas jangka pendek untuk dapat tetap eksis di dalamnya. Ketika dihadapkan pada persoalan pandemi yang butuh upaya dan penanggulangan bukan hanya jangka pendek tapi juga pencegahan dan penyelesaian yang memiliki tantangan jangka panjang, mereka tidak akan pernah peduli dan mampu memikirkannya. Terlebih dalam memperoleh popularitas yang mendongkrak elektabilitas di pemilu tentu membutuhkan ongkos mahal yang akhirnya kekuatan uang mengalahkan teori demokrasi itu sendiri.

Di sebagian besar negara maju, 1% kelompok elit yang ada di tengah masyarakat telah mendominasi sistem politik: yang pada akhirnya menjadikan sistem politik sebagai dari 1%, oleh 1% dan untuk 1%. Demokrasi saat ini telah menjadi sistem yang secara sistematis memberi penghargaan kepada para elitnya melalui pemotongan pajak, regulasi dan keamanan dengan mengorbankan masyarakat lainnya sebagai pelunas utang dan segala kekurangan negara.

Hal tersebut menyebabkan Ekonom pemenang Nobel, Joseph Stiglitz memproklamirkan: “Selama 40 tahun, para elit di negara kaya dan miskin sama-sama berjanji bahwa kebijakan neoliberal akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan manfaatnya akan mengalir kepada semua orang, termasuk orang miskin akan menjadi lebih baik. Sekarang setelah buktinya tampak, apakah mengherankan bahwa kepercayaan pada elit dan kepercayaan pada demokrasi telah anjlok.”

Kita dapati hari ini para politisi lebih dibenci daripada penagih utang. Kemarahan pada elit politik dan ketidakpuasan ekonomi telah memicu pergolakan politik di seluruh dunia. Banyak yang beralih ke politisi populis dan partai politik yang tidak konvensional dengan harapan akan terjadi perubahan. Terjadi perpecahan yang memunculkan spektrum politik kanan dan kiri, yang dalam beberapa kasus menentang norma-norma fundamental dan institusi demokrasi liberal itu sendiri.

Apa yang kita saksikan hari ini dengan berbagai unjuk rasa di berbagai negara di dunia adalah bentuk keberpalingan masyarakat dari kesia-siaan kotak suara (mekanisme yang disepakati sebelumnya untuk memecahkan masalah sosial) menuju tindakan langsung. Kini krisis politik itu semakin tampak di tengah masyarakat dunia yang tidak lagi mempercayakan pengurusan pada pemimpin yang sebelumnya telah mereka pilih sendiri tetapi secara gamblang tidak menunjukkan kapabilitas perwakilannya.

Kedua, krisis ekonomi. Kapitalisme dalam pujian diri yang sombong telah diklaim menjadi sistem pengorganisasian yang paling sukses pasar dalam sejarah. Mereka mengklaim banyaknya orang yang telah keluar dari kemiskinan menuju kemakmuran, banyaknya kekayaan di dunia, tingginya harapan hidup dan perkembangan teknologi semuanya berkat kapitalisme dan pasar bebasnya.

Tapi dunia tempat kita hidup hari ini memberikan gambaran yang sangat berbeda. Pertidaksamaan dan kemiskinan absolut yang tak terhindarkan. Malam ini, separuh dunia (3,8 miliar orang) tidak akan makan malam karena mereka terlalu miskin, lebih banyak orang memiliki akses ke ponsel daripada toilet, dan yang mengejutkan adalah bahwa hanya 1% dari populasi dunia sekarang menimbun dan mengendalikan 82% kekayaan global.

Masalah ini tidak hanya terjadi di dunia ketiga alias negara berkembang, ketimpangan kekayaan bahkan lebih buruk terjadi di negara maju. Buku Thomas Piketty - Capital in the Twenty-First Century (diterbitkan di 2013), mengungkap betapa buruknya ketimpangan kekayaan di AS dan Eropa. Kesimpulan Piketty sangat jelas bahwa ketidaksetaraan bukanlah sebuah kebetulan melainkan sebuah fitur kapitalisme yang dapat dibalik hanya melalui negara intervensi. Kecuali kapitalisme di reformasi, maka tatanan demokrasi dalam ancaman.

Apa yang telah terjadi sejak 'The End of History' pada 1989 sesungguhnya adalah gaya hidup segelintir elit yang melenggangkan perampasan. Selama dua dekade mereka telah menciptakan (bagi diri mereka sendiri) sistem hukum yang mengesahkan cara hidup ini. Bagi mereka dunia ini penuh dengan tenaga kerja murah yang tidak terlindungi dan akan digunakan untuk menghasilkan keuntungan, terlepas dari konsekuensinya.

Para elit ini menciptakan produk yang mencemari udara dan laut. Mereka berspekulasi dengan menjadikan produk keuangan yang tidak memiliki keberadaan nyata tetapi memberi mereka keuntungan selangit. Sementara sebagian besar penduduk bumi lainnya berjuang untuk memenuhi kebutuhan. Masyarakat sekarang dapat melihat pemerintah benar-benar bekerja hanya untuk kepentingan 1% teratas dan hanya menjadi regulator bagi sisa orang lainnya. Dan sekali lagi pandemi hanya semakin memperlihatkan dan memperburuk kondisi ini.

Ketiga, krisis kepemimpinan. Pemimpin seperti Nelson Mandela, Mao Zedong dan Abraham Lincoln masih dikutip sampai sekarang karena memimpin pada saat krisis dan mereka dipandang sebagai pahlawan yang untuk berkorban untuk kebaikan yang besar. Sejarah Islam tidak kekurangan pemimpin-pemimpin besar, dari Nabi kita tercinta Muhammad SAW, para Khulafaur Rasyidin, Salahuddin Ayyubi dan Sultan Abdul Hamid yang menunjukkan kepemimpinan luar biasa berdasarkan cita-cita dan nilai-nilai Islam.

Tapi hari ini negara-negara paling berpengaruh di dunia secara konsisten memiliki pemimpin yang sangat meremehkan kebaikan global. Mereka bermain-main saat planet ini terbakar, sementara miliaran orang kelaparan dan warga mereka sendiri tidak memiliki akses ke standar minimum kesehatan, pendidikan dan keadilan. Politisi telah menjadi budak kepentingan perusahaan, pelobi dan elit sejarah. Mereka disibukkan mencari modal untuk mendanai kampanye jutaan dolar demi terpilih kembali ketimbang menyelesaikan masalah yang paling mendesak tantangan abad ke-21. Para pemimpin dunia melarikan diri dari pemecahan masalah global.

Saat ini dunia kehilangan sosok pemimpin karismatik. Hari ini para pemimpin hanya akan dikenang sebagai pengejar kepentingan korup untuk diri mereka sendiri ketimbang berkorban untuk kepentingan global. Sejarah hanya akan mengingat bahwa ketika kita memulai dekade ketiga abad 21 yakni dunia tengah menghadapi ancaman eksistensial justru para pemimpin yang berkuasa adalah yang terburuk dari yang pernah disaksikan manusia. Pemimpin yang terus-menerus menghindari masalah-masalah sulit, pemimpin yang terus-menerus mengadu domba. Pemimpin yang terus-menerus memihak segelintir orang daripada banyak orang. Maka pandemi Covid-19 hanya semakin menampakkan dan memperparah para pemimpin ini.

Krisis politik, ekonomi dan kepemimpinan hanyalah tiga krisis dari banyaknya krisis multidimensi lainnya yang terjadi pada dunia hari ini. Semua krisis ini semakin tampak jelas dan tidak karuan di tengah terpaan pandemi Covid-19. Menyingkap kebusukan ideologi kapitalisme dalam memimpin dunia dan manusia selama ini.[]


Oleh: Syifa Nailah Muazarah
Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar