Pandemi Covid-19 sudah melawati tahun pertama dan masuk ke tahun kedua, namun sampai saat ini masih belum bisa diatasi secara total. Kasus demi kasus terus bertambah di setiap harinya dan memberikan efek yang luar biasa di berbagai aspek terutama di bidang ekonomi. Perekonomian dunia saat ini sedang mengkhawatirkan, setiap negara sedang berjuang membangun kembali ekonomi negaranya masing-masing.
Selain kesehatan, dampak lain yang paling terasa pada bidang pendidikan. Akibat memburuknya ekonomi, aspek pendidikan pun mengalami kekacauan. Banyak para pelajar yang putus sekolah atau mahasiswa yang putus kuliah akibat buruknya perekonomian saat ini. Kesulitan dalam membiayai kuliah menjadi alasan mereka putus atau berhenti mengenyam pendidikan. Saat ini, orang-orang sulit memikirkan “Makan apa hari ini?” “Apakah besok bisa makan atau tidak?” ditambah lagi “uang dari mana untuk biaya kuliah atau sekolah?” Pandemi memberikan efek domino luar biasa di berbagai sektor.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Lembaga Beasiswa Baznas Sri Nurhidayah. Sri mendapatkan informasi soal angka putus kuliah tersebut dari Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikburistek. Informasi yang dia terima, rata-rata angka putus kuliah paling banyak ada di perguruan tinggi swasta (PTS). Pada tahun sebelumnya angka putus kuliah sekitar 18 persen, kemudian di masa pandemi ini naik mencapai 50 persen. Kondisi ini tidak lepas dari bertambahnya penduduk miskin akibat dampak ekonomi, sosial dan kesehatan dari pandemi Covid-19 (jabarekspres.com, 16/08/2021).
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Agustus 2021 sebesar 0,03%. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan pada Agustus ini merupakan tahun ajaran baru, sehingga uang sekolah SD, SMP, SMA, maupun uang kuliah perguruan tinggi mengalami peningkatan dengan andil masing-masing 0,02% (economy.okezone.com, 01/09/2021).
Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa permasalahan di sistem kapitalis saat ini adalah gagalnya memberikan jaminan pendidikan kepada warga negaranya. Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia saat ini sedang berjuang membangkitkan kembali perekonomian, pada akhirnya dunia begitu fokus pada pemulihan ekonomi sampai bisa mengesampingkan aspek-aspek lainnya. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut utang negara telah menembus Rp 6.570 triliun per Juli 2021 atau meningkat lebih dari Rp 1.000 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 5.434 triliun karena pemerintah membutuhkan dana besar untuk penanganan pandemi COVID-19 (republika.co.id, 30/08/2021).
Ekonomi tidak kunjung meningkat tapi utang semakin membengkak. Kasus meningkatnya pelajar yang putus sekolah atau kuliah pun meningkat tajam. Kuliah bukanlah hal yang dianggap murah saat ini, banyak mereka yang bersusah payah mencari biaya demi mengemban bangku kuliah atau memanfaatkan beasiswa yang sediakan negara. Beasiswa ini pun tidak semuanya bisa mendapatkan perlu klasifikasi khusus.
Pada awal pandemi sampai dengan saat ini masih banyak mahasiswa yang meminta keringanan pada pihak kampus atas mahalnya biaya kuliah, bahkan di tahun lalu tagar #NadiemManaMahasiswaMerana masih mendominasi trending Twitter Indonesia, karena mahasiswa menuntut pembebasan atau relaksasi biaya kuliah atau UKT (uang kuliah tunggal).
Berlepas tangannya negara terhadap pendidikan rakyat merupakan ciri-ciri dari sistem kapitalis-sekuler. Terbukti di era saat ini, pendidikan tinggi bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan. Pendidikan rakyat bukan menjadi tanggung jawab negara, tetapi sektor pendidikan malah dikomersialisasikan berlandaskan untung rugi. Semua dilakukan demi mendapatkan keuntungan, orang yang berpendidikan digunakan untuk mengabdi kepada negara. Mengabdi di sini bukan digunakan untuk kepentingan umat, tapi dikonsep untuk menjalankan program-program para kapitalis. Mahalnya biaya pendidikan memang sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan disaat kita mengharapkan lebih pada sekolah negeri dibanding sekolah swasta karena permasalahan biaya, ternyata saat ini antara keduanya pun tidak ada bedanya.
Dilansir dari databoks.katadata.co.id, Pada 2017, berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristek Dikti), jumlah unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit. Angka ini didominasi oleh perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai 3.136 unit. Sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi unit paling sedikit, yakni 122 unit. Sisanya adalah perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi di bawah kementerian atau lembaga negara dengan sistem kedinasan.
Namun demikian, jumlah itu masih tak sebanding dengan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di tanah air. APK Indonesia berada di kisaran 31,5 persen. Kondisi ini membuat banyak PTS yang mempunyai mahasiswa kurang dari 500 dan membuat kondisi PTS tersebut tak sehat. Di sisi lain, tingginya minat calon mahasiswa pada PTN yang notabene menghadirkan kuliah dengan biaya lebih terjangkau masih belum mampu tertampung seluruhnya karena minimnya perguruan tinggi negeri. Dari data tersebut membuktikan minimnya kontrol negara dalam sektor pendidikan yang jelas-jelas pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat.
Turut andilnya peran swasta dalam sektor pendidikan, memang tampak membantu bergerak majunya pendidikan negeri saat ini. Sayangnya hal ini malah menunjukan peran negara sangan kurang bahkan sama sekali tidak ada. Mirisnya, masih banyak sektor pendidikan swasta yang kualitasnya jauh dari kata baik, ini pun dikarenakan kurangnya perhatian dan kepedualian negara dalam mengontrol lembaga pendidikan swasta, padahal masyarakat sudah rela mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan pendidikan sekalipun hal tersebut dari lembaga pendidikan swasta.
Pada UUD 1945 Pasal 31 tergolong dalam BAB XIII Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 1 dan 2 berbunyi “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan “(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”, pada UU yang digunakan oleh Indonesia padahal sudah tercantum hak untuk warga negara perihal pendidikan. Namun beginilah sistem demokrasi-kapitalis semuanya hanya omong kosong belaka.
Mungkin sebagian orang merasa pendidikan mereka sudah dijamin oleh negara, namun bagaimana sebagian yang lainnya, pemenuhan kebutuhan warga negara tidak terbagi rata. Lagi-lagi pemenuhan kebutuhan rakyat bukan semata-mata karena kewajiban seorang pemimpin, amanah penguasa yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah tapi semuanya kembali kepada tujuan materi saja, sulit menemukan landasan keimanan dalam tujuan pelaksanaan demokrasi ini.
Bahkan dengan sistem yang mereka anut saja, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Inilah bukti sistem yang dibangun berdasarkan keinginan manusia, tidak memiliki landasan yang kuat seperti akidah Islam yang menyandarkan segala sesuatunya kepada syari’at atau aturan Allah SWT.
Kembali kepada sistem Islam, pemerintahan Islam menjamin kebutuhan setiap warga negaranya termasuk perihal pendidikan. Dalam khilafah tidak akan didapati warga negara yang kesulitan membiayai pendidikannya apalagi putus sekolah. Pendidikan adalah salah satu pondasi membangun peradaban cemerlang, maka negara akan menjamin segala keperluannya dengan gratis tanpa membebankan biaya kepada umat.
Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para pendidik, maupun infrastruktur serta fasilitas pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ini artinya, dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan pokok publik yang seharusnya disediakan secara gratis oleh negara.
Tentu saja biaya gratis ini perlu pengelolaan ekonomi yang berlandaskan Islam pula, bagaimana negara mampu mengelola SDA agar bisa menghasilkan dan berguna untuk umat. Khilafah memiliki mekanisme dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya berdasarkan nas-nas syariat. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa (bila) menelantarkan orang yang wajib ia beri makan” (HR Abu Dawud).
Sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang sudah disediakan oleh Sang Pencipta, yaitu hukum-hukum Islam bukan hukum buatan manusia yang bisa berganti setiap saatnya karena semua dilandaskan kepada kebutuhan pihak-pihak tertentu. Apalagi yang bisa kita percayai pada sistem demokrasi-kapitalis saat ini?
Pemuda Muslim juga sudah sewajarnya sadar akan kebobrokan sistem ini dan buruknya sistem pendidikan pada ideologi kapitalisme ini, serta memperjuangkan tegaknya kembali sistem Islam demi kemaslahatan umat sehinggan akan terasa definisi Islam rahmatan lil ‘alamin. Wallahu’alam.[]
Oleh: Albayyinah Putril
Aumnus Politeknik Negerai Jakarta
0 Komentar