Masih Adakah Empati?


Corona membuat sebagian besar korbannya mengalami gejala anosmia dan dysgeusia. Mereka tak lagi bisa membau dan merasa. Nampaknya gejala yang sama juga tengah menjangkiti para penguasa. Benarkah corona membuat para pemangku kebijakan seolah hilang rasa empatinya?

Belum lama ini, pemerintah kota Bekasi, Jawa Barat menjadi perbincangan publik. Anggaran mobil dinas senilai Rp 1 miliar untuk pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dinilai sebagai indikasi bahwa pemerintah tak punya rasa empati. Apalagi masyarakat tengah hidup dengan berbagai himpitan akibat pandemi. 

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyatakan bahwa pengadaan mobil dinas dengan nominal tersebut, sudah dianggarkan dalam APBD Kota Bekasi. Menurutnya lagi, pengadaannya sudah lama dianggarkan dan merupakan hak pejabat yang harus dipenuhi. Dia juga beralasan masih banyak pejabat Pemkot Bekasi yang belum memiliki mobil.

Senada dengan Pepen, Ketua DPRD Kota Bekasi Choiruman J Putro pun menyatakan bahwa pengadaan mobil dinas ini sama dengan anggaran pembangunan. Dengan demikian pelaksanaannya harus tetap dijalankan. (Liputan6.com, 06/09/2021)

Bagaimana mungkin publik tak dibuat kesal. Kasus ini menambah deretan panjang indikasi ketidakpekaan penguasa terhadap nasib rakyatnya. Sebelumnya ada kasus jual beli jabatan, insentif pemakaman korban covid-19, lalu sejumlah fakta mengejutkan terkait banyaknya penguasa yang kekayaannya justru meningkat di masa pandemi. 

Jadi anggapan publik ini bukan anggapan kosong belaka. Mereka mampu menalar bagaimana tingkah para penguasa yang hari ini memimpin mereka. Fakta itu terlihat nyata dan dipertontonkan setiap kesempatan. 

Bagaimana nalarnya, insentif nakes dengan jumlah miliaran belum dibayarkan, sedangkan dengan mudah mereka belanjakan uang rakyat demi kenyamanan para pejabat? Di sisi lain masyarakat tengah berjuang bertahan hidup dari himpitan ekonomi akibat pandemi. 

Konsep hidup sekularisme kapitalisme memang tengah menjangkiti para pemangku negeri. Mereka tak lagi peduli bahwa jabatan yang kini mereka sandang adalah amanah. Mereka ada untuk melayani umat. Bukan sebaliknya, mereka ingin dilayani dengan berbagai fasilitas. Akhirnya nasib rakyat tak lagi jadi prioritas. 

Sistem hari ini memang tak pernah berpihak untuk melahirkan penguasa dengan kapasitas sebagai pemimpin. Mereka justru menganggap bahwa jabatan adalah karir untuk meraub pundi-pundi materi. Berbagai fasilitas harus didapatkan dengan alasan agar menunjang kinerja mereka. Tapi faktanya, berbagai persoalan justru merundung kehidupan masyarakat. Kasus korupsi menggurita menyeret banyak pejabat. 

Semestinya, penguasa ini memahami posisinya sebagai pengurus urusan umat. Amanah kepemimpinan yang hari ini berada di pundaknya itu kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Sang Maha Pencipta.

Setiap rupiah uang rakyat yang dibelanjakan akan ada pertanyaan, darimana dan untuk apa? Ujung dari setiap kebijakan adalah surga dan neraka. Sebab setiap kebijakan berpengaruh pada seluruh nasib umat di bawah kepemimpinannya. 

Penguasa harus kembali mengingat hadis nabi akan hubungan saling cinta antara penguasa dan umatnya. Dari Auf ibn Malik, berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian." (HR Muslim).

Dalam kasus di atas, pemerintah harus memahami mana yang harusnya mendapatkan perhatian dan diprioritaskan dalam anggaran. Fasilitas operasional bagi para pejabat ini sifatnya sekunder, tak perlu dipaksakan untuk segera ditunaikan.

Pemerintah sebaiknya mengalihkan anggaran ke kebutuhan primer. Misalnya saja untuk pembayaran insentif nakes yang menangani pandemi, kebutuhan pemulihan akibat pandemi, dan lain sebagainya. Dengan begitu, anggaran bisa diserap untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memang harus segera dipenuhi. 

Lebih dari itu, penguasa harus menyadari bahwa upaya mereka dalam menjabat hanya akan ridai oleh Allah ketika mereka mau menerapkan hukum-hukum-Nya.  Sebab Islam tak hanya menggariskan bagaimana kriteria seorang penguasa, tapi juga dengan sistem apa yang akan diterapkannya. 

Sistem inilah yang kemudian akan membantu para penguasa itu menjalankan amanahnya dengan sebaik-baiknya. Mereka akan senantiasa disuport untuk memenuhi seluruh kebutuhan umat di bawah kepemimpinannya. Sistem itu tidak lain adalah Islam.

Dengan begitu amanah kepemimpinan itu menjadi karir dunia akhirat. Dia senantiasa memastikan bahwa setiap kebijakan yang dilahirkan akan membawa kebaikan untuk umat. Dan itu akan semakin mendekatkannya pada keuntungan abadi, menjadi penduduk surga yang tidak hanya dicintai oleh rakyatnya tapi juga Rabb-Nya. 

Wallahu'alam bishowab. 



Oleh: Ummu Zhafira (Ibu Pegiat Literasi)

Posting Komentar

0 Komentar