Relawan Anies Baswedan, Mileanis 24 menyebut jika Gubernur DKI Jakarta tidak ngotot maju sebagai Capres 2024 mendatang. Ketua Umum Jaringan Nasional Mileanies 24, Muhammad Ramli Rahim mengungkapkan bahwa meski Anies Baswedan yang hampir selalu masuk 3 besar dan tidak jarang berada di puncak. Namun, Anies mengaku saat ini fokus untuk menyelesaikan masalah Jakarta dan merealisasikan janji kampanyenya (tribunnews.com, 10/9/2021).
Sementara itu, dalam pertemuannya dengan Anies, Mileanies 24 meminta izin untuk tetap fokus membangun jejaring di seluruh pelosok tanah air dan tidak lagi membatasi diri hanya di 17 provinsi saja di luar Jawa Sumatra.
Peluang Anies Baswedan untuk maju pada Pilpres 2024 dilakukan dengan menggunakan strategi kampanye elegan dengan membeberkan 12 penghargaan yang diraih Pemprov DKI Jakarta tahun 2020 dan awal tahun 2021 di depan para anggota DPRD DKI Jakarta, mulai dari Kota terbaik di dunia pada sektor transportasi sampai dengan Kota paling demokratis.
Direktur Eksekutif Surveylink Indonesia (Sulindo), Wempy Hadir mengungkapkan bahwa Gubernur DKI Jakarta saat ini, Anies Baswedan memiliki cukup modal sosial untuk bertarung di Pilpres 2024 mendatang (Gatra.com, 8/7/2021).
Wempy mencontohkan kasus Pilkada 2017 di Jakarta. “Dalam beberapa kasus, seperti Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dia bukan kader partai politik, tapi karena dia punya modal sosial kemudian dia dilirik oleh partai dan kemudian menjadi calon Gubernur DKI Jakarta,” ujar Wempy dalam diskusi politik bertajuk Top 10 Bakal Capres 2024: Future Man vs Yesterday Man yang digelar secara daring pada Rabu, (7/7/2021).
Anies memang kerap kali dikelilingi kontroversi. Namun, jabatan yang Anies emban saat ini bisa dijadikan senjata emas untuk melakukan personal branding. Nyaris semua media-media besar di Jakarta memberitakan tentang kegiatan dan pencapaian Anies baik pro maupun kontra, sehingga memudahkan bagi Anies Baswedan untuk dikenal oleh publik.
Peneliti Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC), Bagus Balghi mengatakan bahwa tanpa disodorkan nama, ditanya kepada 1.200 responden dari perwakilan 34 provinsi di Indonesia, siapa tokoh pilihannya sebagai capres selanjutnya. Hasilnya, nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan paling banyak disebut responden yakni sebanyak 17,01 persen dan disusul Menhan Prabowo Subianto sebesar 14,31 persen (kontan.co.id, 22/5/2021).
Adapun survei itu. Metode survei yang dilakukan adalah multistage random sampling, dengan margin of error lebih kurang 2,9% dan tingkat kepercayaan mencapai 95%.
Sebagai lulusan Universitas ternama di Amerika Serikat, tentu saja Anies akan belajar bagaimana cara yang ditempuh dalam sistem demokrasi agar meraih kemenangan dengan menggunakan marketing politik. Dengan modal sosial dan dukungan dari kalangan nasionalis-religius, tentu saja Anies memiliki peluang besar untuk menduduki kursi presiden.
Newman (1994) dan Lees-Marshment (2009) mengakui bahwa pemasaran politik pada dasarnya adalah penerapan atau adopsi dari pemasaran produk komersial. Adopsi ini meliputi teknik (seperti riset pasar) dan konsep-konsep kunci di bidang pemasaran (seperti segmentasi pasar, positioning, dan branding).
Pertama, pemasaran politik bersifat tidak terlihat (intangible). Partai atau kandidat pada dasarnya menjual “janji” program kerja. Tetapi, jika menjual program dan janji. Maka, seorang kandidat harus membangun trust kepada pemilih bahwa program dan janji itu bermanfaat bagi mereka.
Kedua, produk politik harus mempunyai nilai simbolik. Hubungan seseorang (pemilih) dengan partai atau kandidat diikat oleh sosialisasi, kedekatan yang umumnya dibangun lewat proses yang panjang. Pertimbangan seseorang dalam memutuskan memilih kandidat lebih kompleks. Aspek lain yang unik dari produk politik dibandingkan dengan produk komersial adalah ideologi.
Ketiga, pemasaran produk politik diikat oleh sistem. Misalnya sistem pemilu, struktur politik atau regulasi serta rekam jejak. Pilihan orang atas partai atau kandidat kemudian dibatasi atau ditentukan oleh seperangkat aturan tersebut.
Keempat, pemasaran politik berorientasi jangka panjang, menumbuhkan loyalitas dan kesetiaan pemilih pada partai atau kandidat. Marketing politik juga tidak hanya berurusan dengan politik elektoral, seperti membuat satu tokoh terpilih dalam pemilu atau pilpres. Marketing politik juga soal mempopulerkan sebuah gagasan atau kebijakan publik.
Namun, penelitian politik diatas luput memasukkan variable korupsi. Selain karena nafsu kekuasaan, juga disebabkan permasalahan lainnya seperti biaya politik yang tinggi dan balas budi. Membengkaknya biaya politik kemudian mendorong kandidat untuk mencari sumber pendanaan lain.
Di sisi lain, kandidat juga tidak memiliki akar di masyarakat, layaknya parpol yang tidak memiliki kedekatan ideologis dengan masyarakat dan cenderung sekadar menjadi perahu bagi segelintir individu (Castle, 1970). Hal ini menyebabkan kampanye harus digencarkan dan berbiaya mahal. Banyaknya uang yang dikeluarkan, akhirnya mendorong para calon untuk ‘balik modal’, sehingga mencari banyak sumber pendanaan termasuk korupsi.
Porsi paling besar dari biaya politik adalah dana kampanye. Berdasarkan riset KPK, seorang calon bupati/walikota membutuhkan Rp20 hingga Rp30 Miliar dan calon gubernur membutuhkan Rp20 sampai Rp100 Miliar untuk pencalonannya (KPK, 2015). Namun, angka tersebut tidak tercatat secara formal oleh KPU atau KPK.
Bahkan untuk pilpres tahun 2013 saja, menurut peneliti senior LSI, Toto Izul Fatah biaya yang dibutuhkan untuk menjadi presiden di Indonesia jika menggunakan kurs saat ini, maka nilainya mencapai Rp8 triliun.
Biaya politik yang fantastis tentu saja membutuhkan sumber pembiayaan yang besar. Para kandidat selain mengandalkan kemampuan finansial individu, juga sumbangan dana dari berbagai pihak. Sumber pendanaan seringkali dihasilkan dari korporasi yang memiliki kekuatan finansial yang tentunya mengharapkan balas budi. Hal ini berimplikasi pada relasi patron-klien atau yang biasa disebut klientelisme.
Fenomena ini berdasar pada relasi antara politisi sebagai patron dan donatur sebagai klien. Politisi dianggap sebagai sebuah jalan yang digunakan untuk memperoleh keuntungan seperti intervensi kebijakan atau regulasi sesuai kehendak donatur yang telah mendukungnya.
Korupsi politik yang dilakukan pejabat hasil pemilu ini biasanya bernilai fantastis. Berbentuk suap, bersifat politis dan berdampak pada pembentukan kebijakan maupun regulasi. Dari sini, para donatur dan pengusaha lainnya kemudian membangun relasi dan menyuap para politisi sehingga berpengaruh pada kebijakan yang menguntungkan bagi mereka.
Akhirnya, korupsi politik menjadi sebuah siklus tahunan. Tahun pertama jabatan politisi digunakan untuk mengembalikan modal, tahun kedua dan ketiga digunakan untuk mencari keuntungan dan akhirnya, tahun keempat dan kelima digunakan untuk mengakumulasikan modal untuk pencalonan pemilu berikutnya.
Oleh karenanya, gagasan bahwa sistem demokrasi sekuler masih layak diperjuangkan apabila pemimpin yang terpilih merupakan sosok yang berkomitmen memenuhi janji politiknya dan memilki rekam jejak sebagai orang yang humanis dan merangkul rakyat serta tidak tampak elitis. Sehingga, diyakini dapat memperjuangkan kepentingan rakyat dalam bingkai demokrasi.
Namun, semua kriteria yang diharapkan sudah bisa dipastikan tidak mampu membawa perubahan yang fundamental bagi kehidupan rakyat. Selagi seorang pemimpin atau calon presiden dibesarkan oleh sistem demokrasi sekuler yang mengabdi pada kapitalis sebagai konsekuensi logis dari mahalnya ongkos demokrasi.
Sebaliknya, sistem demokrasi sekuler tersebut hanya bisa memperdaya rakyat dengan jargon dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Sosok pemimpin lokal dengan tampilan yang santun dan religius bukanlah solusi bagi permasalahan umat.
Derasnya arus politik Jakarta menuju pilpres 2024 dengan menitipkan harapan pada sosok yang diasuh oleh sistem demokrasi sekuler untuk mengangkat akar permasalahan hari ini merupakan sebuah kesalahan fatal. Seharusnya, umat belajar dari sistem pemerintahan Islam yang melahirkan pemimpin yang bukan hanya bertaqwa. Namun, kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia.
Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah menyebutkan bahwa pemimpin Islam atau Khalifah adalah pengemban seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak dan pandangan syariat dalam berbagai kemaslahatan dunia dan akhirat.
Jadi, seorang khalifah tidak dituntun oleh ego, nafsu, apalagi dikendalikan oleh kelompok tertentu yang telah berjasa menopang proses pemilihan seorang pemimpin. Namun, Khalifah merupakan kepemimpinan umum bagi kaum Muslim seluruhnya di dunia untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia, wallahualam bishawab.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar