Menciptakan Maqashid Al-Syari’ Sesuai Tuntunan Rasulullah Saw




Pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada saat acara silaturrahim virtual dengan tokoh agama dan Pimpinan Forkompimda se Jawa Timur, Selasa (31/8) laik untuk dicermati. Mahfud MD mengingatkan, ketika menyampaikan risalah Islam dan memimpin umat Islam, Nabi Muhammad juga mendirikan negara Madinah. 

“Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi bersifat inklusif dan kosmopolit. Yakni mempersatukan warga yang berbeda suku, ras, dan agama secara berkeadaban (madani) dengan toleransi, perlindungan hak manusia sesuai maqhasid al syari’ yakni melindungi HAM dan membangun kesejahteraan umum dengan penegakan hukum dan keadilan,” papar Mahfud. 

Mahfud MD juga menyatakan, prinsip mendirikan negara itu adalah mewujudkan maqashid al syari’ sedangkan sistem dan bentuk negaranya boleh apa saja seperti demokrasi, monarki, presidensil, parlementer, kerajaan, republik, imarah, mamlakah, dan sebagainya. Yang penting prinsip maqashid al syar’I dipelihara, Islam tidak mementingkan bentuk atau sistem tertentu tetapi mementingkan subtansinya (RM.id, 1/9/2021).

Pendapat yang diberikan oleh Mahfud MD tersebut tentu tidak lepas dari paradigma yang ia miliki tentang Islam secara parsial. Bagaimana ia bisa menafikan bentuk atau sistem yang dipakai oleh Rasulullah Saw ketika mendirikan sebuah negara di Madinah. Apakah ia tidak memahami bahwa apapun yang nabi lakukan pastinya akan menjadi rujukan bagi umatnya? Semua perkataan, perbuatan, bahkan diamnya Rasulullah Saw adalah sebuah wahyu atau tuntunan dari Allah Swt. Jika untuk hal-hal yang terlihat sepele saja kita berupaya untuk menirunya dengan sempurna, kenapa untuk hal-hal yang besar dan terkait dengan hajat hidup orang banyak kita justru meninggalkannya?

Bagaimana mungkin bisa mewujudkan maqashid al syari’ jika hukum yang dipakai justru bertentangan dengan substansi Islam itu sendiri. Adakah sebuah negara yang betul-betul bisa mewujudkan semua itu dengan bentuk negara yang bukan seperti Rasulullah Saw contohkan? Jikapun ada tentunya adalah sebuah keberhasilan yang semu, keberhasilan yang justru menghilangkan esensi nilai dari janji Allah yang akan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh umat manusia di dunia ini. 

Menjadi sebuah kepastian bagi seseorang yang telah bersyahadat, ia menjadi seorang muslim. Yang artinya bahwa ia telah menerima Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai jalan hidupnya. Hal ini disebutkan bahwa prinsip tauhid memberi konsekuensi logis bagi manusia untuk tidak boleh menuhankan sesama manusia atau mahluk lainnya. 

Konsekuensi prinsip tauhid ini mengharuskan setiap manusia untuk menetapkan hukum sesuai ketentuan dari Allah (Alquran dan Sunah). Allah adalah pembuat hukum (Syari’), sehingga siapapun yang yang tidak menetapkan hukum sesuai dengan ketetapan Allah, maka seseorang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang mengingkari kebenaran, serta zalim karena membuat hukum mengikuti hawa nafsu dan kehendak pribadi. Hal ini sesuai dengan Firman-Nya dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 44-47, 
yang artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir. Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim. Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasiq.”  

Alquran dan Sunah sebagai sumber hukum harus diyakini secara mutlak dan utuh sebagai seorang muslim, tidak boleh ada keraguan sedikitpun mengenai hal ini. Allah Swt berfirman didalam Alquran surat An-Nisa ayat 59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” 
Nabi Muhammad Saw. pun bersabda, “Kalian wajib mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin sesudahku (HR. Abu Daud & Attirmidzi).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abu Hamid al-Gazzali dalam suatu karyanya yang berjudul, al iqtisad fi al I’tiqad, menegaskan bahwa antara kekuasaan politik dan agama mempunyai saling ketergantungan yang sangat erat. Sehubungan dengan persoalan ini, Al Gazzali menulis sebagai berikut: “Agama merupakan dasar dan sultan adalah penjaganya. Sesungguhnya kekuasaan (sultan) itu hukumnya merupakan keniscayaan bagi ketertiban agama, serta ketertiban agama merupakan keniscayaan bagi keberhasilan di akhirat. Hal itu merupakan tujuan yang sebenarnya dari para nabi. Oleh sebab itu, keharusan adanya imam merupakan salah satu bentuk keniscayaan agama yang tidak bisa diabaikan.” 

Pentingnya agama dalam sebuah negara ditunjukkan oleh al-Gazzali. Ia mengungkapkan, ad din asas wa as sultan haris (agama sebagai dasar dan sultan atau negara sebagai pelindung). Dengan demikian, antara ad-din dan al-asas ada keterkaitan yang sangat erat, dimana satu sama lain tidak bisa berdiri sendiri. Agama diperlukan untuk dijadikan pedoman dalam rangka menciptakan masyarakat yang tertib dan berkeadilan. Dengan mengamalkan tuntunan dan ajaran yang terdapat dalam agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan tercipta kehidupan yang aman, sejahtera, penuh keadilan dan kemakmuran yang bisa dirasakan semua umat manusia. Sehingga tercapailah apa yang dicita-citakan oleh para nabi (maqsud al-anbiya).

Dengan kata lain, ibarat sebuah mata uang yang mempunyai dua sisi yang bersatu, tidak terpisahkan. Jika yang satu dihilangkan akan terlihat aneh dan janggal. Maka demikian juga halnya dengan Islam yang tidak bisa dilepaskan dari negara dengan bentuknya yang khas, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para khulafaurrasyidin setelahnya. Tidak cocok rasanya jika Islam diterapkan bukan dengan bentuk negara tersebut, karena Islam harus diterapkan secara sempurna dan menyeluruh, tidak cukup hanya mengambil substansinya saja. Banyak sekali hukum-hukum Islam yang harus dijalankan sesuai dengan Alquran dan Assunnah, misalnya hukum rajam bagi para pezina, hukum potong tangan bagi para pencuri yang telah mencapai batas maksimalnya, dan masih banyak lagi hukum lainnya yang tidak akan pernah bisa diambil nilainya saja. Tidak akan pernah tercipta maqashid al syari’ yang dicita-citakan jika penerapan Islam hanya sebatas nilai-nilai saja. 

Allah Swt sebagai pencipta manusia dan yang menurunkan hukum Islam (yang menetapkan syari’at). Tentu tidak menciptakan aturan dan hukum begitu saja tanpa ada maksud dan tujuannya. Ibnu Qayyim Al-Jauziah, sebagaimana yang dikutip oleh Khairul Umam menyatakan bahwa tujuan syari’at adalah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syari’at semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Dan hanya syari’at yang diterapkan secara kaffah, sesuai dengan apa yang Rasulullah Saw contohkan yang akan bisa mewujudkan terciptanya maqashid al syari’.

Wallahu a’lam bishshowab.


Oleh Anjar Ummu Nouman. 


Posting Komentar

0 Komentar