Viralnya sebuah video yang merekam aksi anak-anak SD menyeberangi sungai yang arusnya cukup deras dengan cara mengayuh busa atau styrofoam telah memantik respon netizen. Video berdurasi 02.03 menit ini menggambarkan beberapa anak berseragam sekolah mengenakan tas menggunakan busa atau styrofoam untuk menyeberangi sungai menuju sebuah sekolah yang terletak di seberang sungai. Peristiwa ini terjadi di Desa Kuala Sungai Dua Belas, Kecamatan Tulung Selapan, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Meski pihak sekolah dan aparat di sana sudah menyampaikan klarifikasi, fenomena ini menarik untuk dikaji lebih jauh sehingga penyikapan yang muncul menjadi lebih bijak. Ada beberapa hal dari fenomena ini yang harus dipahami dengan tepat sesuai sudut pandang seorang muslim.
Pertama, harus dipahami bahwa dunia anak-anak memang dunia bermain. Keterangan pihak sekolah yang mengatakan bahwa mereka bukan dalam rangka berangkat sekolah, tapi sepulang sekolah mereka tidak langsung pulang dan bermain di sungai terlebih dulu. Apalagi mereka adalah anak-anak yang tinggal di sekitar sungai. Kehidupan mereka terikat dengan sungai. Maka bermain, berenang dan mengarungi sungai adalah kehidupan keseharian mereka. Bukan sesuatu yang aneh dan perlu dibesar-besarkan.
Bisa jadi memang sudah ada sampan, perahu, atau speedboat dan biasanya mereka menggunakannya. Namun bisa jadi juga mereka ingin mencoba sensasi baru, ke sekolah tanpa perahu tapi mengunakan styrofoam yang biasa digunakan sebagai tempat ikan. Namanya juga anak laki-laki yang memang suka dengan tantangan dan juga dunianya adalah dunia bermain. Jadi sejauh ini, hal tersebut adalah sesuatu yang biasa.
Kedua, semangat anak-anak dalam bersekolah tidak boleh dipadamkan. Sebab sekolah adalah salah satu tempat untuk menempa kualitas mereka dan membentuk pribadinya kelak. Kegembiraan mereka bersekolah harus terus ditumbuhkan apapun kondisinya, sesulit apapun. Sebab mencari ilmu adalah sebuah kewajiban. Dan anak-anak tidak boleh merasa bersekolah adalah sebuah beban berat.
Jika merujuk pada kehidupan para salafussholeh, kegemaran mereka mencari ilmu membuat mereka rela melakukan perjalanan yang cukup jauh. Rihlah mereka dilakukan dengan melakukan perjalanan ribuan kilometer sekadar untuk mendapatkan penjelasan mengenai satu ayat atau satu hadits saja. Mereka rela menghadapi kerasnya kehidupan, sedikitnya bekal, beratnya rintangan dan hambatan. Yang jelas semangat tetap membaja. Jadi dalam konteks ini semangat mereka harus terus didukung, diapresiasi dan jika perlu difasilitasi agar tidak membahayakan nyawa mereka.
Ketiga, tiadanya akses jalan atau jembatan yang menghubungkan kedua desa memang sebuah persoalan. Jika memang benar tidak ada akses sama sekali, jelas ini merupakan tugas pemerintah untuk mengadakannya. Karena bagaimanapun pendidikan adalah kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi pemerintah.
Namun jika sebenarnya akses sudah ada, tapi jaraknya sangat jauh, sementara melintasi sungai adalah jalan tempuh terdekat untuk sampai ke sekolah, maka seharusnya ini juga menjadi perhatian pemerintah. Jika memang dianggap perlu bisa dibuat jembatan penyebarangan.
Apabila sarana transportasi yang memungkinkan memang hanya transportasi sungai seperti sampan, perahu atau speedboat, maka transportasi laut ini harus baik kualitasnya dan mencukupi secara kuantitas. Sehingga bisa memudahkan anak-anak menyeberang menuju sekolah.
Bisa juga pemerintah daerah mempertimbangkan membangun sekolah baru di desa ini, sehingga anak-anak bisa bersekolah tanpa harus menimba ilmu di desa seberang. Artinya pemerintah memang harus benar-benar memastikan kondisi real yang terjadi di daerah. Sebab itu adalah tugas pemerintah.
Jangan sampai terjadi kesenjangan yang besar antara pusat dan daerah. Apalagi sebelumnya diberitakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah menganggarkan lebih dari Rp 5 miliar untuk merenovasi ruang kerja Mendikbud, Nadiem Makarim. Tak hanya itu pembangunan infrastruktur di daerah pusat yang begitu pesat terkesan dibuat bukan untuk melayani kebutuhan rakyat tapi lebih condong untuk melayani kepentingan para pemilik modal.
Dan itu semua adalah kondisi yang sangat mungkin terjadi ketika sistem pembangunan yang digunakan adalah sistem pembangunan ala Kapitalis. Karenanya sangat penting untuk menengok pada sistem lain yang bisa memberikan solusi akan hal ini. Dan sistem itu tak lain adalah sistem Islam. Wallahu a’lam.
Kamilia Mustadjab
0 Komentar