Islam dan politik ibarat dua sisi mata uang. Apabila salah satunya hilang, maka hilanglah fungsi uang. Begitu pula dengan Islam dan politik, keduanya tak bisa dipisahkan. Hal ini pun tampak pada pergerakan politik Islam yang kian menguat. Menguatnya politik Islam itu berbanding lurus dengan semakin besarnya suara partai-partai Islam dalam politik elektoral di antara partai-partai sekuler yang ada.
Tingginya politik Islam sehingga menjadi semacam oposisi di era pemerintahan Jokowi disebabkan karena tidak akomodatifnya kepemimpinan beliau terhadap kelompok-kelompok Islam yang dalam pemerintahan sebelumnya tampak diterima begitu terbuka. Sehingga, statement rezim anti Islam seringkali berkumandang. Hal ini bukan sekadar klaim, karena bukan sekali dua kali kejadian yang menyudutkan Islam. Termasuk dengan kebijakan-kebijakan anti Islam yang dilahirkan oleh rezim.
Pada akhirnya pun hal tersebut menyumbat aspirasi dan akses politik kekuasaan.
Di sisi lain, gelombang ajakan untuk menimbang kembali tawaran untuk formalisasi syariat Islam melalui sistem bernegara khilafah pun kian akrab di telinga. Belakangan, selain kebijakan-kebijakan rezim yang anti Islam, kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat seperti pengurangan subsidi menjadikan semakin mahalnya harga komoditas dan angka pengangguran yang mengalami peningkatan, omnibus law yang menguntungkan para kapitalis, dan deretan kebijakan tidak pro rakyat membuat rakyat akhirnya melirik pada tawaran revolusi sistem.
Kondisi ini sangat dipahami oleh pemerintah. Sehingga tentu saja pemerintah perlu mengambil sikap demi eksistensinya, dengan membendung bola salju pergerakan ke arah revolusi sistem dengan sistem Islam tersebut. Melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), seperti yang disampaikan oleh Mahfud MD pada umat Islam agar memiliki sikap inklusif. Hal ini disampaikan saat acara silaturrahim virtual dengan tokoh agama dan Pimpinan Forkompimda se Jawa Timur, Selasa (31/8) malam.
Ia memaparkan, bagi umat Islam, mempunyai negara adalah sunnatullah karena negara diperlukan untuk menjaga maqashid al syar'i (tujuan syari'ah). Maqashid al syar'i itu ada lima, yakni menjaga agama (dien) menjaga jiwa (nafs), menjaga akal (aql) menjaga keturunan (nasab), dan menjaga harta (mal).
Mahfud MD mengingatkan, ketika menyampaikan risalah Islam dan memimpin umat Islam, Nabi Muhammad juga mendirikan negara Madinah. "Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi bersifat inklusif dan kosmopolit. Yakni mempersatukan warga yang berbeda suku, ras, dan agama secara berkeadaban (madani) dengan toleransi, perlindungan hak manusia sesuai maqashid al syar'i yakni melindungi HAM dan membangun kesejahteraan umum dengan penegakan hukum dan keadilan," papar Mahfud.
Mahfud MD menyatakan, prinsip mendirikan negara itu adalah mewujudkan maqashid al syar'i sedangkan sistem dan bentuk negaranya boleh apa saja seperti demokrasi, monarki, presidensiil, parlementer, kerajaan, republik, imarah, mamlakah, dan sebagainya. Benarkah demikian Mari kita telaah, apakah sistem pemerintahan demokrasi yang diterapkan saat ini dapat menjaga maqashid al syar'i (tujuan syari'ah) tersebut.
Apa yang terjadi saat ini ialah, wilayah negara ini telah dikuasai baik dari sisi sektor perekonomian maupun pandangan politik, pemikiran serta moral dan budaya asing. Sumber harta-harta umat Islam yang tidak bisa dinikmati karena dikuasai oleh asing. Agama dan akidah yang tergadai oleh sekularisme yang memisahkan asuhan agama dengan kehidupan. Penjagaan terhadap keturunan atau nasab yang dihancurkan oleh budaya perzinaan yang semakin bersemi seiring mengentalnya sekularisme di tengah-tengah masyarakat ini. Penjagaan akal yang juga lemah akibat kepentingan hawa nafsu yang lebih dikedepankan dibandingkan akal sehat.
HAM yang lahir dari demokrasi justru hanya teori belaka, yang pada penerapannya justru bertolak belakang. HAM seakan indah, namun dalam implementasinya, ide kebebasan HAM banyak kontradiksinya. Individu, masyarakat, dan negara yang mengatasnamakan kebebasan HAM justru menimbulkan banyak kerusakan dan konflik sosial. Semakin HAM diterapkan oleh semua pihak, semakin menimbulkan banyak virus yang menghancurkan kehidupan manusia. Beberapa kontradiksi yang muncul pada kebebasan dalam HAM yang dikutip dari Dariyanto (Barisan Advokasi Rakyat) dalam Media Umat, antara lain:
Pertama, HAM mendorong manusia untuk serakah dan membunuh manusia lain secara sistematis. Dengan adanya kebebasan ekonomi dalam konteks kebebasan kepemilikan yang dilandasi rasa ingin memiliki kekayaan sebesar-besarnya. Manusia akan berpikir bagaimana mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Prinsipnya cukup sederhana, mengumpulkan kekayaan merupakan hak asasi manusia, maka orang akan berpikir seribu satu cara untuk meraup untung sebesar-besarnya, walaupun cara yang dia tempuh merugikan banyak orang.
Kedua, Dengan menggunakan HAM, korporasi multinasional tersebut melancarkan isu berkeinginan membantu beberapa negara berkembang. Membantu dalam menyelesaikan problem pengelolaan sumber daya alam yang selama ini belum optimal. Tetapi kenyataannya, hal ini hanya merupakan kedok semata untuk bisa merampok kekayaan alam yang ada pada sebuah negara.
Korporasi multinasional ini akhirnya merampok kekayaan SDA di wilayah negara-negara berkembang. Adanya eksploitasi SDA yang rakus, membawa dampak pada pemiskinan dan penderitaan global rakyat kecil. Ujung-ujungnya kekayaan berkumpul hanya pada segelintir orang saja. Contoh yang sangat nyata terjadi di negeri kita, dimana beberapa korporasi asing telah menjarah, menguasai, mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan negeri Indonesia di telantarkan dalam kondisi yang serba kekurangan.
Berkuasanya korporasi di beberapa negara berkembang sering menimbulkan kemiskinan secara kolektif dengan berkumpulnya harta segelintir orang kaya saja. Hasil penelitian oleh Prof Robert Reich, guru besar dari Harvard University yang pernah menjabat menteri perburuhan pemerintahan Presiden Clinton. Dia mengatakan bahwa dalam dunia yang sudah tanpa batas atau the borderless world, memang ada yang menikmati dan menjadi sangat kaya raya.
Ketiga, oleh korporasi multinasional, HAM dijadikan senjata untuk merusak dan mencemari lingkungan. Dengan dalih bahwa mereka punya kebebasan dalam mengelola sebuah usaha/perusahaan tanpa diganggu pihak lain, maka apapun dampaknya merupakan suatu hal yang biasa dalam berusaha/bisnis.
Oleh karena itu perlindungan HAM dan membangun kesejahteraan umum dengan penegakan hukum dan keadilan tak akan pernah terjadi dalam demokrasi. Bahkan tak jarang justru pemerintah dalam demokrasi sendiri yang membuat kebijakan-kebijakan yang sangat rawan melanggar HAM. Penegakan hukum yang juga seringkali melahirkan disparitas. Sehingga HAM hanya bisa dibeli oleh uang dan kekuasaan. Lebih parahnya, HAM hanyalah dijadikan senjata untuk mengokohkan oligarki kekuasaan.
Lalu bagaimana wujud toleransi yang dielu-elukan oleh demokrasi? Para penjaja toleransi juga sudah hilang ingatan. Timor Timur lepas dari kesatuan negara muslim mayoritas ini, tersebab sistem demokrasi. Penguasa kala itu mengabaikan syariat Islam yang secara tegas mengharamkan disintegrasi. Seruan lantang umat Islam menolak kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia dianggap angin lalu.
Pernyataan tujuan syariah dapat diterapkan dengan sistem apapun merupakan pernyataan yang buta sejarah. Khilafah Islamiyyah yang mereka fitnah sebagai pemecah belah persatuan justru menjadi satu-satunya sistem pemerintahan yang berhasil menyatukan setidaknya tak kurang dari 2/3 wilayah dunia selama berabad-abad. Bahkan sejak awal Rasulullah Saw menetapkan kewajiban negara Islam menjaga hak beragama nonmuslim.
“Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, “Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya.” (HR Abu ‘Ubaid)
Rasulullah Saw ketika menegakkan negara di Madinah, tak pernah menerapkan sistem apapun selain sistem Islam secara kaffah. Penerapan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah yakni penerapan seluruh fikrah Islam maupun thariqahnya. Syariat Islam tak akan dapat diterapkan secara kaffah selain dengan thariqah penegakan khilafah/daulah Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, yang memurnikan ajaran Islam tanpa tercampur dengan fikrah dan thariqah asing.
Salah satu goal setting penerapan syariat Islam melalui penegakan khilafah, sistem pemerintahan Islam yang menyatukan fikrah dan thariqah Islam inilah yang justru akan mewujudkan maqasid syar’i) dan penjagaan terhadap negara (muhafadzah ala ad-daulah). Wilayah negara Islam haram dikuasai oleh pihak kufur dengan cara apapun. Pencegahan upaya merongrong kekuasaan (makar maupun kudeta), memecah-belah kesatuan umat dan warga negara, pelanggaran HAM, ketimpangan dan ketidak-adilan penegakan hukum, diberi solusi oleh syariat Islam dengan satu jalan. Yakni kesatuan kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia. []
Wallahu a'lam biashshawab
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar