Ngaji, Makin Taat atau Jadi Sesat?

 


Saat ini, animo umat Islam untuk hijrah makin besar. Semakin hari semakin memperlihatkan geliat hidup berislam kaffah. Hijrah pun menjadi trendsetter di kalangan kaum milenial hingga gen Z. Bahkan banyak dari kalangan publik figur yang memutuskan berhijrah. Seiring dengan kuatnya keinginan untuk hijrah, kebutuhan ngaji pun kian hari kian diminati. Majelis-majelis ilmu pun banyak digelar. Meski saat ini terhalang pandemi, tetap tak menyurutkan keinginan untuk ngaji secara virtual. Karena ngaji sudah bukan lagi keinginan, tapi juga kebutuhan.

Namun di balik maraknya minat ngaji, masih banyak yang takut dan enggan ngaji. Banyak sih alasan yang dijadikan sebagai senjata andalan, seperti takut dianggap radikal, takut dianggap ikut aliran sesat hingga yang paling sering muncul alasan takut diajak nge-bom. Ditambah ketika orang tua pun tidak membolehkan anaknya ngaji, semakin lengkap sudah alasan untuk tidak perlu ngaji. Sebetulnya, apa sih yang membuat pemuda hari ini takut dan enggan ngaji, apa pula yang mendorong orang tua tidak membolehkan anaknya ngaji?

Alasan-alasan pemuda hari ini menjadi takut dan enggan ngaji adalah hasil dari opini yang terus dihembuskan Barat terhadap Islam dan kaum Muslim di seluruh dunia. Khususnya di Indonesia, ketakutan dan kecemasan pada ajaran Islam dimulai sejak peristiwa bom Bali pada 2002 disusul dengan peristiwa bom di Hotel JW Marriott 2003. Sejak saat itu, diperlihatkan aksi penangkapan para tersangka yang semuanya itu berpenampilan Muslim dengan jenggot lebat, bergamis panjang, bahkan memekikkan kalimat takbir.

Narasi yang sama pun sampai hari ini terus dimunculkan. Terbaru tahun ini, diberitakan ada seorang wanita menyerang Mabes Polri Rabu (31/3/2021). Dalam rekaman CCTV (disiarkan Kompas TV) memperlihatkan, ZA menggunakan kerudung biru dan baju gamis hitam beraksi seorang diri dengan menodongkan pistol ke petugas kepolisian. Kejadian demi kejadian dirangkai untuk menyudutkan ajaran Islam, seolah yang melakukan aksi teror hanya pemuda/pemudi Muslim. Pada akhirnya, narasi seperti ini membuat masyarakat Indonesia takut dan curiga terhadap ajaran Islam dan kaum Muslim, khususnya Muslim berpenampilan seperti yang disebutkan dalam narasi di atas.

Hingga hari ini pun tak henti-hentinya opini  terus digulirkan untuk memecah belah kaum Muslim. Mulai dari narasi terorisme, ekstrimisme, radikalisme dan seterusnya. Ini merupakan framing jahat yang dibuat oleh orang-orang yang benci pada Islam, khususnya Barat. Opini yang bermuatan framing jahat ini telah memengaruhi masyarakat agar timbul rasa ketakutan, kecurigaan dan kecemasan. Bagaimana tidak takut, jika setiap hari di berbagai media hanya disuguhkan berita yang bernuansa ‘monsterisasi Islam’.

Apalagi di era ini, mudah bagi siapa saja untuk mengakses berita di sosmed asalkan memiliki smartphone. Maka, tak sedikit orang tua yang cemas melihat anaknya aktif dalam kajian rohis misalnya, yang konon diisukan media sebagi pencetak bibit teroris. Anehnya lagi, ketika ada mahasiswa beserta dosen yang kritis terhadap kebijakan rezim hari ini justru dipersekusi dan dilabeli radikal. Termasuk juga para ustaz dan ulama yang mengajarkan Islam kaffah justru difitnah memecah belah. Sungguh ini merupakan bukti bahwa islamophobia terus digencarkan oleh Barat agar umat Muslim dan peradabannya tidak bangkit.

Hal itu wajar terjadi karena peradaban hari ini masih berpijak pada asas sekuler. Pemisahan kehidupan dunia dengan agama. Pada akhirnya atmosfer yang kita rasakan adalah ajaran Islam tidak tersampaikan secara sempurna. Baik di level negara hingga individu, hanya menyampaikan Islam sebagai agama ritual dan tidak berhak menjadikannya sebagai aturan dalam kehidupan. Belum lagi melihat kondisi masyarakat terjadi kejumudan berpikir, yang menyebabkan mereka menerima begitu saja opini yang digulirkan tanpa tabayun dan mendalaminya terlebih dulu.

Kehidupan sekuler inilah yang mendorong manusia terus disibukkan untuk mempersiapkan ilmu dunia demi tuntutan kerja. Bahkan tidak sedikit yang merasa bangga ketika mampu meraih prestasi dunia, meskipun minim ilmu agama (agama Islam). Sebab, ilmu agama dianggap tidak mampu membawa keuntungan dan manfaat bagi kehidupan yang layak. Padahal, dengan berbekal ilmu agama akan membimbing kehidupan manusia pada jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah SWT. Karena itulah, tujuan hidup tak sebatas mengejar dunia yang fana ini, tapi butuh benteng yang kuat untuk meraih kemuliaan hidup yang kekal abadi di surga nanti.

Satu-satunya benteng agar hidup kita terarah dan lebih baik adalah dengan ngaji. Ngaji itu aktivitas positif dan wajib menurut syariat Islam. Ngaji tidak hanya bermakna sekadar membaca Al-Quran atau terbatas pada perkara ibadah ritual semata, melainkan ngaji secara keseluruhan dari ‘akar hingga buah’. Dari mengkaji akidah Islam hingga syariat Islam untuk mengatur seluruh aspek kehidupan.

Sahabat Rasul SAW,  Jundub bin Abdillah meriwayatkan pada kita dalam HR At-Thabrani, HR al-Baihaqi dan Ibn Majah:  "Dahulu kami ketika remaja bersama Rasulullah SAW, kami belajar Al-Qur’an kemudian setelah kami belajar Al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami. "  Dari hadits tersebut sungguh kita mendapatkan kejelasan bahwa pembelajaran sesuai Islam dimulai dengan tahapan mempelajari keimanan lalu berlanjut pada mengenal dan mempelajari Al-Qur’an.

Tujuan ngaji itu sendiri membentuk kepribadian Islam, pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Menjadikan setiap amal yang kita lakukan senantiasa berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Ngaji akan menjadikan kita paham betul tsaqafah Islam.

Dengan tsaqafah Islam inilah akan membimbing kita untuk memilih, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Dengan begitu kita akan menjadi pemuda Islam yang tumbuh dalam dekapan akidah Islam, semangat dalam menerapkan syariah dan terus berjuang untuk syiar dakwah. Akan tetapi, hal itu dibutuhkan amunisi berupa niat yang ikhlas, guru yang mengajarkan Islam kaffah dan komunitas seperti jamaah dakwah Rasulullah. Dengan demikian, aktivitas ngaji akan menjadi lebih terarah dan kita semakin istiqamah.[]


Oleh: Retnaning Putri, S.S.,

Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar