Respon pemerintah terhadap Covid-19 adalah variabel yang sangat menentukan kondisi pandemi. Hal tersebut dikarenakan Covid-19 bukan hanya sekadar permasalahan kesehatan tapi juga permasalahan kebijakan. Salah satu yang menjadi sorotan tentu saja Amerika Serikat (AS) sebagai negara pertama yang memegang kepemimpinan dunia saat ini. Saat kemunculan pertama kali virus Covid-19, AS yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Donald Trump justru mengambil langkah fatal yang memperburuk keadaan.
Alih-alih mengambil kebijakan preventif, AS di bawah Trump justru cenderung meremehkan dan mengabaikan isu ini. Akibat keterlambatan respons tersebut kasus Covid-19 di AS menjadi tidak terkontrol hingga pada Juni 2020 ketika angka infeksi menyentuh hampir 2.5 juta dan angka kematian mencapai 125.000. Tujuh negara bagian mencatatkan rekor tertinggi yaitu Arizona, Arkansas, California, North Carolina, South Carolina, Tennessee dan Texas (Knowles et al. 2020).
Meski sejak Januari 2021 lalu AS telah berganti presiden, yaitu Joe Biden. Faktanya AS di bawah Biden tidak juga menemukan harapan untuk pulih dari kondisi krisis pandemi ini. Bahkan hingga kini masih menduduki negara dengan infeksi dan angka kematian tertinggi.
Presiden AS tersebut mengeluhkan ini adalah periode terburuk yang pernah dialami AS. Padahal AS di bawah Biden telah melakukan kebijakan vaksinasi dan telah lebih dari 163 juta orang, atau 49 persen dari seluruh penduduk AS sudah divaksinasi penuh. Jika digabung dengan penduduk berusia di atas 12 tahun, angkanya naik menjadi 57 persen. Akan tetapi, menurut Anthony Fauci yang menjadi sebagai kepala penasehat medis Joe Biden, AS terus berjalan pada arah yang salah dalam menangani pandemi.
Senada dengan Anthony, Francis Collins, Direktur National Institutes of Health, pada Minggu (8/8) dikutip dari AFP menyatakan AS telah gagal tangani Covid-19 dan terus tercatat sebagai pemilik kasus harian tertinggi selama 6 bulan terakhir bersamaan dengan lonjakan varian delta di AS.
Barat kini terus dirundung kegagalan, sebagaimana negara-negara di Eropa lainnya yang juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda. Saat ini kebanyakan di Barat tengah mengambil langkah mitigasi untuk menangani pandemi. Langkah ini ialah berfokus pada mengurangi angka kematian ketimbang kasus. Hal tersebut dilakukan dengan kebijakan vaksin besar-besaran di berbagai negara yang diaruskan oleh WHO.
Ini merupakan langkah turunan dari kebijakan barat yang memilih penerapan herd immunity sebagai solusi menangani pandemi. Tapi langkah mitigasi ini menuai berbagai unjuk rasa besar-besaran pada masyarakat Barat itu sendiri. Seperti yang terjadi di Prancis, hampir seperempat juta warga turun ke jalan-jalan di seluruh Prancis pada Sabtu, (7/8). Aksi turun ke jalan ini untuk protes kartu kesehatan virus corona yang diperlukan untuk memasuki kafe atau bepergian dengan kereta antar kota.
Dilansir dari AFP, Presiden Emmanuel Macron mengeluarkan peraturan yang mewajibkan vaksinasi lengkap terhadap Covid-19, tes negatif, atau baru pulih dari virus untuk menikmati kegiatan sehari-hari seperti ke kafe atau bepergian ke luar kota. Namun ternyata para penentangnya yang menggelar aksi ini berpendapat aturan itu melanggar kebebasan sipil di negara di mana kebebasan individu dijunjung tinggi. Hal tersebut bukan hanya dihadiri oleh pengunjuk rasa Prancis, tetapi juga Italia dan Australia yang sama-sama mengecam pemerintah mereka yang memberi sanksi pada mereka yang tidak mau vaksinasi.
Puluhan ribu warga Argentina tidak ketinggalan memenuhi jalan-jalan di Ibu Kota Buenos Aires pada Sabtu, 7 Agustus 2021 untuk memprotes kemiskinan di negara itu dan sedikitnya lapangan pekerjaan di tengah semakin memburuknya krisis ekonomi gara-gara pandemi Covid-19. Unjuk rasa jarang terjadi di Kuba, namun pada Minggu 11 Juli 2021, ribuan warga turun ke jalan. Mereka frustasi atas kinerja pemerintah dalam menangani pandemi, kecepatan vaksinasi Covid-19 pemerintah disebut mengabaikan rakyatnya. Mereka meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah. Mereka menuntut pemerintah memperbaiki kinerja mulai dari penyediaan vaksin corona hingga penghentian pemadaman listrik yang terjadi setiap hari.
Brasil sebagai negara yang mencetak angka kematian tertinggi kedua setelah AS juga mengalami pergolakan. Masyarakat Brasil pada Sabtu, 3 Juli 2021, melakukan unjuk rasa di sejumlah jalan-jalan di Negeri Samba tersebut, menuntut agar Presiden Jair Bolsonaro dimakzulkan. Mereka yang berunjuk rasa juga menuntut agar disediakan lebih banyak vaksin virus corona untuk memerangi pandemi Covid-19. Presiden Bolsonaro dituduh melakukan penyimpangan untuk pengadaan vaksin virus corona yang dikembangkan di India.
Di Asia sendiri tidak jauh berbeda kondisinya. Di Thailand unjuk rasa berakhir ricuh hingga penembakan gas air mata oleh aparat. Mereka menuntut reformasi politik dan menyerukan perubahan program vaksinasi virus corona di negara itu. Demonstran menentang pembatasan pertemuan publik yang diberlakukan saat Thailand memerangi virus Covid-19 dan mendesak Perdana Menteri Prayut Chan-O-Cha untuk mundur. Pemerintah Thailand mendapat kecaman karena peluncuran program vaksinasi covid yang lambat.
Malaysia juga mengalami hal yang sama, ratusan warga Malaysia berpakaian hitam menggelar protes anti pemerintah pada Sabtu, 31 Juli 2021 yang menentang larangan pertemuan publik akibat pembatasan virus corona. Protes ini kian menambah tekanan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin yang diminta mengundurkan diri.
Di timur tengah sendiri kondisinya tidak jauh berbeda. Bahkan hari ini di Tunisia tengah menghadapi krisis terhebatnya di tengah pandemi yang tidak terkendali. Dilansir dari Reuters (26/7/2021) Tunisia menghadapi krisis terburuk dalam satu dekade demokrasi setelah Presiden Kais Saied menggulingkan pemerintah dan menangguhkan parlemen dengan bantuan dari tentara pada Senin (26/7). Sebuah langkah yang dikecam sebagai kudeta oleh partai-partai utama di negara itu, termasuk oleh partai Islamis. Tindakan Saied akibat kebuntuan berbulan-bulan dan perselisihan yang membuatnya bertentangan dengan PM Hichem Mechichi dan parlemen yang terfragmentasi, saat Tunisia jatuh ke dalam krisis ekonomi yang diperburuk oleh salah satu wabah COVID-19 terburuk di Afrika.
Ramai-ramai negara kapitalis Barat beserta pengikutnya dirundung kegagalan dan ketidakpercayaan publik serta krisis yang sangat parah terhadap pemerintahan kapitalis baik dalam bentuk demokrasi ataupun federasi maupun negara bentuk kesatuan dan juga kerajaan. Seruan penurunan pemimpin di negara-negara kapitalis merebak serentak hampir di seluruh wilayahnya baik negara adidaya, negara independen, dan tentu saja negara pembebeknya.
Nasib Negara dengan Sistem Politik Komunisme Menghadapi Pandemi
Bukan hanya negara-negara berpedoman kapitalisme saja yang menghadapi kegagalan menangani pandemi, negara-negara berlatar belakang pengaturan kebijakan politik ala komunisme yang sejak awal dikenal dengan penguncian total dan wilayah dalam menangani pandemi pun mulai terseok-seok. Seperti yang terjadi pada rival Amerika, yaitu Cina yang sempat memegang rekor nol kasus baru infeksi covid-19 kini kembali menghadapi lonjakan kasus.
Varian delta yang cepat menular ini kini telah memasuki Cina melalui penumpang penerbangan dari Rusia dan mulai merebak di kota-kota besar Cina seperti Beijing, Shanghai dan Wuhan. Menurut data dari WHO (8/8/2021) terdapat 141 kasus baru infeksi virus corona di Cina.
Cina telah mengambil pendekatan tanpa toleransi terhadap kasus Covid-19 dengan melakukan pelacakan cepat dan menguji sebagian besar populasinya untuk mencegah penyebarannya. Jutaan orang di Cina telah dites, beberapa di antara mereka lebih dari dua kali. Kota-kota menerapkan karantina wilayah atau lockdown, sementara jaringan transportasi di sejumlah area tak beroperasi.
Langkah-langkah itu adalah apa yang disebut oleh para pakar sebagai strategi nol toleransi, yang diberlakukan tidak hanya di Cina tapi juga di tempat lain seperti Australia, Selandia Baru dan Singapura. Tapi kecepatan penyebaran varian delta yang mencengangkan ternyata tidak dapat dihindari Cina maupun negara serupa yang telah menerapkan strategi tersebut. Justru menimbulkan pertanyaan apakah pendekatan tersebut benar-benar akan berkelanjutan di Cina dalam menghadapi varian corona yang lebih mudah menular ini?
Dengan angka kematian yang relatif sedikit sejak wabah yang terjadi Wuhan dan ekonomi yang pulih, beberapa orang di Cina mungkin tidak merasa perlu untuk berubah. Tetapi strategi zero Covid jangka panjang juga memiliki risiko. Lockdown massal membawa dampak yang parah pada orang yang lebih miskin dan juga berdampak pada kesehatan mental warga dalam jangka panjang, kata Nancy Jecker, seorang profesor bioetika di Fakultas Kedokteran Universitas Washington, AS.
Selain Cina, ada juga Korea Utara yang terasing dari dunia yang sepi dari pemberitaan dari pandemi ini. Korea Utara salah satu negara pertama di dunia yang secara efektif menutup perbatasannya dengan dunia luar pada Januari 2020 saat pandemi Covid-19 mulai menyebar ke seluruh dunia. Dalam laporan kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO), Korea Utara mengklaim tidak ada kasus Covid-19 dari 43.052 orang yang telah di tes sejauh ini. Meskipun para ahli meragukan hal tersebut karena keterbatasan informasi yang bisa didapat dari Korea Utara.
Karena faktanya sekalipun tertutup dengan data paparan virus, kebijakan Korea Utara sejak awal pandemi yang dinilai paranoid telah menyusahkan diri sendiri. PBB mengatakan Korea Utara menderita efek negatif yang serius dari pandemi ini, ditambah pula dampak ekonomi dari kebijakan isolasi diri negara itu. Pelapor khusus hak asasi manusia di Korea Utara, Tomas Ojea Quintana, dalam sebuah laporan untuk Dewan HAM PBB di Jenewa, menguraikan peningkatan jumlah anak-anak dan orang tua yang mengemis, kematian akibat kelaparan dan eksekusi.
Pemblokiran sementara yang dilakukan Korea Utara menyebabkan penderitaan ekonomi. Aktivitas perdagangan Korea Utara dengan Cina telah berkurang hingga 95% yang nyaris mengarah pada laporan kelangkaan bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya bahkan obat-obatan, tidak hanya di daerah-daerah miskin tetapi juga di Ibu Kota Pyongyang.
Kegagalan yang membayang-bayangi Cina dan Korea Utara meskipun dengan penanganan pandemi yang sedikit berbeda dalam pengambilan kebijakan politik ala komunisnya ternyata terprediksi gagal juga. Pasalnya, negara berpedoman komunisme ini masih sangat bergantung/menggunakan sistem ekonomi kapitalis yang tentu juga akan ikut terseret dalam kegagalan menghadapi pemulihan kondisi pandemi ini.
Saatnya Islam Mengambil Alih Kepemimpinan Dunia
Ideologi kapitalisme liberal dengan fokusnya pada kebebasan individu telah menjadi keuntungan bagi segelintir orang tapi kesengsaraan untuk yang lainnya. Kapitalisme dan demokrasi telah gagal total berkali-kali. Sistem yang pendukungnya berpendapat bahwa mereka bekerja untuk banyak orang, pada kenyataannya hanya bekerja untuk orang kaya yang segelintir saja.
Ide-ide politik dari liberalisme disesuaikan untuk orang kaya dan sangat membenci orang miskin. Konteks politik hari ini di seluruh dunia adalah apatisme dan keputusasaan, terlepas dari jenis rezim yang dijalani; apakah demokrasi, kediktatoran, atau penguasa yang didukung/dipilih.
Kita melihat keinginan untuk berubah sangat banyak di hati semua orang tanpa memandang ras atau agama. Meskipun kapitalisme menyebarkan hegemoninya ke seluruh dunia, nyatanya frustasi masyarakat dunia tumbuh lebih cepat daripada hegemoninya. Bahkan sebelum Covid-19, keinginan untuk berubah sudah sangat banyak kita saksikan. Ditambah kondisi saat ini semakin menampakkan keinginan untuk berubah dari masyarakat dunia yang mulai jengah dan berunjuk rasa di berbagai negara.
Keinginan untuk perubahan hanya akan meningkat ketika situasi ekonomi semakin memburuk secara global dan biaya hidup menjadi semakin tidak terjangkau. Dalam suasana perubahan ini, tugas kita sebagai umat Islam memanfaatkan peluang ini dan menawarkan visi alternatif kepada bangsa-bangsa di dunia.
Allah ta’ala adalah Pencipta Bumi dan ekosistemnya yang saling berhubungan. Allah ta’ala memberikan Islam kepada manusia yang berisi solusi politik, ekonomi, lingkungan dan segalanya termasuk penyelesaian konkrit terhadap segala krisis dan kondisi pandemi hari ini. Menjadi tanggung jawab kita sebagai Muslim untuk berikhtiar menuju pendirian kepemimpinan Islam di muka bumi bersama sebagai titik tolak penegakkan kembali Khilafah Rasyidah kedua[].
Oleh: Syifa Nailah Muazarah, Aktif di Lembaga Mahasiswi Bicara
0 Komentar