Kita sering menyaksikan banyak orang yang terkesima ketika melihat seseorang yang bergelimang harta benda terlebih lagi jika jabatan tinggi ataupun memiliki kepintaran yang luar biasa. Saat itu mungkin kita akan membandingkan dengan kondisi kita saat ini. Apa yang terjadi tentu rasa syukur itu mulai mengikis, seolah Allah tidak adil dengan diri kita. Hal ini jika tidak dibarengi dengan peningkatan iman dan bekal ilmu keagamaan yang kuat akan membuat seseorang menjadi orang yang durhaka dan tidak pandai bersyukur.
Ketika kita memahami kehidupan ini adalah sementara maka hal yang dilakukan adalah mengejar pahala dan menjauhi perbuatan yang menghantarkan ke dalam neraka. Rasa kurang bersyukur merupakan bibit-bibit kemungkaran yang tidak disadari oleh kita pada umumnya. Maka belajar qanaah, zuhud serta sabar kunci keberhasilan melawan arus hedonisme hidup.
Allah memang menciptakan kita tiada lain adalah untuk beribadah. Allah menciptakan segala potensi yang dimiliki untuk disyukuri bukan diingkari. Tentu saat kita diciptakan oleh Allah memiliki sebuah tujuan hidup yaitu menggapai rida Allah Swt. Untuk menggapai rida Allah diperlukan bekal baik melalui wasilah ilmu,harta atau yang lainnya. Namun ketika pun kita tidak memiliki kesemuanya janganlah kufur karena sesungguhnya potensi untuk mengumpulkan bekal untuk akhirat sesungguhnya sudah Allah berikan tinggal kita menggali dan mensyukurinya.
Bekal menuju akhirat itu tiada lain adalah amal saleh bukan yang lain.Amal saleh ini bisa dikejar oleh siapapun.Amal saleh tidak memerlukan biaya banyak dan semua kalangan bisa melakukannya. Semua bisa berlomba mengejar amal saleh ini hanya tinggal menanamkan kuat dengan ilmu dan keimanan. Sedangkan perlombaan mengejar dunia hanya akan mendapatkan kelelahan,sifat rakus dan putus asa pada akhirnya. Fatalnya adalah hilangnya rasa syukur kepada Allah Swt. Nauzubillah.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang pundaknya, lalu berkata,
كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Hiduplah kalian di dunia seakan-akan seperti orang asing, atau seperti seorang pengembara.”
Ibnu ‘Umar lantas berkata,
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika engkau berada di petang hari, janganlah tunggu sampai datang pagi. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah tunggu sampai datang petang. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah pula waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari, no. 6416)
Hadis di atas mengajarkan bahwa dunia ini bukanlah tempat kita menetap dan bukanlah negeri kita sesungguhnya.
Al-Hasan Al-Bashri berkata,
المؤْمِنُ فِي الدُّنْيَا كَالغَرِيْبِ لاَ يَجْزَع مِنْ ذُلِّهَا ، وَلاَ يُنَافِسُ فِي عِزِّهَا ، لَهُ شَأْنٌ ، وَلِلنَّاسِ شَأْنٌ
“Seorang mukmin di dunia seperti orang asing. Tidak pernah gelisah terhadap orang yang mendapatkan dunia, tidak pernah saling berlomba dengan penggila dunia. Penggila dunia memiliki urusan sendiri, orang asing yang ingin kembali ke kampung akhirat punya urusan sendiri.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 379).
Memang saat ini menanamkan sifat qanaah, Zuhud ikhlas serta sabar dalam hidup begitu berat. Mengapa hal ini terjadi? Semua karena sistem atau aturan yang mengatur manusia yang terus menebar racun pola hidup hedonis, materialistis dan sekularis. Mengukur kesuksesan seseorang dari banyaknya harta, tinggi jabatan dan ilmu yang tinggi. Perkara akhlak dan pengamalan ajaran Islam dinomersekiankan. Pada akhirnya sekarang banyak orang yang terus berlomba-lomba dalam mengejar dunia sementara urusan akhirat kian ditinggalkan. Ketika nyawa lepas dari raga penyesalan yang mendalam kian menikam.
Lantas apakah kita akan membiarkan hal itu terjadi dalam hidup ini? Tentu tidak bukan bagi yang mau berpikir.
Maka sudah selayaknya bagi kita menghentikan pengejaran perlombaan dunia dan siaplah mengejar perlombaan akhirat yang akan menentramkan hati dan jiwa.
Wallahu a'lam bishshawab.
0 Komentar