Kisah tragis yang dialami beberapa guru honorer peserta ujian PPPK seolah membuka mata bahwa pemerintah hingga hari ini belum memberikan perhatian penuh pada bidang pendidikan. Bayangkan, perjuangan para peserta ujian PPPK di pedalaman, selain menempuh jarak perjalanan yang cukup jauh, mereka juga harus merogoh kocek sendiri untuk tes swab yang dilakukan sebelum ujian PPPK berlangsung. Diantara mereka banyak yang sudah sepuh dan bahkan menderita stroke.
Namun ternyata, modul yang mereka pelajari berbeda jauh dengan soal-soal yang harus dikerjakan. Apa daya, lamanya pengabdian dan perjuangan mereka tak juga membuat mereka lolos tes. Intinya mereka harus menyiapkan dada yang sangat lapang untuk semua kenyataan pahit ini.
Ini wajah buram pendidikan di negeri sekuler. Kenyataan ini adalah potret dari ketidakpedulian negara terhadap pendidikan generasi bangsa. Tidak adanya perhatian negara pada bidang pendidikan, termasuk di dalamnya tenaga pendidik, menunjukkan bahwa negara tak memiliki visi yang jelas kemana bangsa ini akan menuju.
Sebuah negara yang memiliki visi jauh ke depan tentu akan menetapkan langkah-langkah untuk mencapai visi dan misinya. Dan agar visi dan misinya bisa segera terealisir, edukasi kepada masyakarat akan menjadi poin penting yang akan diperhatikan. Sebab tanpa dukungan masyarakat dan warga negaranya, negara takkan pernah mampu mencapai visinya.
Teladan yang diberikan Rasulullah harusnya mampu menggambarkan hal ini. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam adalah visi besar yang akan diwujudkan. Ini meraupakan sebuah konsep atau gambaran bahwa Islam dengan seluruh aturannya harus mampu menjadi kiblat peradaban. Rasulullah saw memahaminya dan memulai dakwah Islam dengan sebuah proses pendidikan yang luar biasa.
Setelah menerima wahyu, Rasulullah saw mulai membina para sahabat di Darul Arqam. Menggembleng mereka dan mendidiknya sehingga menjadi pribadi yang militan dan sangat kokoh keimanannya. Pada masa itu meskipun belum seperti lembaga pendidikan formal saat ini, namun apa yang dilakukan Rasulullah memiliki andil besar dalam memajukan pendidikan pada masa itu. Hal itu nampak dari kemampuan sahabat nabi yang luar biasa. Misalnya, Umar bin Khattab dikenal sebagai ahli hukum dan pemerintahan; Abu Hurairah sebagai ahli hadis, Salman al-Farisi sebagai ahli perbandingan agama Majusi, Nasrani, dan Islam; dan Ali bin Abi Thalib sebagai ahli hukum dan tafsir Alquran.
Rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam al-Makhzumi merupakan tempat pertama berkumpulnya para sahabat nabi untuk belajar Islam. Rumah tersebut sebagai lembaga pendidikan Islam pertama dengan pendidik pertama dan utamanya adalah beliau sendiri. Perhatian terhadap kualitas pendidikan dan pengajaran membuat output pendidikannya sekaliber para sahabat.
Hingga setelah beliau hijrah ke Madinah, proses pendidikan tak pernah luput dari perhatian beliau. Pasca perang Badar, Rasulullah membebaskan tawanan perang Badar dengan tebusan mengajarkan baca tulis pada sepuluh pemuda Anshar. Bahkan beliau memilih Zaid bin Tsabit, seorang pemuda terbaik dari kalangan Anshar, dan memintanya untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryaniyah. Diperintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari kedua bahasa itu desebabkan Rasulullah harus melakukan koresnpondensi dengan pemimpin negara lain. Dan dengan korespondensi itu Rasulullah menjalankan visinya.
Visi Rasulullah menjadikan Islam sebagai pusat peradaban dan menjadi negara adidaya diwujudkan dengan jalan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bentuk negara di Madinah dan melakukan dakwah dan jihad ke berbagai penjuru dunia. Dan untuk mencapai visinya, beliau mengerahkan seluruh potensi kaum muslimin saat itu. Pembinaan dan pendidikan kaum muslimin menjadi perhatian penuh. Karena tanpa pendidikan, mustahil negara Madinah bisa mencapai visinya.
Salman Al-Farisi, Urwah bin Mas’ud dan Ghailan bin Salamah merupakan tiga tokoh pionir pengembangan senjata manjaniq dan dabbabah dalam peradaban Islam. Ketika Salman menawarkan gagasannya kepada Rasulullah, Rasulullah langsung memberikan kesempatan kepada ilmuwan berbakat ini untuk mengembangkan keahliannya. Tentu jika saat itu Salman belum memperkenalkan senjata pelontar, atau jika Rasulullah tidak mengutus Urwah dan Ghailan ke Syam untuk mempelajari lebih lanjut tentang manjaniq dan dababah maka visi negara Islam takkan bisa teralisasi.
Adanya manjaniq dan dabbabah memungkinkan penggempuran musuh menjadi lebih efektif ketimbang sebelum dibuat dabbabah dan manjaniq. Sekalipun penggunaan manjaniq dan dabbabah tidak begitu efektif ketika hendak menaklukan benteng Thaif, tetapi untuk pertama kalinya peradaban Islam memiliki senjata yang dipakai juga oleh peradaban-peradaban adidaya saat itu seperti Persia dan Romawi. Dalam penggunaan senjata-senjata ini di perang Thaif, Khalid bin Sa’id, Yazid bin Zam’a dan Thufail bin Amr menjadi nama-nama yang pertama kali mengoperasikannya.
Tak hanya di masa Rasulullah, visi negara Islam ini dilanjutkan oleh para sahabat. Muawiyah bin Abi Sufyan ketika di zaman Khalifah Utsman bin Affan telah memimpin armada laut Islam sehingga gerakan dakwah memungkinkan jangkauan lintas benua.
Pada masa dinasti Abbasiyah ini merupakan masa yang terkenal dengan masa perkembangan pendidikan. Pendidikan pada masa ini tidak terlepas dari peran besar seorang khalifah ke lima yaitu khalifah Harun Al-Rasyid.
Beberapa upaya yang dilakukan untuk kemajuan dan perkembangan peradaban Islam adalah gerakan penerjemahan. Memang kegiatan penerjemahan ini sudah dimulai sejak masa Umayyah dan semakin mengalami perkembangan pesat pada masa Abbasiyah. Kegiatan penerjemahan buku-buku ini berjalan kurang lebih satu abad, yaitu kurang lebih mulai tahun 750-850. Cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan ialah ilmu kedokteran, optika, geografi, fisika, matematika, astronomi, dan sejarah filsafat.
Selain itu juga dibangun Bait al-Hikmah yaitu perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pembangunan ilmu pengetahuan. Banyak juga berdiri lembaga pendidikan semacam madrasah. Madrasah Nidzamiyah contohnya yang tidak hanya ada di Baghdad, tetapi juga ada di Persia. Madrasah ini didirikan oleh Nizham al-Mulk, seorang wazir Sultan Saljuk antara tahun 1065-1067 M dan merupakan pusat lembaga pendidikan agama yang terbesar pada masa dinasti Abbasiyah.
Demikianlah Rasulullah saw telah memberi teladan yang sangat luar biasa. Bahwa perhatian negara dalam pendidikan seiring dengan visi yang dimiliki negara tersebut. Visi negara inilah yang menentukan kemana negara akan menuju. Maka jika saat ini pendidikan seolah tak lagi menjadi fokus perhatian pemerintah, bisa dipastikan negara ini tak memiliki visi yang jelas dan layak dipertahankan.
Penghargaan Islam terhadap para guru dan tenaga pendidik pun sangat tinggi. Selain memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu, Islam juga memberikan penghargaan terhadap para guru dan memberi perhatian penuh terhadap keberlangsungan proses belajar mengajar. Diantara keutamaan pendidik adalah hadis yang menyebutkan,
"Sesungguhnya Allah, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bershalawat kepada muallim (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. Tirmidzi).
Mengapa pendidik (guru/ulama) diposisikan dengan begitu mulia? Karena guru adalah seseorang yang dikaruniai ilmu oleh Allah Swt dan dengan ilmunya itu dia menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan, memperoleh serta menuju kebaikan baik di dunia ataupun di akhirat. Posisi ini sangatlah strategis, sebab logikanya jika tidak ada peran guru harus ke mana umat Islam menuntut ilmu.
Pada level selanjutnya kesejahteraan para tenaga pendidik juga akan sangat bergantung pada visi negara. Jika negara bervisi besar, maka tenaga pendidik ini akan mendapatkan porsi perhatian yang besar pula. Termasuk dalam kemudahan akses dan sarana serta prasarana yang digunakan. Karenanya, jika negara ini menginginkan ada peningkatan pada kualitas pendidikan, termasuk tenaga pendidiknya, sebenarnya tidak buruk juga jika mengambil Islam sebagai solusinya. Apalagi Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Tentu saja bukan sekedar meniru dari sisi nama lembaganya saja. Tapi juga mengambil dengan seluruh sistem yang digunakan oleh Rasulullah saat itu yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sesudahnya. Dan itu adalah sistem Islam. Wallahu a’lam.
Oleh Kamilia Mustadjab.
0 Komentar