Realita Gawat Darurat Pendidikan, Negara Tak Boleh Abaikan

 


Setelah viral surat terbuka dari seorang pengawas ruang PPPK, kini muncul lagi sebuah kisah sejenis dengan judul “Sepatu untuk Pak Guru”. Putri Arini seorang penulis lepas yang juga guru mengutip curhatan salah seorang peserta seleksi PPPK ketika mengisahkan hiruk pikuk seleksi PPPK. Ia pun menilai kebijakan Nadiem Makarim adalah sebuah solusi terhadap kesejahteraan guru honorer yang sudah berpuluh tahun terbengkalai dan terlupakan.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Irwan pun mengkritik proses rekrutmen guru honorer menjadi aparatur sipil negara (ASN) pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). “Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung bukan melalui proses seleksi, tapi dilihat masa pengabdiannya para guru itu," kata Irwan dalam keterangannya, Ahad, 19 September 2021.

Irwan mengatakan guru yang telah cukup masa pengabdiannya mestinya tidak perlu mengikuti proses seleksi lagi. Sebab, mereka akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda. Irwan pun mempertanyakan perhatian Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim terhadap dedikasi para guru. Apalagi, ketika tahu ada yang gagal menembus ambang batas seleksi (passing grade).

Mimpi para guru honorer untuk mendapatkan kesejahteraan dengan gaji PPPK 2021, sekaligus 5 tunjangan P3K 2021 sekaligus, yakni tunjangan keluarga, pangan, jabatan struktural, jabatan fungsional, dan lainnya, tampaknya banyak yang kandas. Ditambah guru yang tak lolos PPPK, kabarnya terancam tidak bisa mengajar lagi di sekolah tempat ia mengajar.

Tak hanya potret buram pada krisis kesejahteraan guru, yang menghasilkan adanya gap sosial dan ekonomi di antara guru honorer dan PNS. Juga di antara guru sekolah negeri dan sekolah swasta elite. Serta guru di ibu kota dan guru di daerah-daerah terpencil. Segala program dan kebijakan dalam bidang pendidikan ini, menarik untuk kita bahas. Karena ada persoalan yang mendasar yang patut diperbincangkan, yakni sektor pendidikan sangatlah berperan penting dalam kemajuan dan kedaulatan sebuah negara.

Bicara pendidikan, ialah menyiapkan dan mencetak generasi yang berkualitas. Melahirkan SDM yang handal. Sehingga negeri ini mampu mandiri dan berdikari karena SDM tersebut mempunyai skill dan knowledge yang cukup untuk mengelola seluruh aspek, terutama aspek vital dan krusial yakni SDA milik negeri ini. Maka dari itu, mutu pendidikan kita sangatlah penting untuk diupgrade.

Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan jumlahnya terus meningkat. Anggaran pendidikan yang dibagi ke beberapa kementerian dan pemerintah daerah dalam bentuk transfer daerah pada 2014 sebanyak Rp 367,02 triliun, dan terus meningkat hingga Rp 492,5 triliun pada 2019. Dan meningkat terus hingga saat ini. Akan tetapi, meningkatnya anggaran pendidikan tidak sejalan dengan meningkatkan mutu pendidikan kita.

Di tingkat internasional, pendidikan Indonesia menempati sejumlah posisi buncit. Peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional, Indonesia berada di urutan ke-62 dari 70 negara. PISA mengukur tiga kemampuan, yakni matematika, sains, dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun.

Begitu juga untuk peringkat penilaian matematika dan sains internasional atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS) menempati posisi 40 dari 42 negara. Kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita. Laporan dari badan pendidikan, sains dan budaya Perhimpunan Bangsa-bangsa (PBB) yakni UNESCO menyebutkan hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius. Akibatnya, di tingkat literasi bangsa Indonesia yang menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara menurut kajian World Literacy yang dibuat oleh Central Connecticut State University.

Di pendidikan tinggi, peringkat universitas juga tidak lebih baik dari pendidikan dasar. Data QS World University Ranking menempatkan perguruan tinggi di Tanah Air di urutan 39 dari 50 negara, dan menurut Universitas21, Indonesia di peringkat 50 dari 50 negara.

Data yang terpampang dalam laman Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dari hasil Indonesian National Assessment Programme (INAP) menyebutkan bahwa hanya sedikit anak-anak yang menguasai mata pelajaran dengan baik, yakni matematika 2,29%, membaca 6,06%, dan sains 1,01%. Sementara dalam level penguasaan kurang, matematika 77,13%, membaca 44,83%, dan sains 73,61%. Sisanya berada dalam level cukup.

Selain itu, kompetensi guru pun harus mendapatkan perhatian lebih. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya guru di 10 provinsi yang memiliki nilai di atas rata-rata 56,69. Pertanyaannya, bagaimana mungkin anak-anak kita diajar oleh guru-guru yang kompetensinya di bawah rata-rata. Laporan ACDP Indonesia menyebutkan mendekati 14% guru di Tanah Air bolos mengajar.

Rendahnya mutu pendidikan kita juga sejalan dengan buruknya moral siswa dan guru. Kita sungguh terkejut, melihat beraninya seorang siswa menantang dan mencekik guru ketika ditegur. Kita juga tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang siswa berani mengolok-ngolok gurunya sendiri. Dan kita juga tak bisa mempercayai, bagaimana seorang murid memukul gurunya hingga meninggal dunia. Begitu sebaliknya, banyak berita-berita beredar terkait guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya.

Rendahnya mutu pendidikan ini juga berakibat pada masalah ketenagakerjaan. Contohnya banyak sekolah dengan perjanjian kerja sama (SPK) yang memilih guru dari luar negeri dibandingkan guru lokal karena sulit menemukan yang memenuhi standar sekolah itu. Karena guru-guru di negeri ini tidak disiapkan oleh pemerintah untuk menjadi guru-guru yang berkualitas tinggi, sehingga level guru di negara berkembang dan negara maju tampaklah sangat timpang.

Semua ini merupakan hasil sistem pendidikan nasional. Kita tidak hanya bicara krisis dan problem pada murid dan guru saja. Tapi juga problem terkait tata kelola, kurikulum, sarana, dan prasarana. Dan ini semua tentunya akan berkaitan dengan muara sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini.

Negara semestinya tidak hanya sekadar meluluskan tenaga pendidik, tetapi menghasilkan tenaga pendidik yang kompeten, mensupport untuk tercapainya sertifikasi tenaga pendidik yang berkualitas tinggi, juga dapat berinovasi pada pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0. Selain itu yang lebih penting lagi, tidak hanya persoalan skill dan knowledge. Negara semestinya juga menjamin baiknya akidah dan moral para guru. Karena guru sejatinya tidak hanya melakukan transfer ilmu. Tetapi di tangan guru pulalah bagaimana akidah, moral dan karakter para generasi terbentuk dengan baik.

Membentuk ekosistem cerdas untuk meningkatkan mutu pendidikan merupakan tanggungjawab negara. Namun selama negeri ini masih membebek pada ideologi kapitalisme sekularisme, maka akan sulit untuk mencapainya. Karena motif dari pemimpin dan pengemban negara kapitalis barat ialah menjajah, sehingga tak akan memberikan celah sekecil apapun bagi negara-negara jajahannya untuk melampaui barat dalam seluruh aspek, termasuk aspek pendidikan.

Jika pendidikan masih berkiblat pada sistem demokrasi yang diusung oleh kapitalisme ini, mustahil terwujud kesejahteraan guru serta siswa dan guru  yang berkualitas tinggi. Karena pendidikan berasas sekularisme sejatinya justru menjadi pabrik kerusakan generasi. Kapitalisasi pendidikanlah sumber masalah sistem pendidikan saat ini.

Dari sini, semestinya kita perlu mempertanyakan kembali, apakah masih berharap pada sistem demokrasi yang tak pernah menuntaskan persoalan negeri ini? Termasuk menyelesaikan problem pendidikan. Dapatkah sistem demokrasi menyelesaikan seluruh problematika kehidupan secara komprehensif, tidak sepotong-potong dan melahirkan solusi yang tak lagi hanya tambal sulam? []


Oleh Novita Sari Gunawan


Posting Komentar

0 Komentar