Pembangunan sebuah infrastruktur oleh negara seyogianya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk memudahkan hajat kehidupan masyarakat. Infrastruktur yang disediakan negara, tidak boleh hanya dinikmati oleh kaum tertentu saja demi mendapatkan keuntungan ekonomi, sementara di sisi lain menggusur keberadaan masyarakat kecil bahkan mempersempit ruang nafkahnya.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat didampingi oleh Pj Bupati Kabupaten Bekasi menghentikan sementara kegiatan reklamasi di Desa Pantai Makmur Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Proyek reklamasi yang rencananya diperuntukkan bagi transportasi pelabuhan tersebut dihentikan karena belum tuntasnya masalah perizinan dari Menteri Perhubungan (bekasikab.go.id, 15/9/2021).
Sementara itu, nelayan Desa Pantai Makmur Kecamatan Tarumajaya sendiri menolak kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh Kawasan Industri Marunda Center tersebut. Alasan penolakan nelayan sebagaimana yang disampaikan oleh Sansari, salah seorang perwakilan nelayan adalah terancamnya mata pencaharian mereka dan pencemaran lingkungan (radarbekasi.id, 14/9/2021).
Kegiatan reklamasi pantai acapkali menjadi permasalahan serius dan kerap menimbulkan konflik di tengah masyarakat, khususnya nelayan. Lahan untuk mencari nafkah menjadi terbatas karena tempat tinggal biota laut pun semakin berkurang. Hal inilah yang dikeluhkan oleh nelayan Muara Tawar.
Menurut Samsari, nelayan yang ada di Muara Tawar ada bermacam-macam berdasarkan jenis tangkapannya. Ada nelayan gogoh udang rajungan, serog, jaring dan ada juga nelayan pencari cacing untuk umpan memancing. Jenis biota laut tersebut paling banyak didapatkan di area pinggir pantai. Alhasil, pendapatan nelayan pun berkurang karena habitat spesies tangkapan nelayan telah terurug.
Keresahan nelayan pun kian memuncak karena turunnya pendapatan mereka semenjak proyek reklamasi berjalan. Biasanya nelayan mendapatkan pendapatan Rp 200 ribu sehari, setelah reklamasi menurun tajam menjadi Rp 100 ribu sehari. Kondisi inilah yang menguatkan tekad nelayan untuk melakukan perlawanan jika proyek reklamasi tetap berjalan.
Menurut Undang-Undang (UU) No. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan reklamasi sebagai kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi melalui pengerukan, pengeringan lahan atau drainase. Artinya, reklamasi bertujuan untuk mengubah wilayah daratan rendah yang berair menjadi wilayah untuk kegiatan ekonomi strategis.
Aroma kapitalisme acapkali menguat dalam setiap kegiatan reklamasi di negara ini. Pun diduga hal ini terjadi dalam reklamasi Pantai Muara Tawar Bekasi. Keberpihakan kepada pemilik modal dalam peruntukkan pembangunan pelabuhan sangat kentara. Hal ini bisa dilihat dari keresahan nelayan yang mata pencahariannya terampas dan tidak merasa ikut menikmati akan keberadaan pelabuhan tersebut nantinya. Sebuah ironi yang biasa terjadi dalam lingkaran nafsu keserakahan sistem kapitalisme.
Islam menempatkan pantai, sungai, muara dan laut sebagai harta milik umum (milkiyah ammah) yang siapapun boleh untuk mengambi manfaat darinya. Masyarakat boleh berlayar, mengambil air ataupun hewan-hewan di dalamnya. Islam dengan tegas melarang individu untuk memiliki dan menguasai harta milik umum. Pengelolaan kepemilikan umum mutlak ada di tangan negara dengan Khalifah sebagai pengaturnya. Khalifahlah yang berhak untuk mengelola dan mendistribusikan hasil yang diambil darinya kemudian dikembalikan lagi sepenuhnya untuk kepentingan masyararakat.
Negara juga berhak untuk memproteksi sebagian dari harta milik umum dan menjadikannya sebagi harta milik negara jika diperlukan. Maka boleh saja menjadikan pantai sebagai pelabuhan selama keberadaannya memang sangat dibutuhkan untuk kepentingan dan kemudahan masyarakat.
Khalifah akan mencari solusi terbaik bagi masyarakat sekitar pantai, khususnya nelayan yang terancam kesulitan dalam mata pencahariannya. Khalifah tidak akan membiarkan satupun individu rakyatnya yang terdzolimi karena imbas pembangunan infrastruktur negara.
Inilah perbedaan kepengurusan kehidupan masyarakat dalam negara yang dinaungi oleh sistem Islam dengan kepengurusan ala kapitalisme yang dzalim dan serakah. Sebuah sistem yang berasal dari dzat yang Maha Suci akan menjamin kesejahteraan rakyatnya tanpa basa basi.
Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi
0 Komentar