Viralnya video yang merekam aksi anak sekolah menggunakan styrofoam untuk menyeberangi sungai demi sekolah di desa seberang menunjukkan adanya semangat membara untuk menuntut ilmu. Dengan kondisi seadanya, mereka sangat merindukan hadir di sekolah. Fenomena ini memang sempat membuat sebuah pertanyaan besar, dimanakah peran negara? Sebab akses pendidikan, sarana dan prasarana yang ada sebenarnya adalah kewajiban negara.
Namun ini bukanlah realita yang baru muncul. Jauh sebelum video ini viral, sudah banyak video-video serupa yang menggambarkan minimnya perhatian pemerintah terhadap adanya akses pendidikan beserta pengadaan sarana dan prasarananya. Dan itu semua akibat buruknya sistem pendidikan yang diterapkan.
Sistem pendidikan ala kapitalis yang saat ini diterapkan memang membuat para stakeholder hanya berpikir untuk kepentingan segelintir orang dan melupakan kebutuhan rakyat banyak. Berbeda dengan Islam yang memberikan solusi pada dua pihak. Ada anjuran untuk menuntut ilmu bagi para siswa dan ada pula perintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang dibebankan pada negara. Ketika dua pihak ini sama-sama berjalan maka output pendidikan pun menjadi snagat luar biasa.
Semangat Dalam Rihlah Ilmiyah : Budaya Islam
Dalam Islam, adanya kewajiban menuntut ilmu senantiassa dikaitkan dengan keimanan. Ada banyak nash yang menunjukkan hal ini. Salah satunya adalah firman Allah swt dalam QS. Al Mujadilah:11 yang berbunyi
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Tentang ayat ini, Imam al-Qurthubi menafsirkan bahwa Allah akan memberikan pahala di akhirat dan kemuliaan ketika di dunia dengan cara diangkat derajat orang beriman atas orang yang tidak beriman, dan diangkat derajat orang berilmu atas orang yang tidak berilmu. Ibnu Mas’ud mengatakan, melalui ayat ini Allah memuji kedudukan orang berilmu. Sedangkan derajat orang yang berilmu atas orang beriman yang tidak berilmu adalah derajat agama apabila mereka melakukan amal berdasarkan ilmu. Kesimpulannya, pada ayat ini Allah mengangkat derajat seseorang, pertama karena keimanannya, dan yang kedua karena ilmunya (Tafsir al-Qurthubi).
Karenanya tak heran jika para sahabat memiliki effort yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Sebab daya dorongnya bukan hanya kemuliaan di dunia tapi juga pahala yang besar di sisi Allah kelak di hari akhir. Realitasnya rihlah ilmiyah untuk mencari ilmu menjadi budaya Islam yang sangat agung dan hingga kini belum ada peradaban lain yang sanggup mengalahkannya .
Lihatlah bagaimana Imam asy-Syafi’i memiliki semangat yang sangat kuat dan kokoh dalam belajar. Semangat yang membara itulah yang membuatnya sanggup berlelah letih dalam belajar, hingga ia mencapai derajat yang kita ketahui saat ini.
Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Ketika aku telah menghafalkan Alquran (30 juz), aku masuk ke masjid. Aku mulai duduk di majelisnya para ulama. Mendengarkan hadits atau pembahasan-pembahasan lainnya. Aku pun menghafalkannya juga. Ibuku tidak memiliki sesuatu yang bisa ia berikan padaku untuk membeli kertas (buku untuk mencatat). Jika kulihat bongkahan tulang yang lebar, kupungut lalu kujadikan tempat menulis. Apabila sudah penuh, kuletakkan di tempaian yang kami miliki.” (Ibnu al-Jauzi dalam Shifatu Shafwah, 2/249 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 51/182).
Saat beliau mulai beranjak besar, antara usia 10-13 tahun, beliau butuh kertas untuk menulis apa yang telah dipelajari, tapi tidak ada uang untuk membeli kertas-kertas itu. Ia pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan kertas yang telah terpakai di satu sisi halamannya. Separuh lembar yang kosong itu, beliau gunakan untuk mencatat ilmu (Abu al-Hajjaj al-Mizzi dalam Tadzhib al-Kamal, 24/361).
Ibnu Abi Hatim mendengar cerita dari al-Muzani, bahwasanya Imam asy-Safi’i pernah ditanya, “Bagaimana obsesimu terhadap ilmu?” Imam asy-Syafi’i menjawab, “Ketika aku mendengar suatu kalimat yang belum pernah kudengar, maka seluruh anggota badanku merasakan kenikmatan sebagaimana nikmatnya kedua telinga saat mendengarkannya.” Beliau juga ditanya, “Bagaimana semangatmu dalam mendapatkannya?” Ia menjawab, “Sebagaimana orang yang bersemangat mengumpulkan harta dan pelit membaginya merasakan kenikmatan terhadap harta.” Beliau ditanya pula, “Bagaimana engkau menginginkannya?” “Aku menginginkannya sebagaimana seorang ibu yang kehilangan anaknya, tidak ada yang dia ingin kecuali anaknya,” jawabnya. Subhanallah.
Lain lagi kisah Imam Bukhari. Beliau terkenal sebagai orang yang gigih dalam memburu sebuah hadis. Jika ia mendengar sebuah hadis, maka ia ingin mendapat keterangan tentang hadis itu secara lengkap. Karenanya Imam Bukhari melanglang buana mulai daerah Syam, Mesir, Aljazair, Bashrah, menetap di Makkah dan Madinah selama enam tahun, Kufah, dan Baghdad. Bahkan beliau bolak-balik ke tempat tersebut karena mendapati keterangan baru atau hadis baru. Beliau telah melakukan perjalanan ribuan kilometer sepanjang hidupnya, menghadapi kerasnya kehidupan demi mendapatkan ilmu.
Hasil dari rihlah ilmiyah ini akhirnya membuat sang Imam dapat mengumpulkan sedikitnya 600 ribu hadis. Dari angka tersebut, 300 ribu di antaranya dihafal. Hadis-hadis yang dihafal itu terdiri dari 200 ribu hadis tidak sahih dan 100 ribu hadis sahih.
Tak berhenti sampai disitu, jumlah yang banyak itu tidak lantas dimasukkan semua dalam Sahih Bukhari. Dari 100 ribu hadis yang sahih, ia hanya mencantumkan 7.275 hadis dalam kitab tersebut. Jumlah ini diseleksi dengan metode yang sangat ketat. Karena itu, tak mengherankan jika para ulama menempatkan Sahih Bukhari sebagai kitab pertama dalam urutan kitab-kitab hadis yang muktabar.
Peran Negara
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda
طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِثْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini mampu menjadi daya dorong yang begitu kuat bagi kaum muslimin untuk menuntut ilmu. Kecintaan pada ilmu memang harus ditanamkan sejak kecil. Dan harus terus dipelihra hingga menuju liang lahat. Menuntut ilmu memang bukanlah pekerjaan yang ringan. Sebab butuh semangat yang tinggi, effort yang luar biasa, bekal yang cukup pada diri seorang murid atau siswa.
Namun semangat saja tentu tidak cukup. Sebab harus ada pihak yang menyelenggarakan pendidikan. Sebab jika tidak ada, pendidikan tidak akan berjalan dan takkan mampu mencetak para generasi sebagaimana para sahabat.
Karenanya, Islam membebankan kewajiban menyelenggarakan pendidikan ini pada pundak negara, bukan pada masyarakat apalagi individu. Penyelenggaraan pendidikan ini tak hanya sekadar menyediakan para guru saja tetapi juga sarananya, seperti bangunan sekolah, akses jalan menuju sekolah, perpustakaan, auditorium, observatorium, dan sebagainya.
Di masa Rasulullah, sebelum beliau hijrah pusat pendidikan dilakukan di rumah Arqam bin Arqam. Setelah hijrah, pendidikan dipusatkan di masjid. Dan ini dilanjutkan oleh para khalifah sesudahnya. Realitas itu terekam dalam sejarah.
Wilayah Islam pada masa Umar bin Khattab telah meluas meliputi semenanjung Arab, Palestina, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir. Dengan luasnya wilayah tersebut maka semakin besar juga kebutuhan kehidupan di segala bidang. Sebagai penunjang kebutuhan tersebut manusia membutuhkan keterampilan dan keahlian, maka diperlukan pendidikan.
Perhatian Umar terhadap pendidikan ini dapat diketahui melalui kebijakannya dengan memerintahkan kepada setiap panglima perang bila berhasil menaklukkan suatu wilayah maka harus mendirikan masjid sebagai pusat ibadah dan pendidikan. Umar juga mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk setiap daerah yang ditaklukkan itu, tugas mereka mengajarkan kandungan Al-Qur’an dan ajaran Islam lainnya kepada penduduk yang baru masuk Islam. Di antara sahabat-sahabat yang ditunjuk oleh Umar ke daerah adalah Abdurrahman bin Ma’qal dan Imran bin Hasim. Keduanya ditempatkan di Bashrah. Walhasil kemajuan pendidikan begitu pesat sangat nyata apalagi di dorong oleh keadaan negara yang stabil dan aman.
Perhatian terhadap sarana Pendidikan juga dilanjutkan pasca khulafaur rasyidin. Salah satu yang terkenal adalah perpustakaan Mosul yang didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dan lain-lain. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Ini terjadi masa kekhalifahan abad 10 Masehi.
Demikianlah Islam telah memberikan aturan yang sangat lengkap dan sistematis. Sehingga saat semangat para siswa penuntut ilmu ini berpadu dengan political will penguasa, maka bisa dipastikan kemajuan pendidikan akan berdampak positif pada peradaban manusia. Karenanya tak ada pilihan lain kecuali menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem dalam mengatur kehidupan manusia ini. Wallahu a’lam.
Oleh Kamilia Mustadjab
0 Komentar