Bahagia adalah sebuah rasa yang selalu dicari oleh setiap insan. Karena dengan memilikinya, manusia cenderung hidup tenang dan damai. Namun tidak demikian adanya dengan sebuah desa di pesisir Bekasi Utara. Desa Pantai Bahagia tidak mengidentikkan kebahagiaan warganya. Keadaannya dalam ancaman abrasi, nyaris tenggelam dan sangat memilukan.
Setidaknya itulah yang kerapkali dikeluhkan oleh warga desa yang merupakan tempat terakhir aliran sungai Citarum. Sonhaji, salah seorang warga menuturkan bahwa kerusakan lingkungan di desanya membuat kehidupannya tak sebahagia dulu.
Permasalahan sepanjang waktu yang dihadapi membuat warga desa akrab dengan bencana. Misalnya, abrasi akibat pembabatan hutan mangrove secara liar untuk perluasan tambak baru dan banjir rob akibat meluapnya sungai Citarum yang selalu membawa sampah dan limbah kimia. (www.mongabay.co.id, 25 November 2018).
Hal ini semakin diperkuat oleh pernyataan sesepuh Desa Pantai Bahagia, Ali. "Yang kita rasain enggak nyaman, enggak enak tahun 2000-an ke mari. Dulu enggak pernah air laut sampai ke darat, ke rumah kita," tuturnya. (travel.detik.com, 28 September 2021).
Dengan kondisi demikian, mereka meminta pemerintah untuk memberikan perhatian kepada desa mereka. Hal ini dituturkan oleh Khainan, warga Desa Pantai Bahagia. Dia juga mengatakan bahwa untuk pindah ke daratan yang layak hunipun mereka tidak memiliki cukup modal (travel.detik.com, 28 September 2021).
Kondisi memprihatinkan seperti kehidupan di Desa Pantai Bahagia acapkali kita temui dalam sistem sekularisme saat ini. Kehidupan yang tidak layak serta abainya penguasa adalah hal yang biasa terjadi di negara penganut sistem ini.
Warga pesisir yang kurang teredukasi dengan baik tentang pengelolaan hutan mangrove, alasan ekonomi yang membuat mereka membabat hutan mangrove secara liar, kini menjadi bumerang bagi kehidupan mereka saat ini.
Pun penguasa sangat minim memberikan perhatian kepada rakyatnya. Edukasi yang sejatinya menjadi tanggung jawabnya seringkali terbengkalai. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, sehingga rakyat tertatih untuk bertahan hidup. Rakyat selalu menjadi tumbal ketidakadilan sistem rapuh sekularisme ini.
Andai saja sistem Islam yang diterapkan dalam kehidupan di dunia ini, tentu permasalahan seperti di atas tidak akan kita temui. Sebab dalam Islam segala perbuatan ada konsekuensi hukumnya. Tentunya, rakyat tidak akan sembarang dalam hal melakukan apapun, termasuk penebangan hutan mangrove secara liar. Ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al Qur'an surat Az zalzalah ayat 7 dan 8 yang artinya " Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula."
Demikian pula dengan penguasa. Dalam sistem Islam penguasa menjalankan roda pemerintahannya berdasar kepada Al Qur'an dan Sunnah. Penguasa bertanggung jawab penuh atas rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala negara) adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka."(HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).
Demikianlah Islam mengatur segala kehidupan. Sistem yang sesuai dengan fitrah manusia karena berasal dari sang pencipta yaitu Allah Al Khaliq.
Sudah saatnya kita kembali menegakkan kehidupan islami dengan menerapkan seluruh peraturan Islam secara kaffah. Sebab, sistem selain Islam terbukti gagal dalam menyejahterakan makhluk di muka bumi ini.
Oleh Hessy Elviyah, S.S
0 Komentar