Sudah lebih dari satu tahun sejak Kementerian Pendidikan dan Kemudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) resmi meluncurkan empat kebijakan Merdeka Belajar pada Januari 2020 lalu. Saat ini, sudah ada 11 program Kampus Merdeka yang digadang-gadang akan memberikan kesempatan mahasiswa untuk menjelajahi minat dan mengasah kemampuan melalui program-program di luar kampus. Program-program tersebut antara lain; Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), Kampus Mengajar, Kementerian ESDM-GERILYA, Magang, Membangun Desa (KKN Tematik), Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Proyek Kemanusiaan, Riset atau Penelitian, Studi Independen dan Wirausaha.
Program Kampus Merdeka ini dilakukan dalam rangka menyiapkan mahasiswa menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja dan kemajuan teknologi yang pesat. Lewat program ini mahasiswa diharapkan mampu meningkatkan kualitas diri mereka agar siap bersaing di dunia kerja. Sementara itu, perguruan tinggi mampu menciptakan kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Namun, program Kampus Merdeka ini tidak seheroik slogannya ‘Merdeka Belajar’. Berbagai pro dan kontra menyelimuti program ini sejak diluncurkan tahun lalu. Program besutan Nadiem Makarim ini dinilai memberikan peluang eksploitasi mahasiswa sebagai tenaga upah murah, memantik komersialisasi pendidikan, hingga menggeser tujuan pendidikan di Indonesia sebatas untuk memenuhi kebutuhan industri saja.
Salah satu yang menarik perhatian yakni kritikan yang menganggap bahwa program Kampus Merdeka ini telah mereduksi tujuan pendidikan tinggi di Indonesia. Kampus Merdeka telah menyamaratakan tujuan dari intitusi pendidikan untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi tenaga kerja yang kompeten, berpengalaman dan berpengetahuan luas. Padahal, setiap institusi pendidikan memiliki metode dan pembelajaran yang berbeda. Misalnya, universitas akan lebih mengedepankan teori dibandingkan politeknik yang fokus pada praktik.
Pengamat dunia pendidikan Darmaningtyas menyatakan, “Pendidikan nasional akan makin kerdil kalau orientasi studi hanya kerja, kerja dan kerja. Seharusnya kerja, mikir dan kerjakan lagi dari yang dipikirkan. Unsur refleksi menjadi penting bagi mereka yang kuliah di universitas yang bertugas mencari kebenaran.” (CNN Indonesia 25/01/2020)
Pendidikan ala Kampus Merdeka ini akhirnya mengorientasikan perguruan tinggi ke arah industri semata. Mahasiswa tidak lagi disiapkan menjadi lulusan yang ahli pada bidangnya. Namun, disiapkan untuk menjadi lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyebut Nadiem terlalu mengikuti logika industri. Menurutnya ini bertolak belakang dengan dengan fungsi pendidikan tinggi yang seharusnya mengedepankan kebutuhan dan pengembangan ilmu pengetahuan. (tirto.id 29/01/2020).
Selain kritik atas program Kampus Merdeka, kritikan juga datang pada empat kebijakan Merdeka Belajar. Salah satunya ialah poin ke-3 yaitu kebijakan untuk mempermudah kampus berstatus PTN BH. Mengutip tulisan Darmanigtyas dan kawan-kawan dalam buku Melawan Liberalisasi Pendidikan (2013), di sana dijelaskan bahwa PTN BH muncul pertama kali pascareformasi. Pada dasarnya PTN BH akan melepaskan tanggung jawab negara dalam menjamin pendidikan warganya. Karena subsidi pada kampus-kampus yang berlabel PTN BH perlahan akan dicabut oleh negara. Demi memenuhi kebutuhan operasional, kampus diminta mencari uang sendiri. Langkah temudah tentu dengan menaikkan biaya kuliah. Pada akhirnya, komersialisasi pendidikan terjadi dan kuliah akan semakin sulit dijangkau oleh kalangan tidak mampu.
Sejatinya, kebijakan Merdeka Belajar ini bercorak seperti pendidikan ala kapitalisme. Hal ini terlihat dari tujuan diadakannya Kampus Merdeka sebagai link and match antara perguruan tinggi dengan industri. Kampus Merdeka diharapkan dapat mengatasi broken link yang terjadi antara kampus dengan industri. Sehingga wajar apabila program ini sangat terlihat menggunakan mindset industri.
Hal ini selaras dengan pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Nizam pada webinar yang bertajuk “Membangun Kolaborasi Triple Helix Transportasi dan Logistik melalui Transformasi Kampus Merdeka”. Ia menyampaikan kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka merupakan salah satu katalis terbentuknya ekosistem triplehelix ataupun pentahelix, yaitu sinergi yang menghubungkan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri, dunia usaha, masyarakat dan pemerintahan. Di dalam ekosistem pentahelix ini, perguruan tinggi berperan sebagai mata air industri, dunia usaha, masyarakat dan pembangunan bangsa.
Demikianlah, prinsip ilmu dalam sistem kapitalisme, menciptakan sebanyak-banyaknya lulusan yang memiliki keterampilan dan kompetensi kerja menjadi tujuan utama agar terpenuhinya kebutuhan industri. Dengan menggunakan prinsip Knowledge Based Economy, pendidikan dijadikan sarana untuk memenuhi pasar kerja demi mendongkrak perekonomian negara.
‘Triplehelix’ ataupun ‘Pentahelix’ merupakan salah satu produk yang lahir dari sistem kapitalisme. Dalam konsep ‘Triple Helix’ (Academic-Business-Government), perguruan tinggi bertugas menyiapkan SDM terbaik yang memiliki kompetensi kerja unggulan, industri sebagai pasar produksi dan pemerintah sebagai regulator serta fasilitator. Hubungan ketiganya menghasilkan SDM yang memiliki daya saing dan kompetensi siap kerja yang digunakan setiap lulusan untuk menghadapi dunia kerja.
Pendidikan ala kapitalisme sejatinya menggerus visi pendidikan yang agung. Industrialisasi pendidikan membuat lulusannya sibuk dengan urusan pemenuhan materi. Mereka hanya tahu bagaimana mendapatkan uang namun kehilangan karakternya sebagai aktor utama kemajuan peradaban. Dengan demikian, negara telah kehilangan masa depan peradabannya karena dikuasi oleh pemimpin industri yaitu kapitalis. Sementara, SDM di negara tersebut menjadi robot pekerja bagi para kapitalis.
Hal ini harus menjadi perhatian bagi para intelektual Indonesia. Jika pendidikan terus dibiarkan mengarah kepada industrialisasi, pendidikan sebagai gerbong utama penghasil generasi unggul perlahan akan runtuh. Paradigma kapitalisme yang digunakan selama ini harus segera dihapuskan dan diganti dengan paradigma Islam.
Dalam paradigma Islam, pendidikan tidak hanya diarahkan menciptakan lulusan yang siap kerja. Namun, menghasilkan intelektual yang cerdas, ahli dalam bidangnya, serta memiliki kepribadian mulia. Sehingga lulusan dari pendidikan yang memiliki paradigma Islam akan menjadi lulusan bermental pemimpin peradaban. Lulusan ini menjadi pribadi cerdas ilmu dunia dan akhirat serta mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ilmu yang didapat selama menempuh pendidikan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, bukan hanya untuk pemenuhan pribadi semata.
Menciptakan pendidikan yang memiliki visi besar diperlukan dukungan penuh dari negara. Pendidikan yang bervisi panjang tidak bisa dihasilkan dari negara yang abai akan kondisi pendidikan masyarakatnya. Negara hadir tidak sebatas sebagai fasilitator ataupun regulator saja, namun juga berperan sebagai operator. Pembiayaan untuk pendidikan harus sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Hal ini dilakukan untuk menghalangi kepentingan-kepentingan sebagian orang yang bisa menggerus visi pendidikan itu sendiri. Selain itu, hal ini juga untuk menjamin pendidikan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan seperti pada sistem kapitalisme.
Perpaduan tujuan dunia dan akhirat pada pendidikan Islam berhasil menciptakan generasi mulia yang ahli di segala bidang baik politik, ekonomi, sosial dan saintek. Hal ini tercatat pada sejarah bagaimana Khilafah Islamiyyah berhasil memimpin peradaban dengan penerapan ideologi Islamnya. Maka, untuk menciptakan pendidikan yang memiliki visi besar tidak lain dibutuhkannya penerapan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah). Wallahu’alam []
Oleh: Fatimah Azzahrah Hanifah, Mahasiswi
0 Komentar