Anomali Politik dalam Sistem Demokrasi

 


Indikator Politik Indonesia (IPI) merilis hasil survei terbarunya terkait tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik. Dua lembaga negara tersebut memiliki tingkat kepercayaan masyarakat terendah sebanyak 50 persen dan partai politik dengan tingkat kepercayaan 48 persen (wartaekonomi.co.id, 27/9/2021).

Hasil riset di atas menunjukkan gejala yang simultan di seluruh penjuru dunia, bukan hanya di Indonesia. Para pemilik hak suara mulai berpaling dari organisasi politik tradisional. Namun pertanyaannya, dapatkah demokrasi bertahan tanpa partai politik?

Pada tahun 1796, Presiden Amerika Serikat George Washington mengecam partai politik karena mengizinkan "orang-orang licik, ambisius dan tidak berprinsip" untuk "menurunkan kekuatan rakyat". Perseteruan, perpecahan dan perebutan kursi menjelang pemilu tampaknya sudah membudaya dalam kehidupan kepartaian dalam sistem demokrasi. Dalam istilah populernya disebut anomali politik.

Sebagai kiblat demokrasi, ternyata semakin banyak warga AS yang tidak mau mengidentifikasi diri dengan partai politik tertentu, sebanyak 38 persen pada 2018. Proporsi ini sekarang lebih besar dari mereka yang mengidentifikasi diri dengan partai Demokrat maupun Republik.

Namun, keadaan ini juga tampaknya terjadi di negara-negara lain. Di Eropa misalnya, partai-partai sayap kiri yang biasanya sangat kuat sekarang dituduh tidak mendengarkan suara para pemilihnya. Ini bisa jadi kekuatan yang mendorong Inggris ke arah Brexit.

Nancy Rosenblum ilmuwan politik dari Universitas Harvard, mengungkapkan bahwa para politisi kerap kali mencoba menarik massa tanpa partai, mereka akan terjun langsung ke masyarakat. Tapi tanpa partai, tampak kekacauan dengan mengeksplorasi berbagai tantangan yang dihadapi partai politik di masa sekarang dan ini merupakan konsep meritokrasi.

Di banyak wilayah Amerika Serikat, persekongkolan antar partai juga menyumbang pada anggapan kandidat kurang mewakili konstituen mereka dengan menciptakan 'kursi aman'. Pada dasarnya, diputuskan dalam pemilihan pendahuluan yang mengadu Demokrat melawan Demokrat dan Republik melawan Republik.

Partai politik juga memiliki banyak peranan penting lain, termasuk memfasilitasi kompromi, kata Russel Muirhead, pakar politik di Universitas Dartmouth. Sebagai contoh, RUU Pertanian AS dan UU Cipta Kerja Indonesia.

Reformasi politik justru cenderung makin kabur dikacaukan oleh banyaknya kasus korupsi, kegaduhan manuver politik dangkal serta sejumlah keculasan, menandai sengketa kuasa yang menyertai demokrasi. Di situlah muncul gejala bahwa demokrasi terasa goyah tanpa pijakan.

Jika demokrasi itu diibaratkan rumah, maka pilar penyangganya adalah partai politik, kebebasan sipil, serta penegakan hukum. Karena itu, kondisi dan kualitas pilar menjadi faktor penentu. Apakah bangunan demokrasi itu akan kokoh dan kuat atau sebaliknya, rentan dan berpotensi roboh. Dari perjalanan demokrasi sejauh ini menunjukkan bahwa ketiga pilar itu sedang mengalami proses perapuhan serius.

Pilar pertama, soal peran partai politik misalnya. Sebagai kekuatan penting penyangga bangunan demokrasi, hari demi hari makin tergerus oleh rayap-rayap yang membuat lapuk dan keropos sehingga mudah patah dan hancur.

Organisasi bernama partai politik masih dihinggapi problem oligarki, yang membuat tidak berkembang. Partai politik makin dirusak oleh ulah politisinya yang terjerat skandal korupsi-kekuasaan demi biaya politik dan memperkaya diri. Akibatnya, partai politik diidentikkan dengan keculasan dan menumbuhkan delegitimasi dan untrust dari masyarakat.

Pilar kedua menyangkut kebebasan sipil. Ukuran penting suatu demokrasi bertumbuh dinamis adalah adanya ruang bagi warga negara dalam mengartikulasikan pendapat dan pikiran, mengorganisir diri, serta mengakses informasi. Jika masyarakat sipil dapat tumbuh berkembang, kuat dan mampu mengimbangi negara dengan elemen-elemen masyarakat politiknya.

Sayangnya, perwujudan kebebasan masyarakat sipil terganggu, ancaman demi ancaman itu terus bermunculan yang tampaknya bersumber dari satu poros selama lima tahun terakhir. Semisal, pada poros negara muncul sejumlah regulasi dan kebijakan yang orientasinya mengekang kebebasan masyarakat untuk berekspresi.

Bangunan demokrasi begitu rapuh dan bisa saja setiap saat terancam roboh jika diterpa gelombang pasang krisis ekonomi dan politik. Peristiwa-peristiwa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibanding kekuatan bangunan, sehingga dapat saja meluluhlantakkan demokrasi Indonesia.

Politik dalam era demokrasi pun dimaknai dengan upaya meraih kekuasaan, praktek jegal-menjegal karena kepentingan politik. Maka tak ayal, masyarakat sering disuguhi dengan berbagai intrik politik demi syahwat berkuasa. Rakyat pun dibodohi dengan berita media yang cenderung tidak fair dan menggiring opini khalayak.

Sistem politik dalam demokrasi ini berbeda dengan politik dalam Islam yang dimaknai sebagai pengaturan urusan umat. Kebutuhan sandang, pangan dan papan semuanya harus terpenuhi. Karena penguasa sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Di samping itu, perbedaan prinsipil antara politik dalam Islam dan demokrasi terletak pada asasnya. Demokrasi berasas sekular, sedangkan Islam berasas akidah Islam.

Demokrasi terbiasa menghalalkan segala cara. Mulai dari suap, korupsi, gratifikasi, kecurangan. Yang terpenting tujuannya hanya untuk meraih kekuasaan. Demokrasi tidak memandang apa persoalan ini baik atau buruk. Karena standar mereka adalah pragmatisme dan hawa nafsu.

Hal inilah yang perlu dipahami bahwa meski partai Islam masih survive dalam sistem demokrasi dan berniat merubah keadaan, namun yang terjadi malah terjebak. Karena demokrasi tidak akan memberi ruang bagi penegakan syariat kaffah. Oleh sebab itu, kehadiran partai politik Islam di parlemen tidak akan membawa perubahan yang hakiki.

Di samping itu, partai politik dalam Islam merupakan medium perjuangan dengan cita-cita amar ma’ruf nahi munkar. Perjuangan berupa penerapan syariah Islam menjadi cita-citanya dan diterapkan dalam sebuah institusi negara. Jika ada umat Islam yang berjuang dalam partai politik, namun tidak berideologi Islam, maka perjuangannya sia-sia.

Lagi pula partai politik yang berkuasa acapkali menghadapi bahaya. Pertama, bahaya ideologi dan kedua, bahaya strata sosial. Bahaya ideologi ini meliputi ideologi yang dianut partai. Jika ideologi itu tidak sejalan dengan rakyat, maka partai tidak akan mendapat dukungan.

Adapun bahaya strata sosial tampak saat anggota partai memiliki menduduki jabatan. Mereka melupakan rakyat dan konstituennya. Ada gap antara partai politik dan rakyat. Akibatnya, partai menjadi superior dan rakyat menjadi inferior. Hubungan harmonis yang awalnya dibangun antara rakyat dan partai, hanya bertahan selama proses pemilihan.
Dengan kondisi tersebut, perubahan yang bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan revousioner, yakni mengganti sistem yang gagal dengan sistem yang paripurna, termasuk mengganti dengan partai yang sahih.

Ciri-ciri partai sahih adalah dasarnya Islam, anggota partainya berkepribadian Islam, mereka berpikir dan berinteraksi berdasarkan Ideologi Islam yang dihasilkan dari proses pembinaan. Memiliki pimpinan partai yang mempunyai pemahaman yang mengkristal terhadap Islam sesuai dengan Al-Quran dan Assunnah, serta memiliki konsepsi yang jelas terkait berbagai hal.

Karena partai Islam memiliki konsepsi yang clear tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar dan dalam negeri serta sistem lainnya. Olehnya, harus disampaikan kepada masyarakat, hingga mereka menyakini penerapan semua sistem tersebut menjadi kebutuhan bersama dengan tetap konsisten menggunakan metode sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.

Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Pertama, melakukan pembinaan dengan pemahaman Ideologi Islam, beserta metode penerapannya. Kedua, bergerak dan berinteraksi bersama masyarakat. Selain itu kader partai juga harus melakukan perjuangan politik, yakni, membongkar konspirasi jahat dan pergolakan pemikiran, yakni dengan menentang ide-ide kufur, seperti demokrasi sekulerisme, kapitalisme dan turunannya.

Hal yang paling urgen adalah umat harus segera sadar dan bangkit. Demokrasi bukanlah jalan perubahan untuk meraih kemenangan, kemuliaan dan kesejahteraan umat. Demokrasi tidak menjanjikan apa pun. Perjuangan sesungguhnya adalah tegaknya kemuliaan Islam melalui kelompok atau partai sahih yang fokus pada penegakan syariah kaffah dalam naungan institusi negara Islam.


Oleh Rabihah Pananrangi

Posting Komentar

0 Komentar