Demokrasi Jakarta Empat Tahun di Posisi Satu, Itu Justru Bencana



Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi DKI Jakarta menduduki peringkat satu secara nasional dengan nilai indeks 89,21 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020. Angka itu naik 0,92 poin dibanding tahun 2019 yang menembus 88,29 poin. Pemprof DKI berhasil mempertahankan posisi peringkat satu selama empat tahun berturut-turut sejak 2017. “Alhamdulillah, …” kata Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi DKI Jakarta, Taufan Bakri. (megapolitan.okezone.com, 3/9/2021).

Apakah peringkat DKI Jakarta yang telah memenangkan peringkat satu sebagai provinsi paling demokratis selama empat tahun bertutur-turut itu berkorelasi positif dengan kesejahteraan rakyat Jakarta? Dan apakah keberhasilan DKI Jakarta dalam mempertahankan posisinya itu patut disyukuri?

Wajah demokrasi Jakarta menjadi “barometer” demokrasi di Indonesia. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) merupakan alat untuk mengukur perkembangan keadaan demokrasi di tiap-tiap provinsi. IDI telah dibakukan oleh para pakar/ahli dan difasilitasi oleh Kemenkopolhukam, BAPPENAS, Kemendagri, BPS, dan mendapatkan sokongan PBB, dalam hal ini oleh UNDP (United Nation Expanded Programme) sejak 2007. Tujuannya yakni untuk melakukan penguatan demokrasi lokal sebagai standar bagi keberhasilan demokrasi nasional yang dengan ini kemudian disusun rancangan prioritas pembangunan politik oleh pemerintah pusat dan daerah.

Ada tiga indikator yang digunakan IDI, yakni kebebasan sipil (civil liberty), hak-hak politik (political rights), dan lembaga demokrasi (institution of democracy). Adapun kebebasan sipil berbicara tentang kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi. Hak-hak politik yang dimaksud adalah tentang hak memilih dan dipilih, serta partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintahan. Sedangkan Lembaga demokrasi adalah mengenai pemilu yang bebas dan adil, peran DPRD, peran partial politik, peran birokrasi pemerintah daerah, serta peradilan yang independen.

Demokrasi sendiri tidak memiliki korelasi positif terhadap kemakmuran rakyat Jakarta.  Berdasarkan definisi dan tujuan IDI, maka dapat dikatakan bahwa demokrasi bukanlah standar untuk menetapkan kesejahteraan yang diidam-idamkan semua masyarakat, terkhusus di Jakarta. Sebab, tujuan utama adanya berkumpul dan berserikat, bahkan bernegara adalah untuk mencapai kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian.

Kesejahteraan rakyat Jakarta sesungguhnya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi penguasa. Terekam dalam survey Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakartai tahun 2020 bahwa hampir setengah rumah tangga DKI Jakarta tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa tempat tinggal sendiri. Sebab hanya 45,04 persen rumah tangga di DKI Jakarta yang menempati rumah sendiri. Sedangkan sisanya 54,96 persen masih menempati rumah sewa/kontrak (37,71 persen), dan sebagiannya hidup di rumah bebas sewa dan rumah dinas (17,25 persen). Padahal seperti diketahui, bahwa rumah merupakan unsur pokok kebutuhan keluarga.

Selain itu, sebagian rakyat Jakarta juga terlilit utang dalam berbagai bentuk kredit. Dari sumber yang sama, hasil survey menunjukkan bahwa sebanyak 13,83 persen rumah tangga DKI Jakarta menerima kredit. Berbagai macam kredit yang dilakukan berbentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR), program perbankan selain KUR, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Program Koperasi, Kredit Perorangan dengan bunga, Pegadaian, Perusahaan leasing, KUBE/KUB, dan lainnya.

Dari segi keamanan, DKI Jakarta juga termasuk rawan. Tercatat ada 15.986 laporan terkait gangguan keamanan, kemudian, sampah dengan 14.494 laporan, parkir liar sebanyak 14.493, pohon 8.199 laporan, dan pelanggaran Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur sebanyak 7.860. (metro.sindonews.com, 9/4/2021)

Dari segi hak atas air pun, DKI Jakarta masih diskriminatif terhadap warganya. Sebab, hanya yang berduit saja yang dapat menikmati air bersih. Biayanya pun terbilang mahal dengan biaya pertama daftar 1 juta 500 ribu rupiah per Kepala Keluarga (KK) dengan harga per kubiknya 12 ribu rupiah. Belum uang administrasi, uang denda. Saat itu dendanya Rp5 ribu. Kalau telat satu hari, naik lagi menjadi Rp7 ribu. Untuk mendapatkan air yang lebih murah, dibutuhkan bukti kepemilikan tanah, seperti akta jual beli (AJB) dan sertifikat. (jakarta.bisnis.com, 27/9/2021). Fakta-fakta di atas melambangkan kesulitan hidup warga Jakarta.

Demokrasi sendiri adalah anak kandung dari sistem politik barat. Ia dilahirkan oleh Yunani kuno dan tertolak di negara barat setidaknya selama lebih dari dua ribu tahun hingga abad ke 17. Mulai abad ke 18, barat mulai mempergunakannya dalam beberapa hal, hingga muncul momen penting bernama renaissance dan reformasi. Magna Charta, suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris digadang-gadang sebagai tonggak baru kebangkitan demokrasi zaman now. Artinya, demokrasi sama sekali bukan berasal dari Islam. Ia merupakan bidah politik yang secara latah diambil akibat euforia global yang ditanamkan barat.

Dalam pandangan Leislie, terdapat tiga paradoks dalam sistem demokrasi barat, yaitu: Pertama, potensi tirani mayoritas terhadap kelompok minoritas. Tirani berkaitan dengan Tindakan yang sewenang-wenang dari kelompok kecil masyarakat kepada kelompok mayoritas dan penyangkalan terhadap hak-hak kaum minoritas. Kedua, bahwa demkrasi cenderung menempatkan orang-orang bodoh dalam tampuk kekuasaan. Seni pemerintah  memerlukan seseorang yang ahli dan mengerti secara teknis. Ketiga, demokrasi berupa ilusi, jika bukan kebohongan. Yaitu sesuatu yang berpura-pura membantu dan melindungi mayoritas.

Demokrasi dimanfaatkan oleh barat untuk memuluskan agenda-agendanya. Dengan kemunafikannya, barat memperlakukan negara-negara muslim sesuai keuntungannya sendiri. Sistem demokrasi ditoleransi jika yang berkuasa atau yang menang adalah kelompok sekuler atau liberal. Jika yang menang adalah kelompok anti barat, tidak segan-segan akan menggulingkan kekuasaan tersebut. Berbagai intervensi dan tekanan dilakukan agar pemenang pemilu yang tidak pro dengan barat tersebut segera tumbang.  (Shofwan Rozi dan Heriwanto dalam Jurnal Aqidah Vol.11/2 Tahun 2019).

Kasus FIS di negara Aljazair pada tahun 1992 cukup menjadi bukti kemunafikan barat. Meski yang menang dalam pemilu adalah FIS, namun akhirnya pada awal Januari 1992 militer garis keras Aljazair membatalkan pemilu dengan sepihak atas dukungan penuh dari Prancis dan Amerika Serikat.   

Walhasil, para pemangku kebijakan hari ini berdiri atas restu barat dan memuluskan kerja barat. Dengan demokrasi, liberalisasi ekonomi berjalan mulus, sehingga swastanisasi air, perumahan, serta perkreditan yang mencekik rakyat kecil di DKI Jakarta terus menerus berlangsung.  Dengan demokrasi pula boneka-boneka barat akan terus dipelihara dan dikokohkan. Dan hal ini merupakan bencana bagi umat Islam, bukan untuk disyukuri.

Tahun depan dan tahun-tahun mendatang, ukuran demokrasi akan terus ditingkatkan untuk menjamin keberlangsungan penjajahan atas warga di Jakarta. Namun, selayaknya bencana, demokrasi harus segera dilupakan, dihapus dan diganti aturan yang membahagiakan, menyejahterakan, memenuhi hak rakyat, sehingga menciptakan kedamaian. Hanya kepada Allah sajalah seluruh rakyat Jakarta memohon perlindungan, dan kepada sistem khilafah yang ditunjukkan-Nya-lah manusia berharap kebaikan. Wallahu a’lam.


Oleh Annisa Al Munawwarah
(Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)


Posting Komentar

0 Komentar