Demokrasi: Melemahkan Persatuan dan Meniscayakan Perpecahan



Kedekatan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kembali menjadi sorotan. Setelah tampak erat dan mesra pada episode-episode sebelumnya, namun pada episode kini terlihat berbeda. Seperti kita ketahui sejak awalnya PKS telah menjagokan Anies Baswedan pada Pilgub DKI 2017. Sehingga mafhum bagi masyarakat apabila berangkat dari realita itu, dukungan akan berlanjut hingga Pilpres 2024 mendatang.

Nama Anies Baswedan memang disebut sebagai salah satu bakal menjadi calon kuat dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Kunjungan Anies ke berbagai daerah pun kerap dikaitkan dengan safari politik demi meningkatkan elektabilitasnya di daerah. Walau demikian, siapa partai politik yang bakal mengusung Anies di 2024 mendatang? Apakah PKS yang sebelumnya erat dan mesra dengan Anies inilah yang akan mendukungnya untuk menaiki kursi kekuasaan?

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai salah satu partai politik yang mengusung Anies dalam Pilkada 2017  lalu ini pun nyatanya mengaku masih bimbang dan belum menentukan pilihan. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS ini masih belum mau mendukung Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan maju dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024.
Ketua Departemen Politik DPP PKS, Ahmad Nabil Fauzi mengatakan partainya saat ini tengah fokus untuk menyiapkan Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Al-jufri untuk 2024.

Dia memastikan, PKS masih fokus menokohkan Ketua Majelis Syuro DPP PKS Salim Segaf Al-Jufri kepada masyarakat. Beragam kegiatan partai seperti silaturahmi partai politik, hingga sentuhan partai kepada rakyat terus menonjolkan peran dan ketokohan Habib Salim. Termasuk urusan Pilpres 2024, PKS menjadikan ketokohan Habib Salim sebagai pertimbangan utama dalam bursa calon presiden dan calon wakil presiden.

PKS menilai terlalu dini terhadap reaksi atau respon masyarakat kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang digadang-gadang akan menjadi calon presiden pada pemilihan presiden 2024 dari kubu partai ini. Sementara itu, anggota Fraksi PSI, William Aditya Sarana mengatakan, sulit bagi Anies ikut serta dalam Pilpres 2024 lantaran kinerja selama ini menjadi Gubernur tidak tercapai dengan baik. Sebaliknya, dia menilai, kinerja yang baik sebagai Gubernur DKI Jakarta akan memudahkan Anies menjadi calon Presiden di 2024.

Popularitas dan peluang Anies dalam kontestasi Pilpres yang kian menurun yang terbaca oleh elit partai tersebut, bisa saja menjadi alasan di balik lepasnya dukungan terhadap Anies. Polemik demi polemik hingga kentalnya sikap oposisi Anies terhadap rezim, membuatnya berada di status yang tidak terlalu aman. Akan tetapi tarik ulur pun bisa saja terjadi. Seperti saat Mardani yang memastikan, Anies Baswedan bukanlah kader PKS. Namun, bukan tidak mungkin, akan bekerja sama di Pemilu 2014. Entah itu tiket partai untuk Pilpres 2024 atau Pilkada 2022. Semuanya masih cair dan tergantung perkembangan politik ke depan.

Lalu bagaimana dengan masyarakat yang telah serempak mendukung Anies Baswedan dan PKS ini dalam merespon "perpecahan" ini? Mau tidak mau, masyarakat yang mendukung Anies dan PKS ini harus memilih. Apakah mendukung jalannya rencana PKS dan merelakan Anies, ataukah justru mendukung Anies dan meninggalkan dukungan terhadap PKS? Seperti dalam kacamata para pendukung Anies yang masih menganggap popularitas Gubernur DKI Jakarta ini justru semakin moncer menuju Pemilu 2024. Bahkan nama Anies juga menjadi langganan di papan atas bursa pemilihan presiden. Salah satu relawan yang muncul ini contohnya Relawan Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES). Ada juga yang bernama Relawan Bala Anies, Tidak menutup kemungkinan, akan muncul pula nama-nama relawan lainnya.

Namun masyarakat sepatunya jeli dalam membaca peristiwa ini. Bahwa demokrasi akan meniscayakan perpecahan pada tubuh partai, perpecahan di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, konflik horizontal, serta kontraksi sosial. Realita ini terus berulang dan tak kunjung usai. Ibarat berbagai sinetron dengan plot dan konflik yang sama. Hanya berganti-ganti aktor saja. Kedekatan tidak bisa selalu menjamin persatuan akan diwujudkan. Karena karakter elit politik demokrasi hanya akan takluk terhadap kepentingan dalam sebuah keputusan.

Itulah mengapa, politik dalam ranah demokrasi selalu menjadi ajang balap siapa yang lebih besar memberikan manfaat, disitulah peristiwa ‘kepentingan’ terjadi. Telah nyata bahwa kepentingan-kepentingan itu selalu menjadi standar dalam ajang meraih kekuasaan. Tiada lawan dan kawan abadi dalam demokrasi. Semua bisa jadi kawan, juga seketika justru menjadi lawan akibat sebuah kepentingan.

Bahkan ketika suasana Pilpres kian memanas yakni pada masa-masa menjelang Pilpres serta sesaat setelah Pilpres berlangsung, biasa terlihat kedua kubu yang sebelumnya ialah kawan justru akan berada pada posisi saling serang dan anti satu sama lain. Dan yang lebih memprihatinkan, sikap yang diambil oleh para elit politik yang sedang bertarung tersebut diikuti para pendukung masing-masing kubu pada level bawah (masyarakat yang mayoritas awam politik) dengan sikap yang sangat keras, bahkan mengakibatkan banyak terjadinya konflik yang serius di masyarakat. Mereka kembali terombang-ambing dalam memilih siapa pemimpin yang layak. Para elit parpol tentunya membutuhkan suara rakyat agar terpilih untuk menjalankan kekuasaan. Nasib rakyat, bisa dikatakan hanya ditentukan di balik kotak coblosan.

Menurut Pengamat Sosial Politik Ardli Johan Kusuma, S.IP., M.H.I, Demokrasi akan senantiasa melakukan “shock therapy” bagi masyarakat pada tahun-tahun politik/masa kampanye. Tokoh politik yang sebelumnya diagung-agungkan dan selalu benar di mata mereka, serta pihak lawan yang sebelumnya selalu salah di mata mereka, tiba-tiba tampil mesra di depan media dan siap untuk saling mendukung. Atau juga sebaliknya, yang sebelumnya tampak mesra, lalu terpecah belah. Mengingat dalam sebuah sistem negara demokratis, koalisi yang terbentuk akan bersifat sangat cair dan fleksibel.

Dengan kondisi demikian, modal masing-masing pihak untuk membangun koalisi adalah terkait “siapa mendapatkan apa?”. Dengan demikian, ketika terjadi ketidakpuasan dalam pembagian “siapa mendapatkan apa?”, koalisi rentan mengalami perpecahan. Sebaliknya, jika ada tawaran yang lebih menguntungkan terkait “siapa mendapatkan apa?” tersebut, maka sang aktor politik akan menggunakan mekanisme “rational choice” atau pilihan rasional untuk memutuskan sesuatu dengan mempertimbangkan untung dan rugi secara material.

Jika dilihat dari paradigma realisme politik demokrasi, maka sikap yang diambil oleh para elit tersebut dapat dimaknai sebagai jalan untuk mencapai kepentingan masing-masing pihak dengan cara-cara yang menurut mereka rasional. Selesainya Pilpres, tentu menyisakan satu permasalahan krusial yaitu terkait pembagian kursi kekuasaan di dalam pemerintahan yang akan berlangsung 5 tahun ke depan. Peluang untuk menduduki kursi-kursi inilah yang menjadi daya tarik bagi semua pihak untuk melakukan manuver politiknya dan rela untuk menegasikan sikap politik yang sebelumnya mereka ambil.

Tidak hanya itu, strategi jangka panjang untuk menghadapi Pilpres 2024 yang akan datang tidak kalah penting bagi masing-masing aktor politik, untuk segera menentukan sikap dan kembali melakukan penjajakan terhadap pihak-pihak yang dapat diajak bekerja sama untuk mencapai kepentingan mereka. Sekali lagi hal ini telah membuktikan kebenaran dari istilah “Tidak ada musuh atau teman abadi di dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi”.

Fenomena perubahan sikap para elit politik yang terjadi ini, harus dapat dipahami oleh masyarakat bahwa perpecahan menjadi sebuah keniscayaan dalam politik praktis demokrasi. Hal ini sangat penting, karena apakah kita akan rela terus-menerus terjebak dalam realitas ini? Masihkah bertahan untuk mengarungi perjalanan demokrasi negara ini yang tampaknya masih teramat panjang atau bahkan mustahil mencapai tujuan persatuan. Karena sinetron demokrasi yang mempertontonkan kerasnya pertarungan-pertarungan politik akan senantiasa berulang dan masih banyak terjadi di masa yang akan datang. []

Wallahu a'lam biashshawab.


Oleh Novita Sari Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar