Belum lama ini Wakil Presiden Ma’ruf mengatakan, prinsip ekonomi dan keuangan syariah yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dapat berkontribusi bagi dunia. Kontribusi tersebut utamanya dalam hal mencari solusi berbagai masalah yang dialami negara-negara di dunia saat ini. Ma’ruf mengatakan hal tersebut di acara International Conference on Islamic Studies (ICIS) bertema Islam and Sustainable Development yang digelar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh secara daring, Senin (4/10/2021).
“Prinsip ekonomi dan keuangan syariah yang sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan dapat memberikan kontribusi bagi dunia dalam rangka mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dialami negara-negara di dunia saat ini.” Ujar Ma’ruf. Beberapa permasalahan dunia yang dimaksud adalah tentang perdamaian, harmoni sosial, ketimpangan pertumbuhan ekonomi, dan merosotnya kualitas lingkungan hidup. Ma’ruf mengatakan, umat Islam sebagai bagian dari ekosistem pembangunan ekonomi global (Kompas.com, 04/10/2021).
Pernyataan wapres tersebut tentu perlu diapresiasi dan sekaligus diamalkan. Benar kiranya jika prinsip ekonomi dan keuangan syariah itu pantas diterapkan tidak hanya di negeri ini, tapi juga berlaku secara global mendunia. Karena jumlah penduduk di dunia mayoritas adalah muslim, sehingga menjadi wajar apabila prinsip ekonomi dan keuangan syariah diberlakukan atau diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan.
Lalu apa sebenarnya pengertian dari ekonomi syariah? Dilansir dari wikipedia.org bahwa Ekonomi Syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masala-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah tentunya berbeda dari ekonomi kapitalisme, dan sosialisme.
Ekonomi syariah merupakan salah satu cabang ilmu ekonomi yang menggunakan syariat Islam sebagai landasan teori dan pelaksanaannya. Bentuk dan ciri-cirinya berbeda dengan ekonomi konvensional pada umumnya. Sebagai suatu sistem ekonomi yang dijalankan berlandaskan syariat Islam, ekonomi syariah memiliki beberapa prinsip yang berbeda. Prinsip ekonomi syariah secara garis besar mengajarkan bahwa harta bukanlah satu-satunya tujuan kehidupan di dunia, namun harta hanyalah fasilitas atau sarana untuk beribadah kepada Allah Swt. (alamisharia.co.id).
Menukil dari buku Konsep Ilmu Ekonomi (2020), Yusuf Qardhawi merumuskan pengertian ekonomi Islam (ekonomi syariah) adalah ekonomi berdasarkan ketuhanan. Yang bisa diartikan bahwa sistem atau aturan yang dijalankan dalam perekonomian berdasarkan kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, sebagai pembuat hukum Syara.
Semakin banyaknya penerapan nilai-nilai yang terkandung dari sistem ekonomi Islam membuktikan begitu sesuainya aturan tersebut diterapkan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya. Prinsip-prinsip yang terdapat di dalam ekonomi Islam memperlihatkan bahwa ekonomi syariah itu adil dan menyejahterakan, tidak berlaku hanya untuk muslim saja, tetapi nonmuslim pun akan turut merasakannya.
Berbeda jauh bahkan bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalis yang saat ini sedang mencengkeram hampir seluruh negara di dunia, termasuk juga negeri-negeri muslim di dalamnya. Dimana di dalam sistem ekonomi kapitalis terjadi hukum rimba, manusia ‘memakan’ sesama manusia, ‘menghisap’ darahnya hingga titik penghabisan. Terdapat jurang yang menganga lebar antara si kaya dan si miskin. Tidak hanya manusia yang dirugikan, lingkungan alam sekitar pun menjadi rusak akibat dari keserakahan segelintir orang, semata-mata demi hanya untuk meraup keuntungan materi yang berlimpah. Atau sebaliknya dengan sistem ekonomi ala sosialis yang dengan semboyan “sama rata, sama rasa” yang justru menghilangkan rasa keadilan yang sesuangguhnya.
Karena itu, tentu saja sistem ekonomi Islam berbeda dengan Kapitalisme dan Sosialisme demikian pernyataan yang ditulis oleh KH. Hafiz Abdurrahman di dalam buku Diskursus Islam politik Spiritual. Dalam hal ini, Islam telah menetapkan asas sistem ekonominya, yaitu: Pemilikan, Pengelolaan dan pemanfaatan hak milik, dan Distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Dengan demikian menjadi sangat jelas di dalam sistem ekonomi Islam apa saja yang boleh menjadi milik individu, milik umum, dan mana yang menjadi milik negara. Tidak dilarangnya individu untuk memiliki harta yang banyak asalkan diperoleh dengan cara yang halal dan bukan dari penghasilan yang bersumber dari kepemilikan umum juga negara.
Pun, sama halnya untuk pengelolaan kepemilikan, yaitu cara yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim ketika menggunakan dan memanfaatkan hartanya. Untuk itu, Islam telah menentukan dua cara, yaitu pengembangan harta dan pembelanjaan hak milik. Untuk pengembangan hak milik, Islam membolehkan seseorang untuk mengembangkan harta miliknya melalui perdagangan, seperti jual beli, sewa menyewa, dan syarikat. Serta mengharamkan riba, melakukan penimbunan, menipu, berjudi dan sebagainya.
Demikian juga mengenai masalah pembelanjaan kepemilikan, Islam telah menetapkan bahwa setiap muslim hanya dibolehkan untuk membelanjakan hartanya di jalan yang dihalalkan oleh Allah Swt. Jika hartanya dibelanjakan di jalan yang diharamkan meskipun sedikit, hukumnya tetap haram. Pembelanjaan harta yang dibolehkan Islam, antara lain zakat, membelanjakan harta untuk kepentingan diri dan orang yang menjadi tanggungannya.
Sedangkan untuk distribusi kekayaan di tengah masyarakat, Islam mensyariatkan hukum-hukumnya secara adil. Antara lain mewajibkan zakat, pemberian hak kepada seluruh anggota masyarakat untuk memanfaatkan pemilikan umum, pemberian negara secara cuma-cuma kepada anggota masyarakat yang memerlukan yang diambil dari harta negara, dan pembagian harta waris kepada ahli waris. Sebaliknya Islam telah mengharamkan penimbunan emas dan perak atau mata uang, penimbunan barang, serta bakhil dan kikir.
Demikianlah gambaran secara umum mengenai sistem ekonomi Islam yang tertuang dalam ketentuan hukum syara’ yang mengatur muamalah. Sehingga tidak salah jika wakil presiden Ma’ruf Amin merekomendasikan sistem ekonomi Islam untuk meyelesaikan permasalahan yang tidak hanya melanda negeri ini, tetapi juga dunia secara keseluruhan. Tentunya yang diharapkan bukan hanya penerapan secara parsial, tetapi sistem ekonomi secara keseluruhan. Sehingga akan hilang ketimpangan pertumbuhan ekonomi, akan tercipta harmoni sosial, perdamaian, dan juga tidak terzaliminya lingkungan akibat eksploitasi manusia.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashas: 77)
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Anjar Ummu Nibras
0 Komentar