Tidak seperti Ibukota Negara Jakarta yang dipimpin oleh seorang gubernur, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU)nya, Ibu Kota Negara Baru (IKN) akan dipimpin oleh Kepala Otorita IKN, dibantu seorang Wakil Kepala Otorita IKN yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh presiden.
“Mengenai klausulnya, misalnya wali kota, itu tidak dipilih. Pengelola ibu kota langsung bertanggung jawab ke Presiden, jadi tidak pakai pilkada untuk si 'gubernur' ibu kota itu,” ujar Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas Rudy S. Prawiradinata saat ditemui di kantornya, 2 September lalu. (tempo.co, 01/10/2021).
Presiden Joko Widodo alias Jokowi telah menyerahkan surat presiden (surpres) Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara atau IKN kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU itu berisi 34 pasal yang mengatur fungsi, kedudukan, sistem pemerintahan, hingga peralihan ibu kota. (tempo.co, 01/10/2021).
Ternyata meskipun di masa pandemi pembahasan pemindahan Ibu Kota, tidak surut. Padahal banyak tokoh menilai, masih banyak masalah negeri ini yang lebih urgen daripada pemindahan IKN yang tentu menelan biaya yang tak sedikit. Masih banyak rakyat yang sulit makan dan kehilangan mata pencaharian. Di jalan-jalan terlihat semakin banyak saja orang peminta-minta, mulai dari munculnya fenomena manusia silver, manusia badut, manusia gerobak dan lain-lain. Serta masalah lain negeri ini yang harusnya menjadi prioritas untuk segera diselesaikan.
Adakah target tertentu yang harus segera dicapai? Oleh siapa dan untuk siapa? Sistem demokrasi harusnya memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat melalui wakilnya, untuk memilih pemimpin dan menyusun kebijakan yang menyuarakan aspirasi mereka. Namun faktanya, kebijakan yang dibuat justru berpihak pada kelompok elit tertentu, dalam hal ini penguasa bersama pengusaha. Bagaimana UU KPK, UU Minerba, UU Omnibuslaw yang jelas ditolak rakyat tetap disahkan oleh yang katanya wakil rakyat. Ternyata para pakar menemukan, isinya memang memuluskan jalan para elit tadi dalam mengendalikan negeri ini agar dapat bebas atau mudah mengeruk dan menguasai kekayaannya, dengan dilegalkan melalui UU.
Dan kini, rakyat yang katanya berhak memilih siapa yang akan memimpin mereka, lagi-lagi kehilangan haknya. Kepala Otorita IKN yang kelak berkedudukan setingkat menteri, dalam RUUnya akan dipilih oleh presiden. Ini membuktikan bahwa, celah kompromi adalah logis dalam sistem demokrasi. Tidak ada istilah harga mati, kecuali kepentingan itu sendiri. Hukum akan terus diutak atik mengikuti agenda pelaku demokrasi yang berkuasa.
Apalagi, Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), pernah menyampaikan, sejumlah sarana seperti hiburan, edukasi, resor, kesehatan dan pusat keuangan akan diambil alih swasta. Setidaknya sudah ada 30 perusahaan dari asing maupun dalam negeri sempat mengemukakan ketertarikan.(cnbcindonesia, 27/02/2020).
Mustahil para investor yang menggelontorkan uangnya tidak berharap keuntungan. Sepanjang perjalanan sistem demokrasi kapitalis, dominasi kekayaan ada pada mereka yang berkuasa dan atau bermodal besar. Sementara kesejahteraan rakyat hanya bagian dari efek domino, bukan sebagai tujuan utama. Itupun hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati.
Ditambah lagi dengan munculnya nama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai salah satu kandidat kuat kepala Otorita IKN. Wajar jika menimbulkan spekulasi ditengah publik akan adanya agenda terselubung. Rekam jejaknya yang sangat kontroversial, mulai dari gaya kepemimpinan yang kasar, hingga kasus penistaan Alquran, masih lekat dalam ingatan publik. Namun, fakta itu tak membuat penguasa mengindahkan kegundahan bahkan kemarahan rakyat. Terbukti, setelah yang bersangkutan bebas dari penjara karena kasus penistaan Alquran, justru dihadiahi kursi empuk Komisaris Utama PT. Pertamina (Persero). Melihat fakta ini, sangat mungkin terpilihnya Ahok menjadi Kepala Otorita IKNpun berjalan mulus. Apalagi wewenang tersebut khusus ada di tangan presiden.
Maka sejatinya narasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat hanyalah slogan yang realisasinya jauh panggang dari api. Faktanya, demokrasi adalah suara dari rakyat, tapi akhirnya dikendalikan oleh dan untuk para korporat. Bahkan, Mahfud MD yang kini menjabat Menko Polhukam, dulu tepatnya 8 tahun yang lalu, pernah mengkritisi demokrasi. Sempat viral statementnya yang menyatakan “Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga”.
Dalam sebuah diskusi bertajuk 'Peran Media Televisi Mencerdaskan Pemilih dalam Pemilu 2014' Mahfud menilai, hanya satu dari empat pilar demokrasi yang masih sehat, yaitu pers. Tiga pilar demokrasi yang lain yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif sudah busuk. "Permainan eksekutif dan yudikatif itu kan sudah diketahui banyak orang, ironisnya mereka tertawa-tawa saja dan tidak tahu malu. Yudikatif juga busuk luar biasa," kata dia. (merdeka.com, Rabu/26/06/2013).
Lantas apa yang mau diharapkan dari sistem ini? Bahkan para pelakunyapun telah mengakui kebobrokannya. Demokrasi adalah anak sekulerisme cabang politik. Asasnya adalah memisahkan agama dari kehidupan. Maka politik tidak boleh disangkut pautkan dengan agama. Sementara semua harus dijalankan dengan aturan. Akhirnya aturan politik dibuat oleh manusia. Maka wajar yang muncul adalah kekacauan.
Logika sederhananya, isi kepala manusia jelas tidak sama satu dengan yang lain. Inilah pemicu konflik, perselisihan dan pertentangan, karena semua pihak akan mempertahankan keinginan dan atau kepentingannya. Langkah kompromi akan terus diambil. Siapakah yang kemudian muncul sebagai pemenang? Tentu yang ada di puncak kekuasaan. Sementara untuk berkuasa butuh uang, masuklah para pemodal yang menawarkan jasanya, yang jelas bukan tanpa pamrih.
Inilah yang disebut Ustaz Ismail Yusanto, seorang cendekiawan muslim sebagai lingkaran setan PMMP, Power for Money, Money for Power. Orang-orang yang punya kekuasaan menggunakan kekuasan untuk mendapatkan uang. Uangnya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan lagi. Sementara para pemodal butuh legitimasi kekuasan untuk terus menumpuk uang (kekayaan)nya, melalui UU.
“Nggak ada ujungnya siklus itu, akan begitu seterusnya hingga masuk ke liang kubur”, tegasnya dalam sebuah interview virtual. Ustadz Ismail menyampaikan, bahkan kondisi tersebut telah digambarkan di dalam Al quran, yaitu Surat At Takatsur ayat 1-2: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur”.
Jika ternyata manusia tak layak membuat hukum, lantas siapa ? Maka jawabannya ada di Alquran Surat Yusuf ayat 40; “Keputusan itu hanyalah milik Allah”. Allah SWT-lah yang berhak mengatur apa-apa yang telah Dia ciptakan, yaitu manusia dan seluruh alam semesta. Sebagaimana pembuat handphone adalah orang yang paling tahu bagaimana mengoperasikan alat tesebut yang kemudian dituangkan dalam manual book. Maka manual book manusia adalah kitab suci Al quran yang Allah turunkan sebagai Al Huda (petunjuk). Dalam Al Maidah 47 Allah SWT berfirman: “...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik”.
Tidak seperti demokrasi, di dalam islam tidak ada kompromi antara yang hak dengan yang batil. Allah berfirman; “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (QS Al Baqarah: 42). Juga dalam QS Al Maidah: 50; “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.
Oleh Anita Rachman
Muslimah Peduli Peradaban
0 Komentar