Jasa Pendidikan Dikenai PPN, Perspektif Absurd Kapitalisme



Sejak dampak pandemi memukul ekonomi negeri, langkah menutup angka defisit anggaran sudah dilakukan dengan menambah utang dan pajak. Dalam jangka pendek, utang publik dapat menstimulasi permintaan massa saat krisis mendorong pertumbuhan ekonomi. Diharapkan, selanjutnya dapat meningkatkan pajak sehingga mendorong tingginya solvabilitas pemerintah (www.kemenkeu.go.id).

Mengulik alternatif pembiayaan menutup minus neraca pilihan, akhirnya jatuh kepada sektor perpajakan adalah hal yang sangat ironis. Saat rakyat berjuang keluar dari kondisi krisis dan berhadapan dengan virus Covid-19 dengan beban menjadi pengangguran, miskin, kelaparan, menderita, bahkan mati dalam keadaan menyedihkan, pajak justru makin mencekik.

Tentakel penerapan pajak makin menggurita. Dalam draf Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah berencana akan mengenakan PPN untuk sejumlah bahan pokok (sembako), jasa kesehatan hingga pendidikan. Target barang yang dipajaki itu berkontribusi dalam struktur penerimaan pajak, yaitu sekitar 42 persen (www.merdeka.com, 15/06/21).

Padahal, sesuai dengan PMK 011 Tahun 2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN. Penyelenggaraan PAUD, SD, SMP, SMA/SMK hingga Bimbingan Belajar termasuk yang tidak dikenakan PPN. Artinya, selama ini jasa pendidikan nasional bebas dari segala macam beban pajak (news.detik.com, 30/06/21). Gagasan pajak jasa pendidikan tentu perlu dikritisi.

Efek domino wacana PPN jasa pendidikan jika ditetapkan, tidak hanya akan memperberat beban operasional sekolah, tetapi juga berdampak pada menurunnya kesejahteraan guru, pengadaan sarana pendidikan akan terbatas, wali siswa semakin tercekik dengan keuangan pendidikan, dan siswa putus sekolah meningkat (Tempo.co, 15/06/21).

Sebagai kritikan, pernyataan yang disampaikan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bima Yudhistira bahwa kualitas pendidikan di Indonesia saat ini masih terlalu rendah untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Kenaikan tarif PPN untuk jasa pendidikan justru memperburuk keadaan dan bertentangan dengan fokus pemerintah memperbaiki kualitas SDM. Hanya untuk sekadar mengejar target pajak jangka pendek, kebijakan ini sungguh tidak tepat (tribunnews.com, 18/06/21).

Konsekuensi penerapan pajak jasa pendidikan akan menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat. Meskipun pelaksanaannya masih dipilah akan dibebankan pada grade pendidikan tertentu dengan mekanisme nilai berbeda, tetap saja penarikan 12% PPN jasa pendidikan (Kontan.co.id, 10/06/21) adalah beban nyata yang harus dipikul rakyat berbarengan dengan wabah ganas saat ini. Dengan adanya administratif otonomi pendidikan yang liberal sekaligus Pajak Pertambahan Nilai pendidikan tampak jelas kapitalisasi kepentingan terhadap pendidikan di negeri ini sangat kuat mengakar.

Melansir laman Tirto.id, (12/06/21), Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyatakan bahwa mengenakan PPN pada jasa pendidikan sama saja mengarahkan pendidikan Indonesia ke arah komersialisasi dan privatisasi. Berbahaya karena negara melepas tanggung jawab pendidikan yang merupakan hak asasi bagi seluruh warga negara.

Jelas logika absurd jika pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat dibebankan pada rakyat plus harus dikenai pajak. Sejatinya, pendidikan adalah pondasi kekuatan sebuah negara. Pendidikan akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkontribusi kepada negara dan keutamaan kualitas pembangunan sebuah peradaban.

Menelaah pembiayaan pendidikan yang tepat, rinci dan menyeluruh untuk setiap keperluannya adalah salah satu kunci keberhasilan sebuah negara menyelenggarakan pendidikan terbaik untuk rakyatnya. Dua puluh persen anggaran pendidikan dalam anggaran belanja negara sampai saat ini selalu jauh panggang dari api dalam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negara. Pajak jasa pendidikan bukanlah solusi melainkan masalah baru bagi penyelenggaraan pendidikan berkualitas di negeri ini.

Berbeda halnya dengan sistem pendidikan dalam Islam. Sebagai kewajiban negara dalam memenuhi pendidikan yang berkualitas untuk rakyat, rasio pendidikan dalam Islam selalu dibuat dalam kondisi yang ideal. Kebutuhan pendidikan dalam Islam akan memasukkan variabel dasar seperti jumlah siswa yang sekolah, rasio guru:siswa, rasio sekolah:siswa, rata-rata gaji guru per bulan, biaya operasional sekolah per bulan (ke-TU-an, kebersihan, buku, dll), rasio lulusan SMA ke pendidikan tinggi, rasio dosen:mahasiswa, rasio perguruan tinggi:mahasiswa, biaya operasional perguruan tinggi per bulan (ke-TU-an, kebersihan, buku, lab, dll). (Membangun Indonesia Tanpa Pajak Dan Hutang:2010)

Variabel ini akan dipenuhi dengan pembiayaan yang realistik dan berkesinambungan. Pertambahan kebutuhan atau faktor baru dalam pos pendidikan, akan tetap dipenuhi oleh negara sebagai pengeluaran wajib. Dalam pemenuhannya, penerapan sistem ekonomi Islam yang kokoh adalah jaminan utama. Pengelolaan harta negara, harta umum dan individu sesuai dengan petunjuk syara’. Pemasukan dan pengeluaran harta oleh Baitul Maal menjadi tanggung jawab kepala negara secara langsung.

Walhasil, wacana PPN jasa pendidikan saat pandemi dan pelaksanaannya pasca pandemi adalah nalar yang pendek. Munculnya gagasan ini karena ekonomi negara selalu ditopang oleh pajak dan utang. Imbas kekurangan anggaran pasti akan selalu muncul karena sektor riil diabaikan. Akhirnya, tambal sulam yang memungkinkan adalah dengan memperluas kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan. Mempertemukan lembaga pendidikan sebagai penyelenggara dan orangtua partisipan pendidikan sebagai pengguna hanya salah satu efek turunan kebijakan ini. Sedangkan, negara hanya sebagai fasilitator bertemunya penyelenggara dan pengguna pendidikan. Kapitalisme adalah halangan terbesar terwujudnya pendidikan berkualitas.

Solusinya diperlukan pemikiran yang menyeluruh untuk mengatasi masalah pendidikan yang mengakar karena penerapan sistem positif kapitalis saat ini. Merevolusi sistem anggaran pendidikan yang tidak lagi bertumpu pada pajak dan utang sebagai sumber pendapatan utama, mengubah paradigma dasar pengaturan ekonomi negara dari kapitalistik yang liberal menuju paradigma ekonomi Islam harus segera dilakukan.

Tidak cukup dengan itu, negara juga harus menjadi pengelola tunggal aset-aset umum untuk kepentingan warga negara, hilangkan privatisasi pengelolaan aset menjadi pengelolaan berbasis negara, serta mencari alternatif pembiayaan lain yang tidak membawa implikasi buruk bagi perekonomian dan politik rakyat (Endah Kartikasari:2010).

Semua hal di atas telah diterapkan dalam sistem Islam berabad-abad lamanya. Solusi ini akan menyelesaikan persoalan multidimensi di negeri ini dalam penyusunan APBN untuk pos-pos pembiayaan keperluan rakyat. Khususnya, pembiayaan sektor pendidikan sebagai jaminan mewujudkan sumber daya manusia yang cemerlang dan gemilang di masa depan. Terapkan aturan Islam kaffah dalam naungan sistem Islam yang tangguh berdasarkan cara pandang hidup yang khas adalah syarat awal terwujudnya solusi fundamental ini, Wallahu ‘alam bishshawwab.


Oleh N. Suci M.H.

Posting Komentar

0 Komentar