Kampung Teko, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat di masa lampau terkenal asri dengan dataran tinggi seluas 6 hektar yang ditumbuhi banyaknya pepohonan rindang (tirto.id, 08/01/2018).
Seiring waktu, Jakarta menjadi kota metropolitan, luas wilayah ini tersisa 3 hektar dengan jumlah warga 200 KK (cnbcindonesia.com, 29/09/2021).
Kini, kondisi permukiman warga terapung di atas banjir langgeng dengan air limbah pabrik sekitar turut “menghijaukan” suasana (okezone.com, 10/02/2018).
Tidak ada tanah asli di Kampung Teko saat ini. Tanah tenggelam oleh air. Pengerukan tanah untuk pergudangan menciptakan kesenjangan pembangunan antara perusahaan dengan populasi dan ekologi. Hal itu menjadikan daerah harmonis ini berubah menjadi Kampung Apung (kompasiana.com, 26/11/2013).
Tiga puluh tahun lebih sudah warga Kampung Apung hidup dengan kubangan air hijau. Sanitasi yang buruk, membangun ulang rumah berkali-kali dan harus membeli air bersih untuk minum hanya bagian kecil beban hidup yang harus ditanggung warga. Persoalan seriusnya adalah masa depan penduduk tanpa kepastian sejahtera sekaligus terlayani dengan baik.
Revitalisasi dengan anggaran dua belas miliar untuk memperbaiki saluran air, tersandung posisi dilematis karena bertumpuknya instalasi bawah tanah di area Kapuk dan Penjaringan. Berhimpitan dengan instalasi pipa gas, kabel listrik, dan kabel telepon (metro.tempo.co, 13/04/2013).
Kacaunya peruntukan tata ruang akibat menumbalkan sawah dengan saluran irigasi selebar dua meter yang beralih fungsi menjadi lahan industri tidak terbantahkan (medcom.id, 30/11/2014).
Sejak lenyapnya saluran irigasi, genangan air dan sampah permanen yang awalnya dua meter saja sejak 1990 menjadi kedalaman enam meter saat ini (antvklik.com).
Kerusakan akibat tidak benarnya eksploitasi ruang oleh industri di Jakarta bukan peristiwa yang baru terjadi. Kerakusan korporasi akan laba semata mengorbankan kehidupan sinergis warga sekitar dengan alam adalah harga tunai ekspansi ala kapitalisme.
Menelusuri peran penguasa yang diwakili pemerintah daerah, ditemukan banyaknya penanganan kontraproduktif yang diterima warga. Penataan daerah ini menyebabkan penghuni Kampung Apung gelisah karena solusi pemerintah kota berubah-ubah.
Target jangka pendek yang dilakukan pembesar Jakarta bersama instansi terkait adalah mengeringkan paluh debit air dan menguruk lahan. Ironisnya, usaha ini menjadi rumit karena jalan akan lebih tinggi sehingga air sulit mengalir ke aliran. Kemudian, konsep jangka panjang yang ditawarkan pemerintah meliputi tiga hal yang pada akhirnya juga tidak pernah terwujud.
Penawaran pertama adalah pembebasan tanah agar masyarakat sekitar yang terdampak dapat berpindah ke tempat tinggal baru. Realitasnya hanya angan, sebab dana yang harus disiapkan sangat besar dan tidak mampu dipenuhi pemprov. Langkah kedua adalah dengan membangun rusunawa dan ketiga pembangunan jalan yang menghubungkan Pondok Indah dengan Bandara Soekarno-Hatta (Bisnis.com, 21/03/2014).
Ketiga hal di atas pada kenyataannya hanya bentuk negosiasi saja, upaya tambal sulam dan mengulur waktu membenahi masalah rakyat di ujung Jakarta ini. Ketidaksiapan perangkat manajemen kota dalam menghadapi proses perkembangan kota yang begitu cepat dan cenderung liar, semakin memperkuat penderitaan warga Kampung Apung (Santoso, 2006:90).
Industri merupakan salah satu variabel pendorong perubahan sosial yang dominan dalam ekonomi kapitalis. Industrialisasi di negara berkembang menjadi model pembangunan untuk mengejar optimalisasi pertumbuhan kapitalisme ekonomi.
Kebutuhan utama pabrik adalah lahan. Hal ini tentu membutuhkan mekanisme terkait politik palka. Dalam hal ini, kapitalisme memaksakan bentuk dan mendominasi lajur-lajur kota atau kebijakan pengaturan ruang kota inklinasi terhadap interes kapitalisme dalam rupa korporasi. Lantas, acuan politik petak inilah yang menjiwai perusahaan-perusahaan berbasis kapitalis memeras dayaguna kavling meski harus mengorbankan kehidupan manusia, penghidupannya dan juga alam sekitar.
Aldo Rossi, dalam bukunya The Architecture of the City (1966) menuliskan bahwa kekuatan ekonomi menjadi penentu dalam perubahan sebuah kota. Di sinilah paradoks pengembangan kota seringkali terjadi, ketika determinasi ekonomi sangat tinggi menolak aspek-aspek lain yaitu lingkungan dan sosial. Indikasinya adalah melepaskan strategi pola bilik wilayah pada mekanisme pasar dan kekuatan kapital seperti pemberian persetujuan pada kongsi besar dalam memilih tanah di dalam perkotaan.
Eksistensi kapitalisme dalam memproduksi ruang menjadi ajang komoditas yang mengalienasi target-target di luar ekonomi seperti ekologi dan sosial (Lefebvre:1991), menjadikan limbah, banjir dan kemiskinan menimpa pemukiman seperti Kampung Apung.
Pemikiran Noorena Hertz (2003), menyebutkan pemerintah saat ini lebih memilih bersekongkol dengan para pemilik modal yang minoritas dibanding rakyat secara mayoritas berimplikasi terhadap pembangunan hanya berorientasi pada keuntungan semata. Ketersediaan ekosistem dan keterlibatan sosial masyarakat hanya akan membuang waktu dan investasi ekonomi yang maksimal untuk korporasi.
Logika neoliberalisme inilah yang menghinggapi kebijakan penguasa daerah terhadap kelola tanah Kampung Apung. Walhasil, selama paradigma ini dibiarkan mengurusi persoalan warga di Kapuk, maka tidak akan menghasilkan solusi paripurna. Persekutuan jahat penguasa dan investor tidak akan terbendung yang berarti rakyat di Kampung Apung akan terus hidup dalam kepungan air limbah pabrik. Miris hidup dalam cengkeraman sistem kapitalisme.
Solusinya, kesadaran individu, masyarakat dan negara akan salahnya cara pandang sekuler kapitalisme yang melandasi aturan hipokrit melilit hidup dan kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara harus muncul. Kesadaran itu sebagai kritik dan semangat berjuang menerapkan cara pandang yang benar berdasarkan rujukan yang shahih dari Pencipta kehidupan, alam semesta dan manusia yaitu aturan Islam Kaffah.
Terapkan Islam dengan syariat-Nya akan membawa manusia pada kehidupan mulia. Syariat Islam mencegah pencemaran lingkungan dan kerusakan alam. Dengan lestarinya alam semesta akan memberikan kesejahteraan yang terukur bagi setiap orang yang hidup di bumi. Tentu tidak bisa dilepaskan dari pemimpin yang berani menerapkan aturan Islam dengan kaffah agar optimalisasi Islam rahmat bagi seluruh alam terwujud.
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: “Bertakwalah kalian dari tiga laknat: bertempur di sumber air, melubangi jalan, dan merusak tempat berteduh” [Al-Adzim Abadi, Aunul Ma’bud (1/13)].
Hanya aturan Islam yang mampu melindungi penduduk Kampung Apung Cengkareng dan manusia seluruhnya dari tiga laknat tersebut. Terbukti, penerapan sistem sekuler kapitalisme justru mengekalkan insan pada label laknat Allah Swt. Tinggalkanlah sistem yang merusak. Segera perjuangkan sistem yang memberi kehidupan yang sebenarnya, Islam dan syariat-Nya yang kaffah, Wallahu ‘alam bishshawwab.
Oleh N. Suci M.H.
0 Komentar