Kekerasan KKB, demi Apa?


Kekerasan yang dilakukan KKB di Papua kembali terjadi dan memakan korban. Kali ini korbannya tenaga medis di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Penyerangan terjadi Senin, 13/9/2021. Evakuasi dilakukan terhadap 10 orang, terdiri dari 1 prajurit TNI yang mengalami luka tembak dan 9 tenaga kesehatan (nakes), yaitu 1 dokter, 3 perawat wanita dan 5 mantri. Kondisi mereka sekarang mengalami traumatik yang cukup parah. Selain menerima perawatan fisik mereka juga menerima perawatan psikis (CNNIndonesia.com, 19/9/2021).

Banyak pihak mengecam terjadinya penyerangan tersebut, terlebih kondisi pandemi seperti ini. Apalagi nakes di daerah pedalaman Papua sangat dibutuhkan. Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena meminta pemerintah segera mengusut kasus tersebut dan mengecam keras segala bentuk kekerasan di Papua (merdeka.com, 19/9/2021).

Dilansir halaman kompas.com, 20/9/2021, Penyerangan nakes bermula dari kontak senjata antara personel TNI Satgas Pamtas 403/WP dengan KKB yang terjadi di Distrik Kiwirok. Akibat kejadian yang berlangsung sekitar empat jam tersebut, seorang anggota TNI mengalami luka tembak di bagian tangan dan sejumlah fasilitas umum dibakar. Fasilitas umum yang dibakar KKB adalah Puskesmas Kiwirok, Kantor Bank Papua Perwakilan Distrik Kiwirok, Kantor Distrik Kiwirok, Sekolah Dasar Kiwirok dan Pasar Kiwirok.

Akibat serangan tersebut, pelayanan kesehatan di kabupaten pegunungan bintang sempat dihentikan. Harapan para nakes di sana, ada jaminan dari pihak berwenang agar mereka dapat menjalankan tugas dengan aman dan kondisi ini tidak menimpa nakes yang sedang bertugas di distrik-distrik yang lain (bbcnews.com, 21/9/2021).

IDI menegaskan dalam situasi konflik, nakes seharusnya tidak menjadi target kekerasan dan dilindungi berdasarkan Resolusi PBB dan UU HAM dan UU Penanggulangan Bencana.
Senada dengan IDI, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, drg. Widyawati, MKM sangat menyayangkan peristiwa itu (suara.com, 17/9/2021).

Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Bernard Ramandey menyebut tindakan penganiayaan dan kekerasan oleh KKB tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Tindakan ini mencederai kemanusiaan karena tenaga kesehatan, guru dan masyarakat sipil tidak boleh menjadi korban (sindonews.com, 22/9/2021).

Selanjutnya, dilansir Republika.co.id, 25/9/2021, menurut Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, penyerangan yang dilakukan KKB terhadap orang sipil ataupun tenaga medis masuk dalam pelanggaran sangat serius di hukum internasional. Dia menjelaskan, dalam hukum internasional ada konvensi Jenewa yang mengatur perlindungan bagi tenaga medis maupun sipil di wilayah konflik yang harus dipatuhi oleh semua negara di dunia.

Bahkan, konvensi Jenewa juga mengatur larangan melibatkan fasilitas tenaga medis dalam aksi kemiliteran. Seperti, pemanfaatan rumah sakit atau puskesmas oleh pihak bersenjata demi mendapat keuntungan. Indonesia turut serta meratifikasi konvensi tersebut. Artinya, semua negara harus mematuhi konvensi Jenewa. Yaitu salah satunya untuk tidak boleh melakukan serangan terhadap orang sipil terutama tenaga medis. Tidak boleh juga melibatkan mereka dalam aksi kemiliteran, misal puskesmas atau rumah sakit tidak boleh digunakan oleh pihak bersenjata.

Dikutip dari laman hukumonline.com, terkait Perlindungan Hukum bagi tim medis di wilayah konflik, 19/12/2011, dikatakan bahwa Konvensi Jenewa pertama tanggal 12 Agustus 1949 “Konvensi Jenewa” di antaranya dalam Bab IV tentang Anggota Dinas Kesehatan. Pada dasarnya, mengutip penjelasan halaman 7 buku “Ringkasan Konvensi-Konvensi Jenewa Tertanggal 12 Agustus 1949 serta Protokol-Protokol Tambahannya” yang diterbitkan oleh Komite Internasional Palang Merah, demi kepentingan orang-orang yang cedera, sakit dan korban kapal karam setiap kesatuan medis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah kekuasaan pihak yang berwenang harus dilindungi.

Konvensi Jenewa diratifikasi oleh negara Indonesia dengan diterbitkannya UU No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949 (“UU No. 59/1958”). Maka, artinya Konvensi Jenewa ini juga berlaku di Indonesia. Mengingat bahwa ratifikasi Konvensi Jenewa ini dilakukan dengan menerbitkan UU No. 59/1958. Maka, Konvensi Jenewa ini juga berlaku mengikat layaknya Undang-Undang pada umumnya di Indonesia.

Jadi, dapat dikatakan bahwa peraturan khusus di Indonesia dan dunia Internasional yang mengatur mengenai perlindungan nakes di medan perang adalah Konvensi Jenewa ini. Namun, tetap saja kekerasan terjadi dan menimpa tim medis dan rakyat sipil. Komnas HAM juga belum melihat reaksi pihak internasional terhadap serangan tersebut (Tribunnews.com, 25/9/2021).

Kekerasan demi kekerasan terus mewarnai konflik yang ada di Papua. Bahkan yang terbaru, pada 3 Oktober terjadi bentrok juga di Yahukimo, Papua. Peristiwa itu menyebabkan 6 tewas dan puluhan luka-luka termasuk fasilitas umum juga mengalami kerusakan karena dibakar massa.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Koordinator Jaringan Damai Papua di Jakarta, Adriana Elizabeth menjelaskan, konflik bersenjata yang terjadi di Papua tidak disebabkan oleh satu faktor. Konflik bersenjata yang terjadi di Papua sumbernya memang karena ada gerakan separatis bersenjata. Namun di balik itu, biasanya juga ada faktor lain mengapa eskalasi konflik bersenjata terus meningkat. Menurutnya, ada kepentingan praktis juga karena ada sumber daya alam (SDA). Pegunungan Tengah itu kantong yang sangat potensial. Terkait persoalan SDA, coba cek dokumen yang ditandatangani Gubernur Papua pada Juli 2020 ini tentang pembukaan blok baru. Itu adanya di kabupaten Intan Jaya. (Beritasatu.com, 29/10/2020).

Blok baru itu sekarang ramai dibicarakan yakni gunung emas blok wabu. Di mana kualitas emasnya lebih bagus daripada tambang yang dikelola Freeport sebelumnya. Pengajar Departemen Manajemen Kebijakan Publik UGM yang juga terlibat aktif dalam Gugus Tugas Papua UGM, Dr. Gabriel Lele mengutarakan bahwa konflik yang terjadi di Papua merupakan pertemuan dari berbagai kepentingan yang berbeda. Banyak terjadi konflik di Papua meski pembangunan dari pemerintah sudah begitu masif.

Dia memaparkan 3 tesis yang berbeda. Tesis pertama yang bersifat ideologis, ujarnya, adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara pembangunan dengan konflik. Sebesar apa pun pembangunan, kaum ideologis menyatakan ingin tetap memisahkan diri. Tesis kedua yang ia sebutkan adalah dari kaum developmentalis yang menyatakan bahwa pesatnya pembangunan gagal menjawab kebutuhan masyarakat. Karena yang menikmati semakin terbukanya isolasi justru bukan orang asli Papua. Sementara itu, tesis ketiga melihat dari sudut pandang ekonomi politik di mana muncul anggapan bahwa ada bisnis konflik di balik peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi.

Senada dengan itu, Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, menyebut ketimpangan antar pelaku ekonomi sebagai salah satu kemungkinan penyebab munculnya konflik. Kerusakan akibat proses akumulasi kapital yang tidak peka terhadap kondisi lokal, ujarnya, juga tampak dalam kompetisi tidak sehat antara pelaku usaha besar versus usaha kecil-mikro (ugm.ac.id,7/9/2019).

Tampaknya, kepentingan kapitalisme yang dominan memicu konflik kepentingan di Papua. Separatisme bersenjata bisa jadi alat untuk kepentingan para kapital asing menguasai SDA Papua yang kaya. Terbukti kontrak PT Freeport Indonesia diperpanjang sampai tahun 2041. Terbaru, sengketa terkait blok wabu yang memiliki potensi mineralnya besar.

Data Kementerian ESDM 2020 menunjukkan, Blok Wabu memiliki sekitar 117.26 ton bijih dengan rata-rata kadar emas 2,16 gram per ton emas (Au) dan 1,76 gram per ton perak. Artinya, setiap 1 ton material emas dari tanah memiliki kadar sebesar 2,16 gram per ton emas dan 1,76 gram per ton perak. Jika potensi itu diukur dengan harga emas sekarang yang mencapai US$ 1.750 per troy ounce emas, artinya potensi pendapatan dari perusahaan yang mengolah Blok Wabu mencapai US$ 14 miliar atau nyaris Rp300 triliun.

Sungguh sangat menggiurkan, selanjutnya kasus blok wabu inilah yang menyeret nama Luhut Binsar Panjaitan. Rumor yang beredar, dia akan memegang kendali eksplorasi gunung emas Blok wabu. Info ini didapat dari video YouTube Haris berjudul “Ada Lord Luhut di balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya Jenderal Bin Juga Ada” dalam Youtube pribadinya, 20 Agustus lalu. Dalam video itu disebutkan ada permainan penguasaan tambang sebelumnya diungkap dalam laporan bertajuk “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”.

Laporan ini merupakan hasil kerja bersama antara YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia dan gerakan #BersihkanIndonesia. Berdasarkan laporan tersebut, ada empat perusahaan yang teridentifikasi menguasai konsesi lahan tambang di Blok Wabu. Satu di antaranya adalah PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) yang diduga terhubung dengan Toba Sejahtra Group (Perusahaan milik Luhut). Kasus video ini akhirnya membuat Hariz Azhar dilaporkan ke kantor Polisi (Tempo.co, 1/10/2021).

Jadi, seakan tidak peduli berapa banyak korban jiwa yang harus dibayar akibat sengketa dan perebutan kekayaan alam yang hendak di monopoli oleh segelintir kaum kapitalis. Menurut mereka asal menguntungkan sedikit korban itu hal biasa. Akhirnya, negeri kaya ini hanya dinikmati oleh mereka. Sedangkan, rakyat hanya bisa terpana dengan menatap asa yang tidak kunjung sejahtera.

Ketika menelaah lebih dalam, Papua dengan kekayaan alamnya yang luar biasa merupakan aset bangsa Indonesia yang harus terus dijaga. Papua dengan aset yang masih perawan, bahkan disinyalir baru 3% saja wilayah Papua yang di eksplorasi. Maka sangat wajar, jika banyak pihak baik swasta dalam negeri atau asing mengincarnya. Eskalasi kekerasan yang tampaknya terus meningkat memberi indikasi tuntutan disintegrasi yang semakin menguat.

Keberagaman dituding selalu jadi pemicu konflik. Padahal, itu adalah fitrah bagi negeri ini. Perbedaan suku, ras, agama, sejarah Papua dengan kekayaan alamnya yang luar biasa merupakan aset bangsa Indonesia. Maka, harus disatukan dengan konsep yang akan meleburkan.

Allah Swt. sebagai Pencipta alam manusia dan kehidupan ini, telah berfirman: "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti" (TQS Al Hujurat:13).

Sehingga, tidak perlu perbedaan itu menjadi perpecahan, selain memang harus ada perlakuan yang adil oleh Pemerintah. Keadilan dalam pembangunan infrastruktur dibutuhkan sesuai dengan kondisi, juga keadilan dalam pembangunan lainnya. Agar Papua merasa ‘ingroup’ dengan bangsa Indonesia. Sementara, kaum separatis yang menghendaki disintegrasi harus ditangani dengan tegas. Pemahaman yang komprehensif terhadap masalah di Papua mutlak dilakukan agar tidak keliru dalam penanganan kaum separatis ini. Terutama bila mereka bersembunyi di balik LSM atau organisasi keagamaan yang disokong oleh kepentingan asing lainnya, Wallahu a'lam Bishawab.


Oleh Hanin Syahidah

Posting Komentar

0 Komentar