Kekerasan Seksual Tak Pernah Tuntas Teratasi, Dampak Kebebasan Berbalut Hak Asasi


Pergaulan bebas telah menjadi gambaran gaya hidup sebagian remaja kita hari ini. Klaimnya, bergaul harus mengikuti zaman, biar nggak ketinggalan. Dan tayangan televisi maupun media sosialnya pun semakin mendukung ide kebebasan bergaul tadi. Tidak lagi melihat adab ataupun moral apalagi agama, yang penting meraup keuntungan dan mengikuti orang kebanyakan.

Kemudian keluhanpun muncul. Kekerasan seksual semakin marak menimpa perempuan dan anak-anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yaitu sekitar 7.191 kasus. (antaranews.com, 4/06/2021). Sementara sejak 1 Januari 2021 sampai 16 Maret ada 426 kasus kekerasan seksual dari 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. (kompas.com, 19/03/2021).

Bahkan pihak Kemen PPPA mengakui bahwa kasus yang nampak ibarat fenomena gunung es, dimana yang terdata terlihat kecil, sementara kasus yang sebenarnya jauh lebih besar namun tak terungkap. Mirisnya, tak sedikit ditemukan pelakunya adalah paman, kakak, kakek bahkan ayah kandung korban. Termasuk yang baru-baru ini viral bagaimana seorang ayah tega memperkosa tiga anak kandungnya yang masih di bawah umur, dan kasus-kasus serupa lainnya.

Apakah tayangan televisi maupun media sosial menjadi satu-satunya pemicu? Jelas tidak, tapi cukup memberi dampak signifikan. Bahkan sejak tahun 2015, tepatnya enam tahun yang lalu, kekhawatiran ini telah disampaikan Tati Nugrahati, Kepala Pusat Penyuluhan Sosial dari Kementerian Sosial. Tati menyampaikan; “Sumber yang kami dapatkan dari Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan, anak-anak mendapatkan pornografi dari komik sebanyak 23%, game 17%, situs 17%, film 13%, dan 57% sinetron Indonesia mengandung pornografi”. (antaranews.com, 4/07/2015).

Apalagi dengan hantaman pandemi covid-19, aktivitas serba online membuat orang-orang termasuk remaja dan anak-anak terjebak dengan gadget dan internet. Informasi apapun bebas diakses termasuk pornografi. Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menyatakan bahwa Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) mengalami peningkatan sebesar 920% di masa pandemi. (antaranews.com, 23/07/2021). Jenis kekerasannya mulai dari pelecehan, perdagangan manusia, peretasan, layanan pronografi, ancaman menyebar video dan lain-lain.

Selama ini solusi difokuskan pada pendidikan seks sejak dini, penangangan dan pendampingan korban (setelah terjadi) serta hukuman bagi pelaku. Namun langkah-langkah tersebut belum juga mampu mengatasi kasus kekerasan seksual hingga tuntas. Mengapa demikian, karena ada kesalahan dalam mengenali akar masalah. Media televisi maupun internet bukanlah akar masalah yang sebenarnya. Karena keduanya hanyalah alat yang sifatnya netral. Tergantung dari individu manusia yang menjadi operator alat tersebut.

Hari ini, manusia diberikan kebebasan dalam banyak hal atas nama hak asasi. Bebas berpakaian, bebas berbicara, bebas berperilaku/bergaul dan sebagainya. Inilah akar permasalahan yang menyebabkan mengapa kasus kekerasan seksual tak pernah tuntas. Mari kita buktikan dengan membandingkan prinsip kebebasan tadi dengan aturan yang datangnya dari Islam.

Pertama, di dalam Islam yang pertama kali ditanamkan adalah akidah atau keimanan, tentang halal-haram, dosa dan pahala. Bahwa tidak ada yang terlewat dari pengawasan dan pengadilan Allah Swt dari setiap yang kita lakukan, baik dalam ibadah ritual maupun di luar ibadah ritual, termasuk dalam pergaulan. Hari ini yang dikejar adalah kepuasan hidup yang akan ditempuh dengan cara apapun, bebas.

Di dalam Islam ada kewajiban menundukkan pandangan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dikuatkan dengan perintah menutup aurat secara sempurna bagi wanita. Tujuannya tidak lain adalah untuk saling menjaga diri dan kehormatan. Karena memang fitrahnya manusia akan terangsang syahwatnya ketika melihat aurat terbuka. Di bawah prinsip kebebasan, pacaran dan mengumbar aurat adalah biasa dan tidak dianggap sebagai dosa.

Di dalam Islam pergaulan laki-laki dan perempuan terpisah kecuali untuk hal-hal seperti jual beli, rumah sakit, pengadilan dan yang disebutkan boleh menurut syariat berdasarkan dalil. Sementara hari ini, campur baur laki-laki perempuan terjadi di setiap sudut mata memandang.

Di dalam Islam, masyarakat dengan landasan aqidah yang sama-sama kuat, tidak akan diam ketika melihat kemaksiatan. Ini akan menjadi kontrol sosial yang efektif. Tidak seperti hari ini, masyarakat acuh tak acuh karena merasa bukan urusannya. Padahal azab Allah timpa-kan tidak hanya kepada pelaku, namun juga kepada siapapun yang mendiamkannya.

Di dalam Islam konten-konten yang merusak aqidah sama sekali tidak akan diberikan ruang. Media yang ada berfungsi untuk sarana pendidikan dan dakwah Islam. Di dalam Islam negara benar-benar menjatuhkan sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar. Hukum cambuk atau rajam sampai mati bagi pezina akan menjadi sanksi yang berdaya cegah sekaligus memberikan efek jera. Bandingkan dengan sistem peradilan hari ini, pelaksanaan dan dampaknya. Samakah dengan sistem peradilan di dalam Islam?

Maka, selama prinsip kebebasan atas nama hak asasi tadi masih diusung, selama itu pula kasus apapun akan terus berkepanjangan. Karena prinsip kebebasan ini lahir dari paham sekulerisme. Sistem buatan manusia yang merasa mampu mengatur hidupnya, dengan memisahkan agama dari kehidupan. Ibadah memakai aturan agama, sementara masalah kehidupan dijalankan sesuai kehendak manusia. Maka yang terjadi adalah kerusakan dan kehancuran. Karena hanya Allah Yang Maha Tahu bagaimana mengatur kehidupan manusia dan seluruh alam semesta.

Jadi mau pilih yang mana?


Oleh Anita Rachman
Muslimah Peduli Peradaban

Posting Komentar

0 Komentar