Seperti yang kita ketahui, beberapa wilayah di negara kita Indonesia selalu langganan mendapatkan musibah banjir hampir setiap tahunnya di musim penghujan. Begitu pula yang dialami Kota Bekasi, 10 RW yang berada di Perumahan Bumi Satria Kencana (BSK) Kelurahan Kayuringin kota Bekasi mengadakan pertemuan dengan DPRD Kota Bekasi, sehubungan dengan kekhawatiran terhadap proyek duplikasi Crossing Tol dan Tarum Barat. Meskipun menurut Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) proyek tersebut merupakan bagian dari rencana penanganan banjir, namun bagi warga justru sebaliknya, malah bisa menyebabkan potensi banjir yang lebih parah dari sebelumnya dengan kerugian material dan immaterial yang lebih besar. Warga mengajukan tuntutan berupa pembangunan turap dan normalisasi Kali BSK, Kalijati dan Rawatembaga, serta dibuatkan saluran air dari crossing Tarum Barat ke rumah pompa air yang berada di belakang Mall Mega Bekasi (httpsradarbekasi.id, 11 Oktober 2021).
Di sisi lain, PT. Fajar Surya Wisesa (FSW) mendapatkan protes dari pihak Kawal Lingkungan Hidup Indonesia (KAWALI) Bekasi Raya sehubungan dengan penyempitan Daerah Aliran Sungai (DAS) di kali Cikarang. Meski PT. FSW telah dinyatakan bersalah, namun belum ada tindak lanjut hukum dari pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi maupun dari pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane. Sampai saat ini PT. FSW masih tetap dibiarkan beroperasi (penamerdeka.com, 8 Oktober 2021).
Sedangkan dari pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Kabupaten Bekasi sendiri, telah melakukan tindakan pencegahan bencana banjir berupa pemancangan 3.000 bambu pada salah satu tanggul yang dinilai kritis di Kampung Tapak Serang, Desa Lenggahjaya, Kecamatan Cabangbungin. Selain itu juga ditambah dengan peletakan 5.000 karung pasir dan 50 bronjong di bawahnya. Tindakan ini dinilai dapat menghambat laju air saat volume sungai Citarum meluap akibat hujan deras di musim Penghujan (megapolitan.kompas.com, 8 Oktober 2021).
Jika kita pikirkan lebih mendalam, maka sungguh sangat mengherankan. Mengapa proyek duplikasi Crossing Tol dan Tarum Barat diklaim sebagai rencana penanggulangan banjir? Sedangkan kenyataan yang dirasakan warga justru sebaliknya. Dan itu pun belum sepenuhnya selesai. Lalu soal masalah dana yang masih belum jelas apakah akan menjamin bisa cair seluruhnya sampai target waktu penyelesaian proyek. Dilihat dari segi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pun, sama sekali tidak mencerminkan tindakan preventif maupun pemulihan terhadap bencana. Seharusnya Pemerintah setempat melibatkan para ahli di bidang lingkungan hidup, para ilmuwan dan cendekiawan, tokoh masyarakat, perwakilan warga setempat, serta bekerja sama melakukan penelitian yang mendalam sebelum mengambil keputusan untuk menjalankan suatu proyek.
Senada dengan proyek tersebut, kasus PT. Fajar Surya Wisesa di Kali Cikarang juga sama mengherankannya. Kita semua mengetahui bahwa jika Daerah Aliran Sungai dipersempit, maka volume air yang bisa ditampung sungai juga semakin sedikit. Sedangkan dalam waktu dekat akan ada musim penghujan dengan kemungkinan bencana banjir. Tindakan mempersempit aliran sungai justru akan semakin memicu datangnya bencana banjir yang jauh lebih besar dikarenakan kurangnya daya tampung sungai terhadap volume air. Hukum yang berlaku juga mengundang dilema. Pihak yang berwenang tidak bisa bertindak tegas dikarenakan pada UU Pemerintahan Daerah, Pemda Kabupaten/Kota tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sedangkan pada UU Sumber Daya Air (SDA) terbaru, diatur mengenai tugas dan kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota berkaitan dengan pengaturan dan pengelolaan Sumber Daya Air yang tentunya hal ini sangat berkaitan dengan Pengelolaan DAS.
Ketidak jelasan hukum inilah yang mungkin menjadi penyebab pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bekasi maupun dari pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane terkesan tutup mata dan membiarkan tersangka PT. FSW masih bebas beroperasi.
Tindakan yang dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Kabupaten Bekasi berupa pemancangan bambu dan sebagainya, kita apresiasi sebagai sesuatu yang baik. Namun hal tersebut belum bisa dikatakan sebagai pemecahan masalah banjir hingga ke akar-akarnya. Pemancangan bambu, peletakan karung pasir dan bronjong hanya cukup untuk penanggulangan sementara, bukan selamanya.
Jika ditarik rangkumannya, maka dari ketiga kasus di atas bisa diambil beberapa inti permasalahannya. Yang pertama soal kurangnya penerapan AMDAL dan kepedulian terhadap kepentingan rakyat. Kedua, adanya ketidak jelasan hukum dan kurangnya kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang merusak alam, melanggar hukum, dan merugikan orang banyak. Ketiga, belum terlaksananya penelitian yang mendalam dengan para ahli di bidangnya, ilmuwan dan cendekiawan anak bangsa, tokoh masyarakat, serta perwakilan warga setempat yang sudah sangat mengenal akan tanah tempat tinggalnya, untuk menghasilkan suatu produk pemikiran dan solusi tuntas dalam mengatasi bencana banjir hingga ke akar permasalahannya.
Begitulah jika kita, sebagai umat Islam, jika bergantung pada produk hukum dan sistem hidup buatan manusia saat ini. Seringkali terasa tidak adil dan membuat kecewa. Padahal kalau kita merujuk pada hukum Allah yang tertuang dalam Al-Qur'an dan Hadits, serta contoh baik dari para sahabat, akan kita temui betapa adil dan mulianya Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam meriayah lingkungan alam tempat kita tinggal.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam QS. Al-a'raf ayat 56, "dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala mengenai kerusakan lingkungan juga termaktub dalam Qur’an Surat Ar-Rum ayat 41, "telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Sejalan dengan tiga kasus kerusakan lingkungan yang saya jabarkan di atas, ada sebuah hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang berbunyi; "telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinan telah menceritakan kepada kami Fulaih bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Hilal bin Ali dari 'Atho' bin Yasar dari Abu Hurairah radhilayyahu'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,' jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.' Ada seorang sahabat bertanya, 'bagaimana maksud amanat disia-siakan?' Nabi menjawab, 'jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.'" (HR. Bukhari no. 6015)
Kedua ayat Qur'an dan satu hadits di atas sangat mencerminkan apa yang terjadi dan telah saya jelaskan di awal. Dalam pengambilan keputusan untuk suatu proyek, pemerintah seringkali kurang memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, kurang melibatkan para ahli di bidangnya, dan tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat banyak. Solusi yang ditawarkan kepada masyarakat seringkali hanya bersifat jangka pendek dan sementara, tidak menuntaskan hingga ke akar-akarnya.
Jika kita lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam meriayah umatnya, maka tidak kita temukan satu pun kezaliman yang menuai protes banyak orang. Dalam era Khulafaur Rasyidin dan dinasti-dinasti setelahnya pun, tidak ada saya temukan kebijakan Khalifah yang menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan, serta merusak tempat tinggal dan fasilitas umum milik masyarakat. Sungguh jauh berbeda dengan apa yang kita rasakan saat ini, dalam kepemimpinan yang tidak berlandaskan hukum syariat Islam.
Rasulullah, para sahabat, dan Khalifah-khalifah yang pernah ada, selalu berpikir matang sebelum mengambil keputusan.
Para pemimpin kaum Muslim saat dahulu selalu mementingkan apa manfaat dan mudharatnya untuk umat, untuk alam, menimbang dosa dan pahala, halal dan haram, serta tidak mementingkan kebutuhan bisnis semata dengan pihak swasta maupun asing. Oleh karena itu, pemimpin umat Islam masa kini haruslah terbuka mata, hati, dan pikirannya, untuk kembali mempelajari lagi sistem hidup dan sistem hukum yang diterapkan pemimpin umat dahulu kala, yang telah terbukti berhasil dan membuat umat Islam berjaya sekian lama.
Selain itu, bencana dan kerusakan alam juga disebabkan oleh merebaknya maksiat yang dilakukan manusia. Selain memikirkan solusi dari segi keilmuan dan teknis, seluruh lapisan masyarakat juga harus tobat nasuha dari segala maksiat dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan begitu, akan turun rahmat Allah untuk kita manusia, dipermudah oleh-Nya dalam mengelola dan mengembangkan potensi alam dan lingkungan agar dapat bermanfaat sebagaimana mestinya, serta tidak terjadi bencana dan kerusakan alam. Untuk bisa merealisasikan semua hal tersebut, tidak hanya dibutuhkan solusi secara keilmuan dan teknis. Tentu saja kita membutuhkan naungan sistem hidup bernegara dan sistem hukum yang sesuai dengan syariat Islam, berlandaskan kepada Al-Qur'an dan As-sunnah.
Oleh Adine Azaria (pemerhati isu sosial dan politik)
0 Komentar