Wacana penggalangan dukungan untuk kontestasi politik 2024 telah tampak menjadi perhatian partai politik dan wakil rakyat. Mereka berfokus menggalang koalisi dan menjajaki berbagai posisi demi mengamankan kedudukan. Hal ini dapat dilihat dengan bergabungnya salah satu dari tiga partai oposisi ke dalam koalisi pemerintah, yakni Partai Amanat Nasional (PAN).
Pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing, berpandangan bahwa bergabungnya PAN bukan merupakan sesuatu yang mengherankan, “...Karena di politik itu tidak ada musuh sejati tidak ada kawan sejati," kata Emrus saat dihubungi MNC Portal, Rabu (25/8/2021). Emrus berpandangan, apabila dalam waktu dekat Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle kabinet, bukan tidak mungkin PAN akan dapat jatah kursi (nasional.sindonews.com 25/08/2021).
Tentu saja ada kekhawatiran mengenai jumlah kekuatan oposisi sebagai kekuatan penyeimbang atau check and balances dalam politik demokrasi. Hal ini dilihat dari jumlah partai koalisi yang menguasai parlemen saat ini mencapai 82% dan menyisakan Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik di parlemen yang tidak bergabung dengan koalisi pemerintah (tribunnews.com 28/08/2021).
Fenomena koalisi menjadi oposisi ataupun sebaliknya merupakan hal yang biasa dalam politik demokrasi. Hal ini dikarenakan politik dalam demokrasi hanya berasaskan manfaat, sedangkan kepentingan rakyat hanya dibutuhkan saat hendak memperoleh kemenangan dalam pemilu. Selebihnya, peran dan suara rakyat tampak diabaikan.
Partai politik di bawah sistem politik demokrasi hanya berjalan di bawah prinsip politik transaksional. Tidak heran, politik demokrasi selalu berputar pada pembahasan koalisi jatah kursi, kontestasi dan kepentingan. Partai oposisi sekali pun akan fokus untuk mengamankan kursi kekuasaan. Pejabat dan politisi negeri ini seakan hilang empati, serta lip service belaka. Fokus mereka bukan untuk menangani pandemi dengan benar, melainkan merebutkan posisi dan membiarkan rakyat berjuang sendiri melawan pandemi. Inilah gambaran politik produk sistem politik demokrasi sekuler. Sistem politiknya mendorong lahirnya parpol-politisi pengabdi kursi, bukan pelayan kemaslahatan rakyat. Hal ini berbeda dengan partai politik di bawah sistem pemerintahan Islam.
Dalam pemerintahan Islam, partai politik berdiri bukan untuk memuaskan nafsu berkuasa dan mengamankan kursi kekuasaan. Partai politik memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Dalam Islam, politik bermakna mengurus urusan rakyat. Tujuan berdirinya partai politik adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus, bukan sekadar sebagai wadah menampung aspirasi dan suara rakyat. Partai politik yang benar berperan penting dalam membina dan mendidik pemikiran umat dengan Islam, serta melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa. Itulah cara kerja partai politik yang diajarkan dalam Islam.
Berpolitik harus direalisasikan dalam aktivitas amar ma'ruf nahi munkar. Apabila partai politik tidak bisa diharapkan, rakyatlah yang harus mengoreksi kekuasaan. Dalam melawan kemungkaran, dibutuhkan kesadaran memahami politik dengan benar. Rakyat tidak boleh buta politik atau cuek dengan politik, dengan cara memandang politik bukan sebatas kekuasaan, melainkan mengurus urusan rakyat. Orang yang buta politik tidak akan sadar, bahwa kesulitan ekonomi, tinggi rendahnya biaya hidup, menyebar atau hilangnya penyakit masyarakat, semuanya sangat dipengaruhi keputusan politik.
Salah satu aktivitas politik adalah meluruskan penguasa yang tidak adil, mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengan Islam dan menasihati penguasa. Umat Islam tidak boleh alergi dengan politik. Rasulullah SAW bersabda, “Dengarkan, apa kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku nanti akan ada pemimpin-pemimpin, barangsiapa yang memasuki (berpihak kepada) mereka lalu membenarkan kedustaan mereka serta menolong kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan tidak akan mendatangi telagaku. Barangsiapa tidak memasuki (berpihak kepada) mereka, tidak membantu kezaliman mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka, ia termasuk golonganku, aku termasuk golongannya dan ia akan mendatangi telagaku” (HR Tirmidzi, al-Nasa’i, dan al-Hakim).
Sistem politik demokrasi terbukti tidak bisa melahirkan pemimpin dan politisi yang amanah. Dalam sistem demokrasi-kapitalis, siapapun tidak akan bisa masuk bursa pencalonan baik presiden, gubernur ataupun walikota, tanpa dukungan para pemilik modal. Akibatnya, urusan rakyat terabaikan dan para pemimpin hanya sibuk berebut kepentingan.
Jadi, masalah utama saat ini adalah sistem kapitalis yang sejatinya rusak dari akar-akarnya. Maka, tidak ada cara lain untuk bisa memunculkan calon-calon pemimpin yang baik melainkan dengan mengganti sistem kapitalisme menjadi sistem Islam. Sudah saatnya umat mengarahkan perjuangannya pada Islam. Berupaya dengan sungguh-sungguh mendakwahkan dan membina umat agar memahami hanya Islam satu-satunya tumpuan harapan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang berkah dan amanah.
Siapa pun dari kaum Muslimin yang berupaya menjadi seorang pemimpin suatu negeri hendaknya mengingat sabda Rasul SAW, “Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haq dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya” (HR Muslim).[]
Oleh Aniza Rizky
0 Komentar