Merasa aneh dengan judul di atas? Kemarahan kok dibangun? Bukankah seharusnya marah itu diredam atau minimal dikendalikan? Diredam saja lebih banyak yang gagal, ini mengapa justru dibangun?
Sepanjang yang kita ingat, apa hal yang paling membuat kita marah? Kehilangan barang? Kehilangan seseorang yang dicintai? Dikhianati teman? Ditipu uang jutaan? Cek-cok dengan pasangan? Anak berulah? Me time bak barang mewah? Di marahi atasan? Atau dihujat netizen karena salah satu postingan?
Marah adalah fitrah. Allah Swt menciptakan manusia begitu sempurna, lengkap dengan potensinya. Potensi manusia adalah, satu; memiliki kecenderungan ingin memenuhi kebutuhan jasmani, dan dua; memiliki naluri.
Allah menciptakan manusia dengan fitrahnya memiliki rasa lapar, haus, lelah, mengantuk, buang hajat dan kebutuhan fisik lainnya, yang jika tidak dipenuhi bisa menimbulkan kematian. Inilah potensi kebutuhan jasmani manusia.
Selanjutnya potensi naluri manusia ada tiga, yaitu; naluri mengagungkan sesuatu (naluri beragama), naluri berkasih sayang dan naluri mempertahankan diri. Potensi ini jika tidak dipenuhi tidak sampai mengantarkan pada kematian, namun akan muncul kegelisahan. Nah, rasa marah berasal dari naluri mempertahan diri.
Sudah menjadi fitrahnya, manusia akan marah jika hak pribadinya diganggu. Namun yang terkadang luput dari fokus kita adalah penyebab dari kemarahan tersebut. Dari contoh-contoh sebab kemarahan di atas, hampir semuanya menyangkut urusan atau kepentingan pribadi.
Namun coba kita ingat-ingat, pernahkah kita marah saat melihat anak perempuan kita yang sudah baligh tidak juga mau menutup aurat? Atau saat melihat teman ada yang pacaran? Saudara mengambil riba, tetangga berjudi dan mabuk-mabuk kan? Marahkah kita saat membaca berita tidak hentinya Rasulullah saw. dihinakan? Kitab suci Alquran dibakar dan dinistakan? Syariat Islam dilecehkan dan terus distigma negatif? Marahkah kita ketika mendengar saudara-saudara kita di Palestina, Uighur, Rohingya, ditembak, diperkosa, disiksa, dibunuh, atau mati kelaparan?
Jika tidak, maka inilah yang dimaksud dengan kemarahan yang harus dibangun. Sebagai umat muslim, marah terhadap kemaksiatan adalah wajib karena hubungannya dengan konsekuensi keimanan. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, apabila ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya, bila ia tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan itu adalah paling lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Maka saat melihat kemaksiatan, selemah-lemahnya iman adalah dengan mengingkarinya, membencinya, muncul rasa marah di dalam hati. Jika tidak demikian, patutlah kiranya menjadi bahan introspeksi, sudah sempurnakah iman kita? Karena Rasulullah saw. bersabda; “Barang siapa yang memberi karena Allah, tidak memberi karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, berarti dia telah sempurna imannya.” (HR At-Tirmidzi).
Begitu juga saat menyaksikan pelecehan dan stigmatisasi terhadap Islam dan kaum muslim yang terus saja terjadi dan terkesan dibiarkan oleh penguasa. Hukum-hukum Allah ditinggalkan bahkan direndahkan. Maka bagaimana sikap kita? Rasulullah saw. bersabda; “Sesungguhnya akan diangkat untuk kalian beberapa penguasa dan kalian akan mengetahui kemungkarannya. Maka siapa saja yang benci bebaslah ia, dan siapa saja yang mengingkarinya, maka selamatlah ia, namun orang yang senang dan mengikuti, maka tersesatlah ia.” (HR. Muslim).
Namun sayang, kemarahan umat terhadap kemaksiatan, kemungkaran, kezaliman serta penderitaan saudara-saudaranya hari ini belum sepenuhnya terbangun. Bahkan tidak sedikit kaum muslimin yang lebih condong kepada memenuhi dan mempertahankan hak atau hajat pribadi.
Merasa ibadah ritual adalah ranah individu yang tidak boleh diganggu. Terserah mau menutup aurat atau tidak, mau shalat atau tidak, mau mengambil riba atau tidak. Semua dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Malu menunjukkan pembelaan saat ada penghinaan terhadap Rasulullah saw., kitab suci Alquran bahkan kepada syariat Islam, karena takut dianggap aliran radikal. Abai terhadap penderitaan saudara-saudara muslim yang tertindas dengan dalih memikirkan masalah sendiri saja pusing.
Kita perlu untuk membangun kemarahan itu. Karena jika tidak, boro-boro marah melihat kemaksiatan, bisa-bisa kita tanpa sadar justru sibuk dan asyik ikut terlibat di dalamnya.
Bagaimana membangun kemarahan, khususnya terhadap kemaksiatan dan kemungkaran? Logika sederhananya, kita akan marah jika sesuatu yang menurut kita penting dihina, diganggu, direnggut, dirusak, dan sejenisnya. Maka seberapa penting Allah dan Rasulnya bagi kita, akan sebesar itu pula kemarahan kita saat apa-apa yang berhubungan dengan keduanya diusik.
Sudahkah Allah, Rasulnya, kitab sucinya, syariatnya menempati posisi paling tinggi dan istimewa dalam hidup kita? Atau bagaimana jika belum? Maka yang perlu dibenahi adalah pemahaman kita tentang konsep akidah atau keimanan.
Sebuah keyakinan bahwa kita datangnya dari Allah, diciptakan hanya untuk tujuan ibadah secara kafah, menyeluruh, dalam seluruh aspek kehidupan, dan kelak akan kembali kepada Allah, mempertanggungjawabkan semua hal yang telah diupayakan selama hidup di dunia.
Ini adalah konsep aqidah yang shahih yang akan mendorong kita untuk selalu menempatkan Allah, Rasulullah, Alquran dan syariat Islam diprioritas teratas yang harus dijaga. Kita tidak akan tinggal diam saat ada yang menistakannya. Kita akan “teriak” saat ada yang melanggar syariatNya. Akan muncul rasa geram saat hukum Allah direndahkan. Kemudian berupaya untuk membelanya dengan segala kemampuan yang ada.
Sudahkah terbangun kemarahan itu dalam diri kita? Karena ini bagian dari konsekuensi keimanan.
Wallahu’alam bishawab.
Oleh Anita Rachman
Muslimah Peduli Peradaban
0 Komentar