Menata Murka



Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini atau Risma, kembali terekam sedang murka. Aksi mantan walikota Surabaya itu, terekam dalam sebuah video berdurasi sekitar 2 menit. Dalam video tersebut, Risma terlihat tidak senang dengan laporan pegawai yang menjadi sumber masalah. Kemarahannya dipicu ada perbedaan laporan antara PKH setempat dengan data yang disampaikan pejabat Kemensos. Pejabat Kemensos yang hadir dalam rapat menyebut tidak pernah mencoret data KPM PKH.

Kemarahan Risma memang bukan terjadi kali ini saja. Bagi yang mengikuti sepak terjang Risma, hal ini sudah lama terjadi, bahkan itu sudah terjadi sejak beliau masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pertamanan di Surabaya.

Pakar politik LIPI, Wasisto Raharjo, pernah memberikan analisanya terkait hal ini. Dia mengungkapkan aksi doyan marah yang sering dipertontonkan Risma memang sudah melekat pada dirinya. Tak bisa diubah lantaran merupakan sikap orisinal dari beliau. Namun, menurutnya, marah-marah Risma juga tak selamanya positif. Sebab Risma harusnya memahami pentingnya proses komunikasi dua arah. Apalagi marah-marahnya selalu dilakukan saat kameran jurnalis tengah menyorotnya. Sebaliknya, kalau komunikasi frontal terus dilakukan, publik lama-lama membaca beliau hanya sebagai pemimpin yang ingin permalukan anggotanya saja dan menggiring publik untuk berasumsi kalau itu sekadar pencitraan belaka.

Menariknya, jika diperhatikan kemampuan mengontrol emosi dan mengelola amarah para pejabat kian hari kian menipis. Yang melakukan aksi marah-marah di depan kamera bukan hanya Risma saja bukan? Tentu ini bukan sekadar persoalan karakter individu.

Bisa dikatakan ini adalah dampak penerapan sistem demokrasi sekuler. Mengapa? Pertama, karena sistem ini memang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk meluapkan apa yang dirasakannya. Rasa marah, senang, sedih dan sebagainya boleh saja diekspresikan dengan cara apapun. Ini dianggap sebagai bagian dari hak azasi manusia dan dianggap benar.

Kedua, sistem sekuler demokrasi tidak memberikan batasan dan standar mana aktivitas yang baik dan mana aktivitas yang buruk. Dalam hal apa harus marah dan dalam hal apa tidak perlu marah, sistem ini juga tidak memiliki kejelasan. Bahkan sistem ini sama sekali tidak memiliki panduan yang kokoh terkait bagaimana cara yang baik untuk melampiaskan kemarahan, Intinya semua penilaian baik buruk ini diserahkan pada masing-masing individu.

Pantas saja dalam sistem semacam ini, setiap bentuk kemarahan diakomodir dan dianggap wajar. Sekalipun didalamnya terucap kata-kata yang tidak pantas dan layak bagi masyarakat umum. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk penuh dengan konflik horizontal yang bisa jadi meledak suatu saat kelak. Ditambah lagi sistem hukum yang ada tidak bertaji untuk menghadapi ulah para pejabat yang ada. Wajar juga jika pada akhirnya kasus bulliying, bunuh diri dan tawuran tak pernah terselesaikan dengan baik dalam sistem sekuler semacam ini.

Berbeda secara diametral dengan Islam. Ajaran Islam yang paripurna mampu mengatur segala aktivitas mulai dari bangun tidur hingga bangun negara. Islam memberikan kemampuan menahan diri, mengelola emosi dan juga memilah-milah kondisi.

Contoh yang sangat jelas terlihat dari aktivitas Rasulullah saw. Beliau tidak pernah marah dalam hal teknis dan sifatnya pribadi. Kemarahan beliau terlihat sangat nyata jika hukum Allah dilanggar. Sebab konsekuensi dari pelanggaran hukum Allah ini akan berdampak pada kemurkaan Allah swt.

Begitu juga para sahabat dan khalifah sesudah beliau. Mereka mampu menempatkan dan mengelola amarahnya. Abu Bakar ash-Shiddiq sangat marah mendengar ada Sebagian yang enggan membayar zakat. Akan tetapi para sahabat lainnya mengajak Abu Bakar berdialog mengenai masalah ini. Para sahabat meminta Abu Bakar tidak melakukan penyerangan sebab khawatir akan keamanan Madinah dan penduduknya. Akan tetapi Abu Bakar menolak saran mereka.

Dari Abu Hurairah, ia menuturkan Umar bin al-Khaththab bertanya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, "Bagaimana bisa engkau memerangi orang-orang itu, padahal Rasulullah saw pernah bersabda: 'Aku diperintahkan memerangi orang-orang sampai mereka mengucapkan syahadat La Ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Apabila orang-orang itu telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terjaga dariku, kecuali jika mereka tidak menjaga hak Islam."

Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, seandainya mereka enggan memberikan 'anaq - dalam riwayat lain 'iqal - yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah saw, niscaya aku akan memerangi mereka karena keengganan itu. Sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang memisahkan antara shalat dan zakat."

Pada kesempatan lain, Umar menyatakan: "Kekukuhan Abu Bakar itu membuatku yakin ia berpendapat demikian karena Allah telah meneguhkan hatinya untuk melakukan penyerangan. Kemudian aku pun sadar itulah yang benar." (HR. Bukhari dan Muslim).

Begitulah, sistem Islam yang ditegakkan Rasulullah mampu mencetak kepribadian pemimpin yang unik. Mampu membuat kaum muslimin mengelola emosinya, menempatkan marahnya sesuai pada porsinya, dan meluapkan amarahnya dengan cara-cara yang dibenarkan secara syar’i. Dan tentu inilah kehidupan yang kita dambakan, bukan? Wallahu a’lam.


Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar