Mencermati Dalil Moderasi



Sebagian pengusung paham moderasi beragama menggunakan dalil dalam QS Al Baqarah : 143 yang berbunyi

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al Baqarah: 143)

Menurut para pengusung paham moderat, ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat moderat. Sebab wasath berarti pertengahan antara dua kutub ekstrem yang saling bertentangan. Sementara paham moderat selalu berada di tengah dan mencari jalan tengah. Tidak terlalu berlebih-lebihan seperti kaum radikalis dan tidak terlalu menyepelekan sebagaimana kaum liberalis, demikian kata mereka.

Apa yang mereka katakan ini merupakan respon dari realita yang ada di masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang menginginkan diterapkan syariah dalam kehidupan masyarakat, sementara ada sebagian yang lain menolak paham itu. Paham moderat kemudian menyikapinya dengan cara mengharuskan adanya jalan tengah yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Tanpa mengkaji manakah  diantara dua pihak itu yang benar. Solusi jalan tengah itu pada gilirannya akan membuat kedua belah pihak mau tidak mau harus merelakan sebagian tuntutannya.

Sebagai seorang muslim tentu sangat perlu untuk memahami QS. Al Baqarah:143 ini, sebab pemahaman yang benar sesuai pendapat para ulama mu’tabar itulah yang akan mengantarkan pada kebenaran hakiki di hadapan Allah swt. Bahkan mendapatkan keridloan-Nya. Karenanya pembahasan mengenai pemahaman ayat ini harus merujuk dan dikembalikan pada pengertian yang syar’i dan bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia.

Dalam kitab Jami’ al Bayan fi Ta’wil al Quran, Imam At Thabari menyatakan bahwa   kata wasath bermakna khiyar (terbaik dan pilihan). Pengertian wasath  sebagai al khiyar ini juga terdapat dalam firman Allah swt :

قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ

“Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?" (QS. Al Qalam: 28)

Imam al Zamakhsyari dan Imam al Nasafi menyatakan bahwa kata wasath dalam ayat ini juga bermakna khiyar. Dan status umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah yang diberikan pada mereka yakni Islam.  Imam Ibnu Katsir  mengatakan dalam kitabnya Tafsir al Quran al ‘Adzim  bahwa ketika umat ini dijadikan sebagai umat wasath, Allah mengkhususkan mereka dengan syariah paling sempurna, manhaj yang paling lurus dan madzhab yang paling jelas.

Pengertian ini sejalan dengan firman Allah swt dalam QS. Ali Imran: 110

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110)

Adapun menurut sebagian mufasir yang lain, makna wasath dalam ayat ini adalah al ‘adl. Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Said al Khudri, Qatadah dan Mujahid serta al Rabi. Ini ditulis juga oleh Imam At Thabari dalam kitabnya, Jami’ al Bayan.

Imam Al Qurthubi, Abu Hayyan, Ibnu Athiyah dan beberapa mufasir yang lain juga sepakat dengan makna ini. Pendapat ini merujuk pada penjelasan Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Said al Khudri dan Abu Hurairah bahwa ummatan wasathan adalah adil.

عن النبي – صلي الله عليه وسلم- في قوله (وكذالك جعلناكم أمة وسطا ) قال: عدلا

“Dari Nabi SAW tentang firman-Nya: ‘Dan Demikian (pula) kami telah menjadikan kamu sebagai umat wasath.’ Beliau bersabda: ‘Adil’” (HR. Tirmidzi)

Dari penjelasan ini tidak sedikit mufassir yang mengumpulkan dua makna itu tanpa menolak salah satunya. Sehingga kata wasath dimaknai khiyarun ‘udulun (pilihan dan adil).

Status yang mulia ini diberikan kepada mereka bukan tanpa konsekuensi. Tugas yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan status tersebut adalah apa yang disebutkan dalam frasa selanjutnya dalam ayat tersebut

لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ

“agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al Baqarah: 143)

Dari lanjutan kalimat ini sebenarnya bisa dipahami bahwa perkara yang dijadikan saksi adalah perkara din (agama Islam). Tugas utama Rasulullah saw adalah menyampaikan risalah kepada manusia. Dan karena Rsaulullah telah melaksankan tugas tersebut beliau pun bisa menjadi saksi atas umatnya.

Menurut al Qasimi, umat Islam pun bisa menjadi saksi atas manusia jika mereka mengajak manusia kepada kebenaran,  menjelaskan petunjuk kepada mereka petunjuk dan  memberikan peringatan kepada mereka yang masih berada dalam kesesatan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Mafahim Khatirah li Dharb sl Islam wa tarkiz al Hadlarah al Gharbiyyah, menyatakan memang benar, ayat ini berbentuk khabar (kalimat berita). Namun ayat ini mengandung tuntutan (perintah) bahwa umat Islam wajib menyampaikan risalah kepada umat-umat yang lain. Jika umat Islam tidak mengerjakan tugas ini, maka mereka akan berdosa. Jika umat Islam telah melakukannya maka umat Islam bisa menjadi hujjah (saksi yang adil) bagi umat-umat yang lain.

Jadi berdasarkan hal ini pengaitan ayat ini dengan paham mdoerat amat keliru. Rokhmat S. Labib dalam bukunya Tafsir Al Waie menyatakan bahwa pengkajian secara cermat dan objektif terhadap ayat ini justru menunjukkan pengertian yang bertolak belakang dengan paham moderat. Menurutnya, memang pada awalnya kata wasath ini menunjuk pada tempat yang berada di tengah. Namun, sebagaimana diungkapkan para ulama mu’tabar, kata wasath tersebut menurut penjelasan Rasulullah saw justru bermakna adil.

Adil yang dimaksud tentulah bukan dalam perspektif akal dan hawa nafsu manusia. Tetapi adil dalam perpesktif syariah. Sebuah tindakan atau keputusan hukum terkategori adil manakala bersesuaian dengan syariah, Sebaliknya tindakan mengabaikan syariah meski hanya sebagian, sebagaimana diserukan oleh para pengusung paham moderat, adalah tindakan fasik dan zhalim. Lihatlah firman Allah swt dalam QS. Al Maidah:45 dan 47.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(QS. Al Maidah: 45)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(QS. Al Maidah: 47)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah:47)

Bahkan kalau diingkari bisa menyebahkan pelakuknya jatuh pada kekufuran sebagaimana dalam QS. Maidah:44

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”(QS. Al Maidah:44)

Atas dasar ini semua, jelaslah bahwa apa yang dijadikan sebagai landasan dalil untuk moderasi beragama bertentangan dengan apa yang dijelaskan oleh para ulama mu’tabar dalam buku-buku mereka. Lantas mengapa kita masih mengikutinya?


Oleh Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar