Menelisik Unifikasi JakLingko untuk Profit atau Pelayanan?



Unifikasi sistem transportasi Ibu Kota diniatkan Penguasa Jakarta sebagai pemutus kerumitan angkutan di kota metropolitan, menjanjikan tarif yang berkeadilan bagi masyarakat. PT JakLingko Indonesia dengan filosofi ‘Jaringan Terintegrasi Aman dan Nyaman’ sejak 2018 selaku pengelola berperan sebagai penghimpun para operator armada transportasi dalam sistem fusi moda di Jakarta.

Perjanjian dibuat dengan beberapa operator seperti PT MRT Jakarta, PT Transportasi Jakarta, PT LRT Jakarta (Jakpro Group) dan PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ). Tidak hanya bus besar seperti Transjakarta, bus medium seperti Minitrans, bus kecil seperti Mikrotrans, hingga MRT Jakarta, LRT Jakarta angkot, kereta bandara, ojek hingga taxi online ditargetkan juga menggunakan kartu JakLingko (Jakarta.bisnis.com, 02/07/2020).

Kartu Pintar (Smart Card) dan Aplikasi Super (Super Apps) dengan sistem pembayaran berbasis QR Code, JakLingko menawarkan kemudahan dalam ticketing dan tarif sehingga kenyamanan dan penggunaan sesuai golongan penumpang akan memberikan harga yang berbeda (Merdeka.com, 29/09/2021).

Konsep integrasi tiket dan tarif, apalagi satu harga berdasarkan jarak, tampak mustahil dibuat. Hal itu karena berbagai jasa transportasi memiliki pengelola tersendiri (Aziz Rahardyan-Bisnis.com).

Pernyataan ini sejalan dengan demo puluhan supir angkot Koperasi Wahana Kalpika (KWK), Jakarta Utara yang melakukan aksi perluasan jangkauan JakLingko di depan Balai Kota, Gambir, Jakarta Utara (megapolitan.kompas.com, 27/11/2019).

Meski sudah mencapai kesepakatan akan bergabung dengan JakLingko. Dengan melakukan peremajaan angkutan, sinergisnya masih perlu diproses seiring waktu berjalan.

Seorang pramudi angkot JakLingko trayek Kalideres-Puri Kembangan, Arif Setiaji mengaku pada alenia.id, masalah jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan, serta keterbukaan menyangkut THR merupakan problem menahun di JakLingko, terutama di bawah Koperasi Wahana Kalpika (KWK). Ia mengaku pernah mendapat uang THR hanya Rp1,8 juta. Padahal, menurutnya, berdasarkan hitungan hari kerja, jumlah yang ia terima sebesar Rp2,8 juta.
Irwanto, seorang pramudi angkot JakLingko di Teminal Senen, Jakarta Pusat, juga mengeluhkan Koperasi tempatnya bernaung, yakni Koperasi Budi Luhur (BDL). Koperasi BDL juga tidak pernah memberikan fasilitas jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, tunjangan tidak ada, gaji kecil, dan kalau ada laporan dari pengguna angkot langsung kena potong gaji (Alenia.id, 12/09/2021).
Kesejahteraan pengemudi, kemudahan akses dan pelaksanaan JakLingko yang tidak bisa ditetapkan satu pihak saja menuai banyak perbedaan pandangan. Meminimalkan perbedaan tentu menjadi upaya tersendiri yang tidak mudah agar hajat bersama dapat terwujud. Masalah yang muncul dikemudian hari perlu dicermati JakLingko.
Anggota Komisi B dari Fraksi PDIP, Gilbert Simanjuntak, menyatakan JakLingko tidak jalan seperti harapan. Bus kadang bermasalah dan moda lainnya jalan di tempat. Pencapaian ini masih minimal, tidak memuaskan. Masih banyak persoalan di sektor perhubungan atau transportasi umum yang perlu dibenahi. Soal tarif, Gilbert menilai tidak ada masalah. Bahkan, anggaran daerah dikucurkan setiap tahunnya untuk subsidi. Yang perlu diperhatian adalah kebijakan pengelolaan dan integrasi transportasi umum yang dianggap masih belum konsisten (Sindonews.com, 23/06/2021).

Tarif baru JakLingko akan ditetapkan berdasarkan survei kemampuan masyarakat membayar dan kesediaan membayar, dibagi 3 golongan pendapatan, yakni rendah, menengah dan tinggi.

Dikutip dari laman metro.tempo.com, (29/07/2021), penetapan tarif terintegrasi JakLingko per Maret 2022, pendapatan operator diprediksi naik 8,11 persen. Kenaikan surplus ini ditargetkan membantu Pemprov DKI Jakarta mengurangi subsidi.

Aktor pengelola transportasi publik harusnya adalah negara di posisi terdepan. Dalam beberapa dekade belakangan ini terlihat perubahan politik ekonomi menuju titik minimal peranan negara. Pada saat yang bersamaan mencapai titik maksimal peran pengusaha. Ketika badan publik yang menjadi sandaran pengelolaan kepentingan massal, maka pelayanan kepada masyarakat mau tidak mau didasarkan pada kemampuan membayar, bukan didasarkan pada pemenuhan hak-hak warga negara (journal.unair.ac.id).

Terkuak sudah program gratis di awal perkenalan JakLingko hanya untuk menarik warga menggunakan antarmoda JakLingko. Tarif yang berkeadilan, belum tentu akan langgeng setelah subsidi terus dikurangi, bahkan dihilangkan. Kebijakan seperti ini merupakan watak pengelolaan ekonomi neoliberalisme yang akan memihak korporasi dan investasi swasta.

Masalah lain yang bisa dirasakan pengguna terkait Kartu Pintar berbasis e-money yang masih terbatas sebarannya, juga memiliki beberapa celah kekurangan. Perlu mesin spesifik untuk mengisi dan mengecek saldo, saldo tidak dapat diuangkan kembali, kartu hilang saldo juga akan hilang. Selain itu, jika kartu rusak pengguna harus membeli yang baru, meski dana lama masih mencukupi dan akses kartu juga bisa diretas meski kemungkinannya kecil.
Aplikasi Super juga tidak menjangkau semua golongan pengguna. Kebutuhan HP dengan spesifiksi tertentu, sosialisasi, kemudahan akses dan keamanan data juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi ketidakpercayaan pelanggan JakLingko dalam pelaksanaan sistem integrasi transportasi Jakarta.

Perusahaan memberikan pelayanan kepada umum agar memperoleh keuntungan dan perusahaan tidak bisa dituntut bertanggung jawab terhadap nasib warga negara yang tidak mendapatkan pelayanan publik (Santosa, 2005).

Kemandirian negara sebagai tuntutan dan kebutuhan industrialisasi serta pembangunan ekonomi, membutuhkan aliansi-aliansi baru antara negara dan kekuatan-kekuatan sosial politik, sosial ekonomi baik dalam tataran nasional maupun internasional. Negara sebagai kekuatan mandiri menjadi subyek yang memiliki kepentingan-kepentingan sendiri yang berbeda dengan kepentingan dari kekuatan sosial yang ada di masyarakat (Shin, 1989:7).

Walhasil, selama Pemprov mengandalkan perusahaan baru untuk mengelola kepentingan transportasi masyarakat Jakarta dan memiliki target menggaet swasta untuk perluasan pelanggan dan produk lebih luas, margin dalam rangka menjaga keberadaan perusahaan pasti akan menjadi tujuan utama dibandingkan servis transportasi massal.

Transportasi umum adalah kebutuhan otomatis warga Jakarta untuk bisa memenuhi keperluannya sehari-hari. Selayaknya, disediakan dan diselenggarakan secara tunggal oleh negara dalam bentuk pelayanan. Masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaannya akan menjadi soal bagi negara tanpa campur tangan luar, tentu penanganannya lebih cepat dan akurat karena hanya memihak warga pengguna moda di Jakarta. Berbeda halnya jika perusahaan yang menjalankan pelayanan ini, profit dari penjualan jasa jadi bidikan berjalannya transportasi massal.

Tindaklanjut kemungkinan swasta turut andil akan menjadikan porsi untung makin besar. Pilihan ada di tangan Pemda DKI, apakah pengadaan JakLingko untuk pelayanan umum penduduk Jakarta atau kepentingan swasta? Wallahu’alam bishshawwab.       
  


Oleh N. Suci M.H


Posting Komentar

0 Komentar